Setelah menyalatkan, kami bergegas membawa keranda jenazah Nathan menuju kuburan yang letaknya tak jauh dari kampung kami.
Aku memilih berjalan kaki dari pada harus menggunakan iringan mobil ambulans karena memang jaraknya yang tak begitu jauh.
Aku, Saka, Arman dan Paman Wira-lah yang mengangkat keranda, beruntung sahabat-sahabatku meski orang hebat mereka tak keberatan melakukan hal itu.
Padahal aku sudah menolaknya, biarkan aku beserta Paman Wira dan warga yang mengangkat, tapi mereka menolak dan bersikukuh membantuku.
Bagi mereka, Nathan juga sahabat mereka. Meski hanya sesekali bertemu, tapi mereka juga merasa kehilangan sama sepertiku.
Bahkan mereka mau turun ke liang Lahat untuk membantuku, ucap syukur tak henti-hentinya aku panjatkan pada Tuhan karena banyak yang menyayangi mendiang adikku.
Para warga sudah membubarkan diri, hanya tersisa aku, ibu, Fatmala, Paman Wira dan juga sahabat-sahabatku tentunya.
Ibu masih menangis di atas nisan Nathan. Aku duduk di sebelahnya mencoba menenangkannya sekali lagi.
Fatmala terisak di seberang kami. Ia mungkin sangat kehilangan Nathan sebab dari perbincangan yang kudengar kemarin, aku menduga ia kekasih Nathan.
"Ayo Bu, kita pulang. Ibu harus ikhlas," bujukku. Ibu lantas bangkit, aku memapah tubuhnya.
Fatmala di bantu oleh Paman Wira agar ikut kami pulang juga.
Baru saja kami hendak meninggalkan makam Nathan, datanglah orang yang paling di hindari olehku dan keluargaku. Siapa lagi kalo bukan Paman Zafran beserta sepupuku Nasya dan Akbar.
Paman Zafran adalah adik tiri ayahku. Mereka satu ayah tapi beda ibu. Paman Zafran adalah orang yang selalu memperebutkan perkebunan teh kami.
Padahal sudah dijelaskan berulang kali bahwa tanah perkebunan itu adalah murni milik ayahku, sebab itu adalah warisan mendiang nenekku dari nenek buyutku. Bukan harta bersama yang di hasilkan Nenek kakekku.
"Mayang, Ettan, maaf, Om baru datang sekarang, kami baru mendengar kabar duka ini pagi tadi," ujarnya.
"Terima kasih Om. Maaf, silakan Om ke makam Bara, saya harus membawa Ibu pulang."
Paman Zafran mengangguk, dan memberi kami jalan untuk melewati mereka.
"Setelah dari sini, kami akan mampir ke rumahmu." Aku hanya mengangguk untuk membalas ucapannya. Dia lantas menepuk bahuku saat aku berlalu melewatinya.
Netraku bertemu pandang dengan Nasya sepupu tiriku. Seperti dahulu, tatapan memuja selalu ia perlihatkan padaku.
Meski kami sepupu tiri, tidak seharusnya dia menatap penuh minat padaku. Tapi peduli apa aku, tak mungkin juga aku jatuh hati padanya.
Mengingat dulu dia dengan tak tahu malu menyatakan perasaannya padaku. Aku tentu saja langsung menolaknya, berkata bahwa dia tak seharusnya menyukaiku. Namun ia tak peduli, dia berdalih jika rasa yang dimiliknya bukan sesuatu yang bisa ia kontrol.
Dalam perjalanan, Fatmala masih tampak terisak. Tak ada yang berusaha menenangkannya. Hanya Paman Wira yang sesekali terdengar memintanya untuk mengikhlaskan kepergian Nathan.
Sebegitu cintanya gadis itu pada adikku hingga ia selalu menangis.
Sesampai di rumah, aku meminta asisten rumah tangga ibuku untuk membantu membersihkan tubuh ibu. Bagaimanapun kami baru saja kembali dari pemakanan sudah menjadi tradisi untuk segera membersihkan diri selepas pulang dari tempat itu.
Saka dan Arman aku minta untuk membersihkan diri di kamarku. Biar aku membersihkan diri di kamar Nathan.
Kupandangi setiap sudut kamar adik kembarku. Tak ada yang berubah, sudut kamarnya di dominasi warna abu seperti biasa. Cat, gorden bahkan sepreinya berwarna abu-abu. Hanya meja kerja dan nakasnya yang berwarna putih. Berbeda denganku yang lebih menyukai warna putih dan hitam.
Aku duduk di ranjang miliknya, bahkan harum parfumnya masih terasa di indra penciumanku.
Kuambil pigura foto yang terletak di atas nakas tempat tidurnya. Itu foto keluarga kami, ayah, ibu, aku dan dia.
Sekarang hanya tinggal aku dan ibuku. Ayah dan Nathan sudah berbeda alam dengan kami. Air mata kembali menetes di sudut mataku.
Mengingatkanku dengan pertemuan terakhir kami bulan lalu. Kuletakan kembali foto itu. Laci nakas Nathan menarik perhatianku seperti magnet. Kuikuti naluriku, tak ada yang menarik di sana hanya sebuah buku catatan, majalah dan beberapa bolpoin di sana.
Tetap saja buku catatan itu menarik untuk kulihat isinya. Andaikan Nathan ada, bisa jadi adikku itu akan marah karena telah lancang membuka buku hariannya, mungkin.
Ah apa kau seperti gadis Bar, apa kamu menulis semua kegiatanmu di sini? Aku lihat ya. Batinku meminta izin.
Tak ada yang menarik, hanya beberapa catatan kegiatannya. Dia memang sangat teratur dalam manajemen waktu.
Namun saat aku membalik dengan cepat buku itu, ada ketas terjatuh dari sana. Saat kupungut, terdapat foto Fatmala yang tersobek. Aku lantas mencari sisanya potongan lainnya. Dan saat aku menemukannya yang terselip di antara lembar lainnya aku pun menyatukan keduanya. Itu adalah foto Nathan dan Fatmala.
Ada apa dengan Nathan, apa dia bertengkar dengan Fatmala. Tak mau ambil pusing segera ku kembalikan ke tempatnya.
Aku memilih bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aliran air dingin tidak menenangkan otakku. Aku justru terus berpikir pada siapa aku harus menanyakan keadaan Nathan sebelumnya.
Ibu? Tentu saja dia pasti akan menangis sebelum bisa menjawabku.
Paman Wira, ya, dia pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Nathan.
Aku harus bergegas membersihkan diri, sebab tak ingin membuat sahabat-sahabatku menunggu.
Meski aku merasa sangat lelah tapi mereka tamuku. Belum lagi, Paman Zafran dan anak-anaknya yang akan mengunjungi kami. Tak akan kubiarkan lelaki tua itu menyudutkan ibuku.
Beruntung istrinya tak turut serta, perempuan paruh baya seumur ibuku yang selalu tampil glamor itu selalu saja berkata kasar dan menghina kami.
Entah ke mana Bibiku itu hingga Paman Zafran tak mengajaknya.
Saat aku keluar dari kamar mandi, bertepatan dengan Fatmala datang ke kamar Nathan. Kami sama-sama bergeming karena terkejut. Dia bahkan sampai menganga melihatku.
Astaga, aku lupa jika aku hanya melilitkan handuk di pinggangku.
Sadar apa yang di lihatnya, aku bergegas masuk kembali ke kamar mandi.
Dia juga berbalik dan menutup matanya menggunakan kedua telapak tangan. "Maaf Mas, aku keluar dulu," ucapnya dan berlalu meninggalkan kamar.
Aku mencebik, apa gadis itu selalu masuk ke kamar Nathan sesuka hati?
Lekas aku keluar dan mengenakan pakaian Nathan, tubuhnya tak jauh berbeda denganku. Tinggi kami hanya berbeda beberapa senti, aku 180 cm dan Nathan 175 cm.
Baju Nathan yang di dominasi warna hitam dan abu. Itu memang ciri khasnya. Kuambil yang paling atas. Beruntung dia memiliki pakaian dalam baru yang belum di pakai.
Keluar dari sana, ternyata Fatmala masih berdiri di depan kamar. Sepertinya ia menungguku keluar.
"Kamu mau masuk ke kamar Nathan?" tukasku.
Dia menggigit bibir bawahnya. Terlihat sekali dia merasa gugup dengan pertanyaanku.
Belum juga menjawab, panggilan ibu membuat kami berdua menoleh.
"Bara?" ucapannya dengan air mata yang sudah menggenang.
Aku sudah menduga jika aku memakai pakaian Nathan maka ibu pasti akan salah paham padaku.
"Bu, ini aku Nara," jelasku.
"Nara?" dia mengusap lembut kedua pipiku.
Aku memeluknya, dia pasti sangat merindukan Nathan. Aku sampai lupa ingin menanyakan tujuan Fatmala mendatangi kamar Nathan karena ibu.
.
.
.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Evy
Pamannya saudara kandung seAyah dengan Ayahnya Bara bukan saudara tiri Thor....
2024-10-06
0
Sri Erna
koq jd paman wira y,,bukn d awal2 paman wawan y 🤔
2022-03-02
0
Ida Rosmini
seharusnya Ethan baca dulu semua buku harian Nathan siapa tau dia bisa mendapatkan petunjuk
2021-12-17
2