Aku duduk menghadap Nasya dan Akbar, membiarkan paman Zafran duduk di kursi satu dudukan.
"Kamu sepertinya sukses bekerja di kota besar," ujar Paman Zafran.
"Lumayan Paman."
"Bagaimana kabar Tante Rose?" ucapku basa basi.
Saat keluarga sedang berduka, bisa-bisanya Bibiku itu tidak hadir menjenguk kami.
Terlihat sekali jika Paman Zafran gugup menjawab ucapanku. "Tantemu sedang tidak enak badan, nanti jika sehat, Om akan mengajaknya kemari."
Pembicaraan kami terjeda saat Bibi Mia datang bersama Fatmala membawakan suguhan untuk kami.
Tak lupa aku ucapkan terima kasih pada keduanya. Sekilas aku melihat Fatmala merona saat memandangku.
Gadis itu sangat aneh, aku jadi berpikir mungkin-kah dia berpikir aku adalah Nathan.
Sedangkan Nasya, terlihat sekali memandang kesal ke arah Fatmala. Entah apa yang kedua gadis ini pikirkan tentangku.
"Jika kamu sibuk di kota sana, lalu bagaimana dengan perkebunan?"
Sudah aku perkirakan Paman Zafran akan membahas hal mengenai perkebunan teh milik keluargaku ini.
Belum sempat aku menjawab, Paman Zafran kembali melanjutkan ucapannya.
"Kasihan Ibumu, dia sudah terlalu tua untuk mengurusnya," tukasnya.
"Aku yang akan mengurusnya," jawabku asal.
Aku sendiri belum membicarakan masalah perkebunan dengan ibuku. Dan merasa kesal karena Paman Zafran tak pernah mau berhenti mengurusi perkebunan milik kami ini.
Dia terkekeh, lantas meminum teh yang tadi di suguhkan sebelum berkata padaku lagi.
"Kamu sibuk dengan kerjaanmu, bagaimana bisa kamu menjaga perkebunan ini? Apa kamu mau Paman bantu?" tawarnya.
Jika saja Pamanku itu bukan orang yang selalu berusaha merebut perkebunan teh milik keluargaku, tentu saja tawarannya akan sangat aku sambut.
Karena dia adalah orang yang selalu merebutkan hal yang bukan miliknya, membuatku enggan menerima bantuannya.
"Kamu masih tidak percaya paman?" tuduhnya dengan menatap tajam ke arahku.
"Paman ... kami masih berduka. Aku dan Ibuku belum membicarakan masalah seperti ini, terima kasih atas tawaranmu, tapi aku perlu membicarakannya terlebih dahulu dengan Ibu," jawabku geram.
"Jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Masa depan masih panjang," balasnya ringan.
Ingin sekali aku memukul wajahnya jika tidak ingat ia adalah orang tua, terlebih lagi dia masih keluargaku.
Bisa-bisanya berbicara seperti itu saat kami masih berduka. Siapa pun tahu jika hidup jangan berkubang dalam kesedihan karena kehilangan. Namun apakah pantas jika baru saja kami memakamkan jenazah orang yang kami sayangi lantas sudah meributkan hal seperti ini.
"Aku tau, nanti setelah aku bicara dengan ibu, aku akan mengabari Paman," jawabku.
"Kamu tau ... Paman tak pernah menawarkan untuk kedua kalinya. Paman hanya tak tega melihat perkebunan milik keluarga kita terbengkalai,"
Kita? Benar dugaanku dia masih merasa perkebunanku adalah miliknya. Dari mana Pamanku yang sok tahu ini berpikir bahwa perkebunan kami terbengkalai hanya karena Nathan telah tiada. Dia benar-benar meremehkan keluargaku.
"Kudengar kamu sekarang bekerja di kota yang sama denganku Bar?" tanyaku mengalihkan pembicaraan dengan paman Zafran.
"Iya, lebih tepatnya aku bekerja di perusahaan yang lebih bonafide dari pada tempat kerjamu," jawabnya jemawa.
Jengah sekali aku mendengar ucapan dia yang selalu menyombongkan diri. Lihat saja bagaimana aku membuatmu dan ayahmu itu bungkam.
"Aku pikir kamu menjalankan usaha bersama Paman. Apa usaha kalian gulung tikar?"
Mereka semua sontak menatapku geram, tak perlu membalasnya dengan membanggakan perusahaan Saka. Ini masalah kami, maka aku akan membalik keadaan dengan menjatuhkan lagi mentalnya.
Paman Zafran berdehem untuk mendinginkan situasi. Suara Bibi Mia membuat aku menoleh.
"Mas Ettan, makan malam udah siap," ujarnya.
Aku bangkit dan meminta keluarga Pamanku untuk ikut makan bersama, berharap setelah acara numpang makan ini mereka akan bergegas pergi.
Kubiarkan Paman dan Akbar mendahuluiku, berjalan di depan. Namun sial, hal itu membuat Nasya justru mencari celah untuk mendekatiku.
"Ka, apa kabar?" tanyanya malu-malu. Dia menyelipkan anak rambut di telinga.
Ya ampun pertanyaan macam apa ini, geramku. Apa dia tak tau bagaimana cara ingin berbasa-basi denganku.
"Kamu bukannya tahu bagaimana kabarku?" ucapku tajam.
Dia salah tingkah, digigit bibir bawahnya gugup. "Kamu makin tampan Ka," lanjutnya.
"Simpan perasaanmu, kita ini saudara!" ketusku.
Masa bodo, kutinggalkan saja ia yang masih bergeming karena terkejut dengan sikap dinginku.
Paman duduk di kepala kursi, posisi yang biasanya di duduki Ayahku. Apa dia menegaskan bahwa dia bisa menjadi pengganti kepala keluarga di rumahku? Yang benar saja.
Aku duduk di sebelah kirinya berhadapan dengan Akbar dan Nesya yang memasang wajah kesal.
"Panggil Ibumu Tan. Bagaimanapun dia harus makan," pintanya.
"Aku sudah meminta Bibi untuk membawa makanan ke kamarnya," jelasku.
"Kami ini keluarganya yang jauh-jauh datang, harusnya Ibumu memberikan sedikit perhatian pada kami," sindirnya.
Ingin sekali aku menyumpal mulut Pamanku ini, perhatian katanya. Dia datang hanya saat kami kehilangan anggota keluarga kami, bagaimana bisa dia berkata meminta perhatian.
Lagi pula kami tidak memaksanya datang, aku juga tidak tahu dia mendapat kabar meninggalnya Nathan dari mana.
"Ibu sangat kelelahan Om, dia selalu menangis, jika Om masih menganggap kami keluarga, aku mohon pengertiannya," balasku dingin.
Aku melihat Paman terkesiap mendengar ucapanku. Namun aku tak peduli, aku mengambil makanan dan menyendoknya ke mulut. Berharap acara makan malam tak menyenangkan ini segera berakhir.
Setelah acara makan malam, Paman bergegas pamit undur diri.
Saat aku mengantarnya sampai teras depan rumah, dia kembali berkata agar aku memikirkan tawarannya.
Aku hanya balas tersenyum, terlihat Akbar yang sudah sangat bosan di rumahku. Sedangkan Nasya seperti enggan pergi meninggalkan rumahku.
Baru saja aku masuk, aku sudah di kejutkan dengan Paman Wira yang memapah tubuh Fatmala bersama istrinya.
"Kenapa Paman?"
"Paman mau bawa Fatma ke rumah sakit, dia pingsan tadi," ucapnya.
"Baiklah Paman, hati-hati."
Aku memberi mereka jalan untuk lewat. Kupandangi dari kejauhan saat Paman Wira beserta Bibi Mia masuk ke dalam mobil. Fatmala memang masih pucat, aku tahu dia mungkin masih sakit.
Keesokan paginya aku melihat ibu yang juga keluar kamar. Aku memeluk bahunya dan berjalan bersama menuju dapur.
Terlihat Bibi Mia bersama asisten rumah tangga lainnya tengah sibuk di dapur.
"Bi, gimana kabar Fatma?" tanyaku saat berhasil duduk.
Bibi Mia tampak menunduk, seperti enggan menjawab pertanyaanku.
"Fatma sakit?" tanya Ibuku khawatir.
"Fatma di rawat di rumah sakit Bu," jawabnya.
"Nara, nanti antar Ibu jenguk Fatma ya," pinta ibuku.
"Iya Bu, tapi Ibu harus makan dulu dan minum vitamin," pintaku.
"Kata Dokter Fatma sakit apa Ya?"
"Emmm ... kelelahan Bu," jawab Bibi Mia ragu-ragu.
Aku merasa sepertinya Bibi Mia enggan memberitahu kondisi keponakannya itu.
.
.
.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Kang Nyimak
kek nya keluarga paman Zafran deh
2022-10-02
0
Windi Aril
fatma hamidun
2021-12-10
1