Keinginan untuk menikmati masa cuti selama tiga hari dengan memanjakan diri ternyata jauh dari angan. Baru menginjak dua hari sudah datang gangguan. Ponselnya berdering. Telepon dari kantor. Mbak Wita yang bersuara.
“Halo, Rin?”
“Ya, Mbak. Ada apa?” Suara Arin lesu.
“Ada tugas buat kamu.”
“Saya kan sedang cuti, Mbak…”
“Ya, saya tahu. Tapi ini penting, semua jadwal anak-anak sudah penuh. Hanya kamu yang lowong…”
“Tapi, Mbak. Saat ini saya sedang di luar kota!” Arin beralasan.
“Tidak apa-apa! Kamu bisa segera pulang. Tugas ini buat besok pagi!”
“Kalau begitu suruh saja si Ira atau Lina. Hari ini Ira sudah pulang dari Semarang, Lina juga. Mereka pasti mau!”
“Tapi bapak maunya kamu yang mendampingi. Hanya tiga hari menemani turis dari Inggris ke kraton Surakarta lalu kembali lagi ke Yogya. Tidak jauh kok. Bagaimana?”
“Aduh, si bos ini gimana sih? Saya kan lagi istirahat cuti. Memang kenapa kalau guide lain?” keluh Arin menggerundel sendiri.
“Kamu bicara sendiri gih sama Pak Irawan,” kata Mbak Wita di seberang meminta Arin bicara langsung sama bosnya di kantor.
Arin buru-buru menukas, “Nggak usah, Mbak. Bilang saja…” Belum selesai kalimat Arin sudah menyambung suara berat seorang laki-laki di seberang.
“Bagaimana Arin, kamu bersedia, kan?”
“Ngh, iya, Pak…!” Arin jadi sungkan karena ternyata Pak Irawan, bosnya, yang kemudian berbicara. Maksud hati menolak tugas malah tak jadi.
“Kamu masih ingat sama mister Bernard, kan? Itu kolega saya yang pernah kamu antar ke Candi Prambanan. Kali ini dia mengundang teman-temannya dari Inggris untuk mengunjungi Solo dan Yogya. Mereka adalah rombongan peneliti dan ilmuwan yang akan melakukan observasi di kraton Solo dan Yogya. Mr. Bernard merekomendasikan kamu sebagai guidenya. Bagaimana? Kamu bersedia, kan?”
Kalau sudah bos yang meminta, tak ada alasan Arin untuk menolak. Arin menepis rasa kecewanya karena masa cutinya jadi terpenggal. Biarlah cuma dua hari beristirahat, itu sudah cukup. Lagi pula tugas yang bakal dijalaninya cukup ringan. Cuma mengantar turis ke sekitar Solo dan Yogya. Tidak terlalu jauh. Turis yang diantarnya juga lebih istimewa. Rombongan ilmuwan dan peneliti. Turis macam begini biasanya tidak terlalu rewel. Mereka tak ribet soal akomodasi dan fiskal. Mereka hanya membutuhkan guide yang bisa menunjukkan jalan dan tempat. Selebihnya, mereka sendiri yang bekerja!
Kadang Arin merasa dirinya yang jadi turis, sementara sang turis menjadi guidenya. Bukan kenapa, karena pengetahuannya tentang obyek wisata atau situs yang dikunjungi tak lebih banyak dari turis yang didampingi. Turis dari kalangan akademisi dan peneliti ini justru lebih banyak tahu. Setahu Arin bahwa candi Borobudur hanyalah tumpukan batu peninggalan kerajaan Hindu-Budha yang sangat megah dan merupakan ritus budaya. Tapi menurut seorang peneliti asing, di bawah bangunan Candi terdapat ruang rahasia menyimpan harta karun berupa kepingan emas yang nilainya luar biasa. Bisa untuk melunasi seluruh hutang Indonesia. Sayang, pendapat ini masih jadi bahan perdebatan!
Begitulah. Banyak sekali pengetahuan dan tambahan wawasan yang didapatkan Arin saat mendampingi turis dari kalangan ilmuwan. Mereka kadang tak pelit berbagi informasi dan pengetahuan kepada guidenya. Arin menemukan hal-hal baru yang selama ini jauh dari pemikirannya. Mendampingi turis intelek merupakan pengalaman yang sangat berkesan dalam hidupnya. Ia bukan saja mendapatkan pengalaman travelling yang menyenangkan tapi juga mencerahkan.
Bandara internasional Adi Sucipto ramai oleh lalu lalang manusia yang akan berpergian. Sebagian lagi mereka yang datang untuk keperluan mengantar atau menjemput. Kedatangan Arin sendiri dengan maksud menjemput rombongan turis yang akan didampinginya selama menjalani masa kunjungan tiga hari. Pak Irawan sudah memberi infromasi tentang jadwal kedatangan mereka. Semestinya ada petugas khusus yang akan menjemput mereka, tapi petugas yang ditunjuk sedang berhalangan. Maka, Arinlah yang didapuk jadi penjemput.
Bersama seorang sopir yang membawa mobil khusus jemputan Arin berangkat menuju bandara. Jika tidak ada delay, pesawat yang berangkat dari Jakarta tiba pukul sembilan pagi. Arin sudah stand by di pintu keluar kedatangan sepuluh menit sebelumnya. Tapi ditunggu hingga seperempat jam dari jadwal tibanya pesawat, rombongan yang ditunggu belum juga muncul. Arin mulai gelisah dan resah. Tangannya mulai pegal memegang papan bertuliskan; “Welcome Mr. Samuel Walcott and friends”. Sayang, Arin belum pernah bertemu atau melihat wajah Mr. Samuel Walcott, sang pimpinan rombongan.
Dalam hati Arin jadi menyesal, kenapa tadi tidak meminta diperlihatkan foto atau gambar orang yang akan dijemputnya. Dia hanya mendapat informasi kalau rombongan bule itu sebanyak tujuh orang, empat cowok dan tiga cewek. Mereka sebenarnya sudah beberapa hari berada di Indonesia, berkeliling dari Medan, Palembang, Bandung, dan terakhir di Jakarta. Dari Jakarta mereka kemudian menuju ke Yogyakarta dan Solo sebagai kunjungan terakhir dari lawatan selama duapuluh hari di Indonesia.
Arin khawatir rombongan yang dijemputnya kesasar atau sudah tiba dari tadi, tapi ia tak sempat melihatnya. Ia tadi sudah menanyakan ke bagian informasi, kata petugas ada sedikit keterlambatan kedatangan dari pesawat yang disebutkan Arin. Tapi sedikit kok hampir setengah jam? Arin tak puas mendapatkan keterangan dari petugas bandara. Ia lalu mengontak Pak Irawan. Dia meminta kejelasan keberangkatan rombongan dari Jakarta yang akan dijemputnya. Selain itu, Arin meminta dikirim profil orang bernama Samuel Walcott via WA. Tapi Pak Irawan tidak punya. Dia meminta Arin untuk bersabar menunggu.
Dengan nada bercanda beliau malah bilang, “Kalau kamu ingin tahu seperti apa tampang mister Walcott, tubuhnya jangkung dan paling ganteng diantara pria bule pada umumnya!”
Arin menyeringai kecut. Kalau indikasinya ganteng sih, relatif. Kebanyakan pria bule kan berwajah ganteng dan jangkung. Mana ada bule kulitnya item, hidung pesek, dan pendek? Kalau bule cebol itu pengecualian. Tapi yang sedang ditunggu Arin adalah pria bule yang tubuhnya jangkung. Arin hendak menanyakan ganteng seperti apa orang yang disebut bosnya. Mungkin bisa dicarikan perbandingan seperti sosok bintang film atau penyanyi, kek. Tapi sebelum Arin sempat menyampaikan pertanyaannya, terdengar suara pengumuman melalui speaker tentang kedatangan pesawat A dari Jakarta. Itu pesawat yang ditumpangi rombongan turis dari Inggris!
Arin segera mematikan ponselnya dan mengawasi dengan seksama pintu keluar. Papan di tangannya diangkat tinggi-tinggi. Tak berapa lama muncul segerombolan orang dari pintu keluar II. Mereka bercampur baur antara orang Indonesia dan orang asing. Arin mengamati satu persatu tampang asing yang berseliweran di depan matanya. Tiba-tiba pandangannya terpaku pada satu sosok yang amat dikenalnya. Sosok bule yang telah membuat pikirannya mengembara ke mana-mana belakangan hari. Sosok sang pahlawan; Mr. Bule alias Pierce Brosnan. Ya, ampun! Itu mas James Bond kenapa muncul di sini? Batin Arin antara heran, girang, bingung, dan takjub.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments