"Aila, kamu mau kemana?"
Erna yang semula duduk bersantai di ruang tengah dengan sebuah majalah fashion di tangannya, lantas bangkir berdiri. Melihat kedatangan Aila dengan tas di tangannya.
"Aila mau pamit pulang Tante," jawab Aila.
"Pulang?"
"Ini masih pagi Aila, mengapa tidak menunggu sampai sore saja,"
" ... Atau bagaimana kalau kamu menginap di sini sehari lagi?"
"Tante senang kamu ada di sini, karena Tante jadi ada teman bicara."
Erna berusaha membujuk Aila agar bersedia tinggal lebih lama. Namun Aila segera menolaknya dengan alasan pekerjaan.
Sebenarnya Aila hanya tidak ingin terlalu lama tinggal di sana, yang pada akhirnya membuat tak nyaman dirinya sendiri ... Juga Naira dan Fakhri.
"Maaf Tante, tapi besok Aila harus kembali bekerja."
Erna merengut sebal. Mendengar penolakan halus Aila. Ia ingin Aila berada lebih lama di sana lantaran ingin mendekatkan Aila dan Fakhri.
"Baiklah Tante akan membiarkan kamu pergi, kecuali jika ...."
"Jika apa Tante?" sela Aila. Penasaran dengan kalimat Erna selanjutnya.
"Jika Fakhri yang mengantar kamu pergi!" tegas Erna.
Fakhri dan Naira yang baru datang pun terlonjak kaget mendengar usulan tak masuk akal Erna.
Bagaimana mungkin Fakhri bisa pergi dengan Aila?
Yang sudah tentu akan menciptakan luka baru di hati Naira!
"Tidak perlu Tante ... Aila bisa menyetir sendiri, lagi pula Aila bawa mobil sendiri kok!" tolak Aila.
"Sudahlah Aila jangan menolak!"
"Tante yakin kalau Naira tak akan keberatan dengan hal ini!"
"Bukankah sejak awal dia sudah tahu kalau kamu kelak juga akan menjadi istri Fakhri,"
"Kamu tidak keberatan kan Nai?"
Pertanyaan halus yang terdengar menyayat hati bagi Naira. Namun Ia tak punya pilihan lain selain mengiyakan ucapan Ibu Mertuanya itu.
Karena sejak awal Naira sudah paham betul dengan konsekuensi yang akan ditanggungnya jika menikah dengan Fakhri.
"Jangan mengiyakan karena terpaksa Nai,"
"Kamu berhak untuk menolak!"
Fakhri tak tinggal diam. Setelah Ia melihat keterpaksaan di raut wajah istrinya itu.
"Aku tidak terpaksa Fakhri ... Pergilah, antar Aila sampai tujuan dengan selamat."
Naira berucap lirih sembari memaksakan diri untuk tersenyum.
Sebuah hal yang sebenarnya sangat bertentangan dengan isi hatinya.
Sejatinya, tak ada seorang pun wanita yang rela melihat suaminya akan berbagi hati.
"Tuh kan, kamu dengar sendiri kan Fakhri,"
"Naira saja tidak keberatan!"
"Sudah sana cepat antarkan Aila."
Erna terus mendesak Fakhri agar secepatnya mengantar Aila pulang. Takut jikalau menantunya itu akan berubah pikiran.
"Tante, tapi mobilku ...."
"Tinggalkan saja mobilmu di sini Aila, lagi pula kelak kamu juga akan tinggal di rumah ini,"
"Kamu tenang saja ... Tidak perlu khawatir, karena Tante akan membantu kamu mengurus kepindahanmu kesini,"
"Kamu akan bekerja di perusaahan keluarga kami nantinya!"
Erna menyela cepat ucapan Aila. Lalu segera meminta Fakhri dan Aila segera berangkat agar tak ada lagi yang mendebat keputusannya.
*-*-*
Naira menatap kepergian Aila dan Fakhri dengan raut muka sendu dari balik kaca jendela kamarnya.
Lagi. Air matanya mengalir deras tanpa bisa dicegah.
Hingga sedetik kemudian berubah menjadi isakan tertahan ketika laju mobil Fakhri mulai meninggalkan halaman rumah.
"Kamu menyesal?"
Tangis Naira terhenti namun tidak dengan isakannya.
Suara Erna yang baru masuk ke dalam kamarnya membuat Naira sedikit terlonjak kaget.
"Maksud Mama?"
Naira bertanya balik. Tak mengerti dengan apa yang dibicarakan Erna. Ibu Mertuanya.
"Kamu menangis karena melihat Fakhri bersama dengan Aila bukan?"
Erna menghentikan ucapannya sejenak lalu melangkahkan kakinya, mendekati Naira yang mulai mengusap bekas lelehan air mata di pipinya.
"Belum terlambat Naira,"
"Masih belum terlambat bagimu untuk pergi dari kehidupan Fakhri!"
"Kamu punya waktu untuk itu ...."
"Lihatlah dirimu sekarang, kamu bahkan tak kuasa melihat kebersamaan mereka ... Lalu bagaimana jika sudah tiba saatnya Fakhri dan Aila akan menikah?"
"Kamu yakin mampu melihatnya?"
Naira meremas kuat jari jemari tangannya mendengar penuturan Erna.
Dalam hati membenarkan apa yang diucapkan oleh Ibu Mertuanya itu.
Namun tekadnya telah bulat. Bagaimanapun situasi dan kondisinya Ia akan tetap bertahan demi cintanya pada Fakhri.
"Aku akan bertahan di sisi Fakhri, Ma ... Apapun yang terjadi!" ucap Naira. Penuh keyakinan.
"Terserah kamu sajalah!"
"Tapi Mama ingatkan dari sekarang, jangan pernah melarang Fakhri dekat dengan Aila!"
"Dan kamu harus memperlakukan Aila dengan sangat baik nantinya,"
"Paham kamu!"
Erna melengos setelah berucap panjang lebar. Melenggang pergi meninggalkan Naira yang kembali berurai air mata.
*-*-*
Hening!
Fakhri dan Aila terus saling diam sepanjang perjalanan.
Tak ada satu dari mereka yang mulai berbicara. Bahkan tidak untuk sekedar mencoba saling sapa.
Keduanya larut dalam pikiran masing-masing dengan suasana canggung dan tak nyaman.
Ckiiiiiiiittt
Hingga detik kemudian kepala Aila terbentur bagian depan mobil ketika Fakhri menginjak rem secara mendadak.
"Maaf, kamu baik-baik saja kan?" tanya Fakhri. Merasa bersalah.
"Aku baik-baik saja ... Mas Fakhri tak perlu khawatir," jawab Aila.
Fakhri menghela nafas lega. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sehingga tak begitu fokus ketika mengemudi. Hampir saja Ia menabrak kucing yang lewat di depan mobilnya. Membuat Fakhri refleks menginjak rem mobilnya.
"Mas Fakhri pasti sedang memikirkan Naira?"
Fakhri menoleh sekilas pada Aila. Lalu kembali melajukan mobilnya di jalanan.
"Maaf, tapi ini tidak mudah ...." jawab Fakhri. Terdengar mengambang.
"Seharusnya Aku lah orang yang harus meminta maaf pada kalian, karena Aku kalian ...."
Ucapan Aila terhenti. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis. Tak mampu untuk melanjutkan kalimatnya. Perasaan bersalah begitu terasa dalam di hatinya.
"Kamu tidak harus merasa bersalah Aila ... Aku pun tahu kamu melakukannya karena Mama,"
Kaget. Aila menoleh pada Fakhri yang berbicara sembari menatap lurus pada jalan di depan, lalu menoleh sekilas pada Aila. Hingga tatapan mereka bertemu.
Aila tak menyangka jika sebenarnya Fakhri tahu. Jika Ia bersedia menjadi istri kedua Fakhri karena permintaan Erna.
"Keadaanlah yang mempermainkan kita Ai,"
"Kamu menerimanya karena permintaan Mama atau mungkin lebih ke arah paksaan ...."
" ... Dan Aku?"
"Menolak pun percuma ... Mama pasti akan mencari wanita lain lagi jika bukan kamu,"
"Karena Mama begitu terobsesi untuk memiliki cucu dari darah keturunannya ... Sebuah hal yang mustahil Naira berikan,"
"Aku lah yang bersalah dalam hal ini, karena melibatkanmu dalam masalahku."
Hening.
Fakhri kembali termangu setelah berbicara panjang lebar. Begitu pun dengan Aila yang tak lagi meneruskan topik pembicaraannya dengan Fakhri.
Mereka kembali diam. Kembali terlarut dalam angan dan pikiran masing-masing.
Namun kecanggungan di antara mereka perlahan mulai sirna, seiring dengan berjalannya waktu. Terlebih setelah perbincangan singkat tadi.
**Hai readers ... jangan lupa untuk meninggalkan like, komen dan vote ya ....
Salam hangat dan peluk dari jauh dari Author**.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
D'illah @ NS
lg baca ulang nih kak,,,semangat ya kak💪✌
2020-05-14
0
D'illah @ NS
jahat bgt Naira,,,,kl aku jd Aila kl punya ank ga akn pernah aku kasih,,,biar dibilang egois jg,,hmmm
2020-05-07
3
Arum
ngga setuju aku tu kalo ai berpisah sama Fakhri seharusnya yang pisah itu naira . harus nya dia itu sadar diri dan Fakhri harusnya dia itu tegas gimana sih greget tauk
2020-05-05
2