Ketiga begundal itu segera menyeret tubuh Arin untuk dimasukkan ke dalam mobil. Mobil itu tak ubahnya mulut harimau yang siap menelan Arin bulat-bulat. Namun pada saat genting itulah, tiba-tiba muncul sosok tinggi ramping merubah keadaan. Kejadiannya begitu cepat. Sosok pahlawan itu melancarkan pukulan kepada ketiga begundal tengik. Mereka terjengkang. Tangan mereka yang mencengkeram Arin terlepas. Gadis itu ikut terjerembab. Ketiga begundal tampak ketakutan, mereka bergegas masuk ke dalam mobil dan melesat pergi. Sang pahlawan menghampiri Arin yang masih terduduk di atas trotoar.
“Are you okay?” Suara merdu itu seperti bulu perindu yang menyusup ke dalam gendang telinga Arin.
Untuk beberapa saat Arin dibuat tertegun dan terpesona. Dia melihat sepasang bola mata berwarna biru. Berkilau ditimpa cahaya lampu jalanan. Wajah rupawan mirip Pierce Brosnan. Apakah aku sedang bermimpi? Siapakah orang yang berada di hadapanku ini? Malaikatkah? Utusan Allah yang dikirim untuk menolongku? Arin masih terpaku pada khayalannya. Dia baru tersadar dari lamunan ketika laki-laki bule itu kembali menegurnya. Arin menjadi gugup. Dia segera berdiri dan mengucapkan terima kasih pada sang penolong.
“Thank you, sir!” ujar Arin sambil membungkukkan badannya berkali-kali layaknya orang Jepang.
Orang asing itu hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
Tiba-tiba sebuah taksi melintas. Arin buru-buru melambaikan tangannya. Mobil taksi berhenti. Dengan gugup dan terburu-buru Arin masuk ke dalam taksi. Sementara cowok asing itu hanya bengong melihat tingkah Arin yang aneh.
“Take care!” serunya kepada Arin.
Tapi gadis itu sudah tak mendengarnya, karena mobil taksi sudah melaju. Arin yang berada di jok belakang menghela napas. Panjang. Seolah melepaskan beribu beban dalam dadanya. Setelah melaju cukup jauh, Arin baru sadar belum mengenal siapa si penolongnya. Dia terlalu ketakutan sehingga tak sempat berpikir jernih lagi. Rasanya dia ingin segera pergi dari tempat itu. Ketika dia menengok ke belakang, ternyata orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Arin tak mengenalnya. Dia hanya ingat dengan sosoknya yang tinggi ramping, berkulit putih, mata biru, dan berwajah Pierce Brosnan.
Dan Arin baru ingat dengan isi doa yang tadi dipanjatkannya. Dia hanya bisa menghela napas…
Peristiwa di Bandung itu tak akan pernah terlupakan dalam benak Arin. Dia sungguh ngeri bila mengingatnya. Andai saja tak datang Mas Bule yang ganteng itu entah apa jadinya. Seumur hidup ia akan terus dihantui penyesalan. Namun dari peristiwa ini Arin menjadi lebih waspada dan hati-hati. Dia berjanji tidak akan pernah pergi lagi ke klab malam atau tempat hiburan malam sejenis. Meskipun selama ini ia bergaul dengan para turis yang doyan berpesta di klab malam tapi ia tak mau mengikuti gaya hidup mereka.
Peristiwa malam kelabu yang hampir saja merenggut kesuciannya itu pun membuat Arin meradang pada duo bule brengsek dari Italy. Gara-gara menuruti permintaan mereka ia hampir saja menjadi mangsa buaya darat. Sebagai balasannya Arin menampar pipi Robertino dan Diego begitu pagi harinya mereka keluar dari kamar hotel. Mereka sempat kaget dan heran, rekan-rekan mereka juga bertanya-tanya, tapi setelah dijelaskan Arin tentang kejadian semalam, mereka pun bisa mengerti. Mereka ganti menyalahkan Robertino dan Diego. Mereka menyuruh keduanya untuk minta maaf.
Dua tikus tengik itu pun meminta maaf kepada Arin. Peristiwa pelecehan semalam bisa menjadi preseden buruk buat para turis. Mereka kadang memang menyebalkan dan suka berbuat semaunya, tapi mereka alergi jika harus berurusan dengan hukum di negara tempat mereka melancong. Arin bisa menerima permintaan maaf mereka. Selanjutnya mereka kembali ke Yogya. Sesampai di Yogya Arin langsung menyurukkan diri di kamar kos. Kali ini ia benar-benar ingin istirahat total. Paling tidak selama tiga hari ia akan habiskan waktu memanjakan diri. Ia tolak semua tawaran rekan-rekannya yang mengajak pergi.
Bahkan Ira yang datang membawakan oleh-oleh dari Surabaya diusirnya pergi dari kamar kosnya. Padahal Ira berniat mengajak Arin nonton dan makan-makan sebagai balasan atas kebaikan menggantikan tugasnya.
“Kamu kenapa, Rin? Kok sensi banget. Lagi PMS?” ujar Ira heran.
“Iya, gue lagi PMS, Pengen Menonjok Seseorang,” jawab Arin dengan nada sewot.
“Idih, siapa yang mau ditonjok?”
“Pokoknya ada deh. Udah sekarang kamu pergi sana. Aku mau istirahat.”
“Kita keluar yuk, makan. Entar aku yang traktir.”
“Aku lagi malas keluar...”
Ira mendesah panjang. Sepertinya Arin memang lagi bad mood berat dan tidak bisa diganggu.
“Ya, udah. Kalau gitu aku pulang aja,” kata Ira hendak beranjak pergi, tapi tas berisi oleh-oleh dari Surabaya yang masih dipegang Ira tiba-tiba disambar Arin.
“Eit, sini oleh-olehnya,” kata Arin.
“Yaah, kamu giliran oleh-oleh ingat aja...”
“Kamu kesini kan emang mau ngasih oleh-oleh. Timbilan mata kamu kalau dibawa pulang lagi.”
Ira nyengir kecut.
“Udah, sono pulang!” usir Arin melihat Ira masih berdiri di tempatnya.
“Iya-iyaaa... jahat banget sih, kamu.” Ira cemberut keki.
Gadis itu lalu melangkah keluar dari kamar Arin dengan wajah keki. Padahal ia pengen ngobrol dengan Arin, mendengar pengalamannya mengantar turis Italy ke Bandung. Tapi Arin lagi tak mood untuk bercerita, ia tak mau mengingat-ingat pengalaman di Bandung. Pahit!
Begitulah. Selama tiga hari Arin ingin benar-benar merasakan rileks. Terbebas dari segala urusan ***** bengek yang memusingkan. Merehatkan tubuh yang lelah dibawa ke mana-mana. Travelling memang hobinya, tapi kalau terlalu sering melakukan perjalanan juga melelahkan. Apalagi perjalanan yang dilakukannya belakangan lebih sering ke luar kota. Rasa letih dan penat menggayuti tubuh.
Arin merebahkan diri di ranjang sambil membaca sebuah novel karya Agatha Christie. Kisah percintaan yang sangat romantis dari pengarang seribu novel itu memang selalu menghanyutkan perasaan. Membawa angan Arin seakan melayang ke negeri Eropa yang indah, klasik, dan eksotik. Kerap kali Arin membayangkan sosok laki-laki gentle dalam karakter Agatha Christie semacam Hugh Grant, Orlando Bloom, atau Russel Crowe. Tapi kali ini sosok lain lebih menguat dalam angan Arin, yakni sang James Bond, Pierce Brosnan.
Wajah pria penolongnya itu kerap menari-nari di pelupuk mata Arin. Mata biru laksana lazuardi, wajah ganteng dengan rahang kokoh, tatapan nan teduh menyejukkan… ah, hati Arin jadi berdebar-debar. Seperti orang mabuk kasmaran. Menyelinap rasa penyesalan, kenapa malam itu ia tak mengajaknya berkenalan. Setidaknya ia tahu siapa namanya dan dari mana asalnya. Tiba-tiba Arin jadi tersenyum sendiri. Ia segera menepis perasaannya ini. Ah, kenapa aku jadi ngelantur begini?
Untuk apa aku mesti tahu nama dan asalnya? Bagaimana kalau dia sudah beristri atau sudah punya pacar? Sangat berlebihan jika aku berharap bisa memiliki kekasih seperti dia, batin Arin pada dirinya sendiri. Ia mencoba berpijak di bumi, kembali pada komitmen awalnya untuk tidak tertarik pada bule. Dia sudah berjanji akan memilih menikah dengan pria pribumi. Dia sudah tahu bagaimana watak para pria bule. Siapa tahu si ‘Pierce Brosnan’ itu bukan pria baik-baik, dia sama seperti kaum bule pada umumnya yang suka hidup bebas tanpa ikatan.
Kebaikan yang ditunjukkannya malam itu hanya suatu kebetulan saja. Kebetulan ia lewat jalan itu dan melihat ada perempuan diganggu gerombolan laki-laki tengik. Layaknya film-film action Barat, orang bule paling suka disebut hero alias pahlawan. Mereka ingin dilihat super di mata orang lain. Alur cerita bisa ditebak; si cewek yang telah ditolong dan merasa berhutang budi rela menyerahkan jiwa raga kepada sang pahlawan. Mereka menjalin kasih yang kemudian berakhir di atas ranjang. Tapi kisah cinta itu akan berlangsung singkat, karena sang pahlawan akan kembali berpetualang mencari cewek lain yang bisa ditolong dan merelakan diri jatuh ke pelukannya!
Begitulah yang bakal terjadi. Arin jadi bergidik membayangkannya. Ia pun membuang jauh-jauh keinginannya berkenalan dengan pria bule penolongnya. Ia yakin pria itu sama seperti pria bule pada umumnya. Arin menghapus bayangan wajah Pierce Brosnan. Dia lalu menggantinya dengan wajah lokal macam Dude Harlino, Ferdi Nuril, Nicholas Saputra, atau Rafli Ahmad. Hmm, mereka tidak kalah ganteng dari cowok bule. Arin berharap, suatu ketika dipertemukan dengan cowok produk dalam negeri. Orisinil. Paten. Dan tentu saja seiman, satu budaya, satu bangsa, satu bahasa, satu negara, kalau bisa satu daerah!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Mirza Abimanyu
kok aku lebih suka laki2 bule, tapi dapatnya yang lokal eh
2022-10-20
0