Arin tergopoh-gopoh menenteng tasnya. Menuju mobil travel yang sudah menunggu di depan jalan masuk kosnya. Tadi ia agak telat bangun. Karena terburu-buru ia tidak sempat berdandan. Habis mandi langsung pakai baju dinas (celana jeans dan kemeja), bermake up secukupnya, lalu bergegas keluar dari kamar kosnya. Jerit klakson terus memanggilnya. Arin hanya bisa mengomel dalam hati.
“Kok lama banget, sih? Sudah ditunggu, nih?” gerutu Tono, sopir mobil kantor, yang biasa mengantar jemput para guide. Arin tak menggubris gerutuan Tono. Dia segera naik ke dalam mobil.
“Bos bisa marah kalau tahu pegawainya kayak gini!” Tono masih juga nyinyir.
“Sudah! Jalan!” tukas Arin agak sewot. Dalam hati ia tak berhenti menyumpahi Ira. Dasar, tuh anak bikin hari gue jadi berantakan!
Mobil segera melaju di tengah pagi yang masih remang-remang.
Sepuluh turis dari Italy sudah menunggu di depan hotel tempat menginap. Mereka kelihatannya sangat marah. Ini tampak dari wajah kusut mereka. Salah seorang menyemprotkan makian dalam bahasa Italy begitu mobil jemputan datang. Untung semprotan itu ditujukan kepada Tono, sang sopir. Laki-laki bertampang bego itu pun cuma cengar-cengir, ketahuan kalau tak tahu bahasa Italy. Arin yang berada di sudut menahan senyum. Padahal kalau diterjemahkan kurang lebih bunyinya seperti ini: “kamu cowok idiot tampang kayak monyet perayu wanita kelas rendahan”!
Tono segera mengangkat koper-koper untuk dimasukkan ke dalam mobil APV. Ketika akan naik ke belakang setir, Tono sempat berbisik sama Arin.
“Eh, Rin! Kamu tahu ndak apa yang diomongin orang Itali tadi?” tanyanya penasaran.
“Dia bilang begini…” Arin berhenti sejenak. Dia mikir, kayaknya tidak enak kalau mengatakan yang sebenarnya. Nanti Tono bisa tersinggung dan buntutnya bisa ngambek berat. Tiba-tiba Arin tersenyum, menemukan ide bagus.
“Kamu cowok hebat yang mampu mengatasi semua masalah!”
“Ah, yang bener? Dia bilang begitu?”
“Ya! Bahkan dia bilang kalau kamu mirip Don Juan!”
“Siapa itu Don Juan?” tanya Tono dengan lugunya.
“Bintang film terkenal Italy pada masa lalu!” jawab Arin sekenanya.
Hidung Tono langsung kembang-kempis, saking bangganya. Sementara Arin tak bisa menahan lagi senyum gelinya. Dia buru-buru masuk ke dalam mobil sebelum Tono menyadari kalau dirinya telah ditipu mentah-mentah. Tapi laki-laki itu tampaknya cukup puas dengan kebodohannya. Dan itu memberinya semangat berlipat untuk bekerja lebih giat.
Ketika sampai di stasiun Tugu, kereta api yang akan mereka tumpangi belum tiba. Ternyata ada delay. Beginilah Indonesia. Kembali para turis, khususnya yang cowok, menggerutu dan melontarkan sumpah serapah. Kali ini entah ditujukan siapa. Arin memilih menutup kuping dengan headshet (dengerin musik lewat i-phone) dan duduk rileks di kursi peron. Orang Italy memang terkenal kasar dan suka terburu-buru. Untunglah, suasana panas ini tak berlangsung lama. Seperempat jam kemudian kereta ekspres jurusan Bandung tiba. Mereka bergegas naik, mencari nomer kursi, menaruh tas di bagasi, dan dalam hitungan menit kendaraan roda besi sudah melaju.
Sebenarnya Arin agak ngeh juga mengikuti turis yang lebih suka menggunakan transportasi darat untuk perjalanan jauh. Pasalnya, ini akan menjadi perjalanan yang cukup melelahkan. Kesepuluh turis dari Italy itu mungkin para backpaker. Tapi Arin tidak melihatnya seperti itu. Mereka hanya ingin mengirit ongkos saja. Tipe turis macam gini biasanya agak pelit memberi tip. Mereka kadang juga banyak maunya. Apa yang dipikirkan Arin benar adanya. Ketika akan sarapan pagi mereka menuju ke gerbong restorasi, tak menawari Arin sama sekali. Arin memilih memesan makanan pada pelayan keliling dan makan di kursinya.
Perjalanan ke kota Bandung memberikan pemandangan yang cukup elok dan memanjakan mata. Sepanjang jalan mereka bisa menyaksikan hamparan pesawahan, perkampungan, bayangan gunung di kejauhan, sungai, lembah, hutan, dan kota. Tapi Arin masih terlalu lelah dengan perjalanan kemarin. Dia tak mood untuk menikmati pemandangan indah itu. Dia memilih duduk memejamkan mata, tidur. Untung para turis itu tidak terlalu cerewet menanyakan ini-itu. Mereka asyik masyuk dengan pasangannya masing-masing. Sementara dua cowok yang tak memiliki pasangan asyik memotret pemandangan di luar.
Robertino dan Diego, dua cowok Italy yang tidak punya pasangan dan yang paling muda diantara rombongan turis. Mereka terlihat pendiam dan bertampang angkuh. Hanya Diego yang tampak sedikit ramah. Dia sempat mengajak Arin ngobrol, dengan bahasa Inggris yang agak kaku. Diego berbasa-basi menanyakan tentang diri Arin. Gadis itu menanggapinya formil. Sejauh ini Arin selalu menjaga attitude dirinya secara profesional. Dia tak pernah melibatkan perasaan saat berhubungan dengan kliennya. Semuanya masih sebatas hubungan kerja, antara guide dan turis.
Meski diakuinya para turis yang dikawalnya rata-rata bertampang handsome dan masih lajang. Mereka memenuhi standar cowok idaman gadis-gadis pribumi. Tapi Arin menahan diri untuk tidak mudah terpikat. Bergaul dengan para turis Barat yang menganut kehidupan bebas justru membuka mata Arin, betapa cara hidup dan budaya mereka sangat bertentangan dengan norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Arin tak bisa menyandarkan harapan kepada cowok semacam itu. Sejauh ini impian Arin terhadap sosok pendamping hidup masih berpatokan pada sosok cowok pribumi. Bagaimana pun cowok Indonesia lebih baik dan lebih sesuai dengan dirinya.
“Jadi kamu belum punya pasangan?” Mata Diego yang nakal itu tampak berkilat ketika Arin mengaku kalau dirinya masih jomblo.
Arin hanya mengangguk. Dia berharap statusnya ini tak menjadikan sebuah kesempatan buat Diego melakukan pe de ka te. Bukan Arin mau ge er, tapi beberapa kali ia sering mendapat ajakan kencan dari cowok bule yang pernah jadi kliennya. Kata orang dirinya cukup cantik, meski Arin merasa dirinya cuma biasa saja. Tapi kenyataan banyak cowok bule memuji kecantikan wajahnya. Mereka bilang kalau wajahnya yang oriental sangat seksi. Arin berusaha tidak mabuk oleh pujian yang dilontarkan mereka. Karena dia tahu, pujian para cowok bule itu sangat tendensius. Mereka hanya ingin merayu yang ujungnya mengajak tidur!
Itulah kenapa Arin cukup waspada. Ia tak mau dirinya jatuh ke dalam jebakan. Ia akan menampik dengan halus setiap ajakan kencan yang menjurus kepada making love. Karena ia tahu, sekali dirinya jatuh dalam pelukan cowok bule yang pandai merayu, seumur hidup akan menyesal. Cowok bule itu tak akan pernah menjadikannya ratu melainkan hanya pasangan sesaat yang setiap saat bisa dilepas jika sudah bosan. Begitulah cara hidup mereka, tak pernah serius dalam menjalani hubungan. Cinta bagi mereka tak ubahnya segelas minuman anggur yang memabukkan dan menggairahkan ketika direguk. Tapi setelah hilang kenikmatannya, mereka akan mencari anggur yang lain.
Dan naga-naganya Diego tipe cowok demikian. Bahkan dia tergolong agresif. Begitu tahu Arin jomblo, tanpa rasa sungkan lagi dia mengobral rayuan yang berbau *** dan bernada mengajak ke ‘tempat tidur’. Sambil menahan rasa mangkelnya Arin menanggapi dengan acuh. Dia katakan terus terang kalau dirinya bukan tipe cewek yang suka free ***. Bahkan dengan terang-terangan mengatakan kalau dirinya frigid. Diego jadi salah tingkah sendiri dan akhirnya mundur teratur. Tiba-tiba Arin jadi muak melihat tampang Diego yang kelihatan innocent tetapi ternyata berhati mesum!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Nyonya Parmi
asli ngakak baca Tono yang dikibulin Arin kalau dirinya dibilang kayak bintang film Don Juan... Hahahaha
2021-12-03
0