Qalam, dia seorang pria berusia 35 tahun. Dia seorang guru di sekolah SD Khatulistiwa, yang mendapat julukan Pak duda. Iya, karena dia menyandang status duda sudah lama. Kira-kira, kurang lebih sepuluh tahun.
Qalam segera melanjutkan perjalanannya, menuju ke tempat kursus Komunitas Islam. Hasbi terlihat sudah mengajar di sana, bersama dengan Aqila juga.
"Hasbi, kamu sudah datang dari tadi?" tanya Qalam.
"Iya Paman." jawab Hasbi.
"Semakin ramai saja yang bergabung." ujar Qalam.
"Alhamdulillah, karena Aqila membantu juga." jawab Hasbi.
Aqila menarik sedikit sudut bibirnya, lalu tersenyum mengembang. Qalam seperti ada daya tarik, untuk menggoda Aqila yang suka membuntuti.
"Hasbi, apa kamu tidak ingin menikah?" tanya Qalam.
"Tidak ada calon Paman." jawab Hasbi.
Qalam melirik ke arah Aqila secara sekilas. "Setiap hari ada ekor, masak tidak ada calon."
"Terkadang teman juga, bisa menjadi ekor Paman." jawab Hasbi.
Fiha kembali ke tempat kediamannya, kini dia baru saja usai bekerja. Tidak tertarik sama sekali, untuk berdiam diri di rumah. Dia harus mencari celah, untuk membagi waktu. Fiha membuka dompetnya, mengingat si Hasbi lagi. Ada kenangan, foto saat masih kecil.
”Besok adalah hari kembali, tunggu aku sebentar lagi.” batinnya.
Fiha memutuskan untuk kembali ke Indonesia, karena kedua orangtuanya telah wafat. Dia juga baru saja kabur, dari kejar-kejaran om Spanyol. Seorang pria sugar daddy, yang telah membelikannya barang belanjaan. Padahal saat diajak kencan, malah Fiha melarikan diri darinya. Pasti dia marah sekali, pikir Fiha di dalam otaknya.
Pesawat lepas landas juga, pada pagi hari esoknya. Fiha tersenyum lebar, melihat dari kaca pesawat. Menelentangkan kedua tangannya, saat orang-orang bercakap-cakap. Hasbi dan Aqila sibuk mengurus baju pesanan, untuk pelajar pondok pesantren.
"Hasbi, kamu belum punya calon 'kan?" tanya Aqila.
"Loh, kok kamu tiba-tiba nanyain itu." jawab Hasbi.
"Bukan gitu si, aku hanya ingin tahu." ucap Aqila.
"Saat ini, aku tidak punya." jawab Hasbi.
”Berarti masih ada kesempatan untukku, buat menjadi istrinya. Semoga dia punya perasaan yang sama.” batin Aqila.
Pada pukul 15.30 Fiha sudah sampai ke Indonesia. Dia menyeret koper beroda miliknya, bersamaan dengan para preman yang mengikuti. Fiha merasakan tidak enak, seperti ada langkah kaki di belakangnya. Fiha mempercepat langkahnya, lalu berlari sekencang mungkin. Preman itu terus mengejar, karena memang ingin menjambret nya.
Tolong!
Tolong!
Fiha berteriak-teriak, namun lokasi itu sangat sepi. Hingga dirinya memasuki perkampungan kecil, yang tidak jauh dari kota. Preman tadi terus mengikutinya, namun tidak berani mengejar karena melihat warga. Mereka sesekali memilih bersembunyi, agar Fiha tidak melihat wujud mereka.
Tok! Tok!
Fiha mengetuk sebuah rumah, namun yang keluar orang asing. Tidak terlihat Hasbi, ataupun juga ibunya. Hanya seorang perempuan paruh baya, yang sedang menggendong bayinya.
"Maaf, apa ini rumah Hasbi?" tanya Fiha.
"Sepertinya Mbak salah orang, ini bukan rumah Hasbi." jawabnya.
"Oh gitu iya, maaf." ucap Fiha.
"Mungkin yang Mbak maksud, penghuni rumah ini sebelumnya." jawabnya.
"Nah benar, dimana mereka sekarang?" tanya Fiha.
"Saya tidak tahu." jawabnya.
Fiha segera pergi, melanjutkan perjalanannya. Kini dia benar-benar sebatang kara, tidak memiliki siapapun lagi. Dari yang dulunya kaya, malah sekarang kerja serabutan. Waktu kecil keluarga Hasbi lah, yang sering hidup pas-pasan. Namun dengan kebaikan hatinya, Fiha sering membantu Hasbi. Karena dulu dia orang yang paling kaya, di kampung tersebut. Fiha berjalan gontai, memilih untuk mencari kosan. Namun, masih terasa ada yang mengikuti lagi. Memberanikan diri untuk menoleh, namun tidak ada siapa-siapa.
"Hmmm, aku harus kabur sekarang. Jangan-jangan mereka preman yang tadi." Fiha berlari.
Para preman itu mengejarnya, dan memilih berpencar. Mereka berencana akan menghadang Fiha, dari depan dan belakang. Namun Fiha cukup cerdik, dia merasa mereka akan membagi kelompok. Jadi, dia harus mencari tempat persembunyian yang aman. Fiha melihat ada masjid, yang ramai sekali anak-anak. Dia segera memasukinya tanpa berpikir panjang lagi. Fiha bersembunyi di dalam, masih mengenakan rok mini dan baju tanpa lengannya. Semua mata menyorot ke arah Fiha, karena di sana sedang diadakan acara pengajian.
”Sungguh membuat malu saja, habisnya ini darurat. Hmmm... untuk pertama kalinya aku masuk masjid, ternyata sedamai ini. Hasbi, aku jadi mengingatmu di masa kecil. Aku menemanimu memindahkan semut, yang berjalan pada saluran keran. Kamu begitu baik, menyempatkan menolong sesama. Saat itu, aku mulai meniru tindakanmu. Karena jauh darimu, aku menjadi kacau.” batin Fiha.
Saat dirasa kondisi telah aman, dia segera keluar dari masjid. Seorang anak kecil menghampiri Fiha.
"Kak, kalau masuk masjid jangan mengenakan rok mini." ucapnya.
"Iya Dik." Fiha tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Rony Saputra
Assalamualaikum wr wb
maaf ijin komen🙏jujur aku suka banget dengan cerita ini karena aku baru 8 bln mualaf sudah 4x aku baca cerita ini tapi aku gk pernah bosan2 mau lanjut baca lgi
terimakasih atas ceritanya
2025-02-24
0
Nadia
aku mampir dari "Cinta Mualaf"
2022-03-25
2
Hanna Devi
sukses selalu untuk karya2 nya
2021-12-20
1