Hasbi telah kembali ke rumah, setelah beberapa jam berada di kampus. Fiha membuka pintu, sambil tersenyum kepadanya. Yunah berdiri di samping Fiha, dengan raut wajah semringah.
"Hasbi, kamu tahu tidak dia siapa?" tanya Yunah.
"Tidak Bu, kami tidak sengaja berjumpa di jalan." jawab Hasbi.
"Dia adalah Fiha." ucap Yunah.
"Hmmm... Ibu lucu bercandanya." Hasbi tersenyum.
"Hasbi, aku memang Fiha. Pandanglah aku, bila kamu tak percaya." sahut Fiha.
"Aku tidak ingin memandang kamu." jawab Hasbi.
"Hasbi, aku ingin memelukmu. Apakah boleh?" pinta Fiha.
"Tidak boleh, aku tidak ingin hal semacam itu." jawab Hasbi.
"Itu artinya, kamu tak rindu aku." Fiha mulai bersedih.
"Kerinduan tidak seharusnya dilampiaskan dengan ego." jelas Hasbi.
”Hasbi berubah banget 99%, tidak seperti yang dulu. Sekarang menjadi lebih cuek, daripada yang sebelumnya. Apa dia sudah punya seseorang, di dalam hatinya.” batin Fiha.
”Fiha, aku bukan tidak rindu. Namun melakukan hal tersebut tanpa kehalalan, seperti mencuri barang haram. Allah melarangnya namun aku melakukannya, bagai meraih racun berkedok madu.” batin Hasbi.
"Tasbih yang aku berikan mana?" tanya Fiha.
"Masih ada, aku masih menyimpannya dengan baik. Kamu tidak perlu sedih atas tindakanku tadi, sekarang aku sudah percaya bila kamu Fiha." jelas Hasbi, panjang dan lebar.
Sementara di sisi lain, terlihat Halifah dan Filda sedang duduk. Tepatnya di ruang keluarga, yang tidak begitu ramai.
"Filda, bagaimana belajar di tempat kursus?" tanya Halifah.
"Mama, tempat itu sungguh nyaman. Lagipula, aku bertemu dengan Pak duda." Filda menahan tawa.
"Apa? Guru yang kemarin ada di sana?" tanya Halifah.
"Iya Ma." Filda tersenyum.
"Mama akan memindahkan tempat kursus untukmu." ucap Halifah.
"Aku tidak mau belajar lagi, kecuali belajar sama Pak duda." jawab Filda.
Keesokan harinya, Hasbi bersiap-siap untuk pergi ke kampus kembali. Fiha memberikan wadah nasi pada Hasbi.
"Ini bekal untuk makan siang kamu." ujar Fiha.
"Terimakasih Fiha." jawabnya tulus.
"Oh iya Fiha, katanya kamu sedang cari tempat kuliah. Kenapa tidak kuliah di tempat yang sama dengan Hasbi." Yunah mengusulkan idenya.
"Itu juga hal yang aku rencanakan Bu." jawab Fiha.
"Iya sudah, sekarang kamu antar Fiha pulang ke kosannya. Lalu, kamu temani dia mendaftar kuliah." titah Yunah.
"Maaf Bu, sepertinya aku buru-buru." jawab Hasbi.
"Hasbi, antar sebentar saja." Yunah memaksanya.
"Baiklah Bu." jawab Hasbi.
”Ternyata aku salah selama ini, aku yang terlalu menyimpan harap. Nyatanya pelangi sudah meredup, ingin cepat menghindari sang rembulan. Tidak rela bila memancarkan keindahan, di waktu yang sama. Seperti kamu yang aku sayang, tidak menganggap aku ada.” batin Fiha.
Fiha berjalan gontai, mengikuti langkah kaki Hasbi. Dia duduk di atas motor, sambil meneteskan air mata. Hasbi tidak mengetahuinya, karena fokus menyetir motor.
"Hasbi, kamu sekarang paling dekat sama siapa?" tanya Fiha.
"Aku dekat sama Ali." jawab Hasbi.
"Kalau teman perempuannya?" tanya Fiha.
"Tidak ada, hanya sebatas hal penting saja." jawab Hasbi.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai. Fiha segera masuk ke dalam, berganti baju dengan yang sedikit bagus. Setelah itu dia keluar, dengan mengenakan baju lengan pendeknya. Roknya di atas lutut, dengan parfum yang mencolok. Hasbi membuang pandangannya ke sembarang arah.
"Hasbi, aku sudah siap." ujar Fiha.
"Iya, aku tahu." jawabnya datar.
"Hasbi, aku kok merasa kamu beda dengan yang dulu." ucap Fiha jujur.
"Karena dunia juga bisa mengalami perubahan, sama seperti sifat manusia." jawab Hasbi.
"Kamu gak perlulah, buang muka kayak gitu." ujar Fiha ketus.
"Maaf, aku tidak nyaman dengan bau parfum." jawab Hasbi.
Fiha segera naik ke atas motor, lalu Hasbi mengendarai dengan pelan-pelan. Dia takut mengerem mendadak, dan menyebabkan tempat duduk mereka tidak berjarak lagi.
"Fiha, nanti kamu turunnya di taman dekat kampus iya." ucap Hasbi.
"What? Ngapain gak sampai parkiran langsung." jawab Fiha.
"Maaf, gak bisa Fiha." ujarnya.
"Aku tahu, kamu malu 'kan bawa aku." jawab Fiha.
”Fiha, perasaan selalu tak sama rata. Andaikan aku membawamu, pastilah akan menimbulkan fitnah. Seperti ini saja, aku sudah tidak nyaman. Kalau tidak karena Ibu yang memaksa, aku pasti sudah menolak tanpa penawaran.” batin Hasbi.
Mereka akhirnya sudah sampai, dan Fiha turun di taman tersebut. Butuh beberapa langkah jalan kaki, baru bisa sampai ke kampus. Hasbi meninggalkan Fiha sendirian, setelah berpamitan baik-baik. Mau bagaimana pun Hasbi menolak, mau selembut apapun dia mengucapkan, tetap saja bagaikan duri di telinga Fiha.
Fiha sudah sampai kampus, setelah beberapa menit dalam perjalanan. Saat baru sampai di kampus, Fiha melihat Aqila menghampiri Hasbi. Air mata berjatuhan, dari pelupuk mata Fiha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
bobo
cembukor fihaaa...hyo hijrahhh
2022-10-10
0