Aku berjalan gontai mendekati tubuh adikku. Dokter sedang mencatat waktu kematiannya, dan memberi waktu kepadaku untuk melihatnya.
Kudekati tubuh Nathan yang dingin dan kaku. Kupeluk erat tubuhnya, orang yang aku sayangi telah pergi meninggalkanku.
Senyumnya menghilang, berganti dengan bibir pucat dan diam membisu.
"Kenapa ... apa yang terjadi, Bara!" ucapku sambil menggoyang tubuhnya.
Paman Wira menyentuh bahuku. "Ikhlaskan, supaya Nathan tenang di sana," ucapnya.
"Aku harus cari tau kematian Bara, Paman!" ucapku penuh keyakinan.
Kuseka air mata ini. Cukup, menangis juga tak akan membuatnya kembali pada kami. Aku harus mencari tahu penyebab kematiannya.
Kulihat paman Wira bergeming di tempatnya. Aku tak tau kenapa.
Pandangan kami teralihkan saat mendengar suara isakkan di belakang.
"Mas Nathan," ucap Fatmala sambil melangkah mendekat.
Aku menyingkir memberinya jalan, dia sepertiku tadi, memeluk tubuh kaku Nathan dan mengguncangnya.
Tangisannya sangat pilu, seolah-olah gadis itu telah kehilangan seseorang yang sangat berarti di hidupnya.
Paman Wira memeluk tubuh keponakannya. Hingga tubuhnya meluruh dan tak sadarkan diri.
Aku terkejut, lekas keluar untuk memanggil perawat. Fatmala dibaringkan pada ranjang yang bersebelahan dengan ibuku.
Aku memilih mengikuti para perawat ke kamar mayat untuk memandikan jenazah Nathan.
Aku bersikeras meminta agar aku ikut dalam memandikan jenazah adikku itu.
Air mata tak henti menetes dari pelupuk mataku. Saat kulihat banyak bekas luka di sana. Dia seperti habis di hajar hingga babak belur.
Ku usap kulitnya secara perlahan, membayangkan betapa tersiksanya dia saat menerima perlakukan biadab itu.
"Mas ... sudah selesai. Biar kami saja yang mengafani," ucap salah satu perawat laki-laki yang membantuku.
Aku mengangguk lemah dan meninggalkan kamar mayat. Melihat bangku di taman dekat kamar mayat, aku pun mendekat dan mendudukkan diri. Berusaha menenangkan batinku yang berkecamuk.
Aku sudah meminta paman Wira untuk menyiapkan semuanya di rumah. Agar selesai dari sini, Nathan bisa segera di makamkan.
Bersyukur aku sudah meminta Dokter untuk memvisum adikku.
Tak ingin berlama-lama, aku memilih kembali ke dalam rumah sakit untuk menemui ibuku dan Fatmala.
Ternyata mereka telah siuman, Fatmala masih terisak, sedangkan ibuku masih terbaring lemah, terdengar dia tengah berusaha menenangkan Fatmala.
"Sudahlah Fatmala, Ibu yakin Nathan baik-baik saja. Doakan dia agar segera pulih, ya?" ucapnya.
Hatiku seperti akan copot dari tempatnya, ibuku belum mengetahui jika Nathan tak terselamatkan.
Aku dilema, apa aku harus memberitahunya kabar yang menyakitkan itu. Tapi aku tak suka membohongi ibuku.
Lebih baik jujur dari pada membuatnya kecewa nantinya. Setidaknya, aku berharap ibuku bisa melihat wajah Nathan untuk terakhir kalinya.
"Bu," lirihku. Seperti ada biji salak tersangkut di sana yang membuatku tercekat.
"Kamu kenapa di sini? Sana temani Bara!" usir Ibuku.
"Bu, Bara ... udah ngga ada." Akhirnya dengan bersusah payah aku mampu berkata jujur.
"APA!! Kamu jangan bohong, Nara. Ngga mungkin! Dokter tadi bilang keadaannya stabil! Kamu bohong Nara!" Ibu mengamuk bersusah payah aku memeluk tubuh kurusnya.
Ibu menangis memukul-mukul punggungku. "Maafkan aku Bu, aku ngga mampu jaga dia," ucapku.
Pukulan ibu melemah, dia lantas melonggarkan pelukan dan menatapku.
"Ibu ingin bertemu dengannya, Nara," pintanya.
"Baik Bu." Aku lantas meminta perawat untuk membantu ibu.
Aku meletakan tubuh ibuku di kursi roda. Selang infus masih terpasang, hanya di matikan sementara alirannya.
Sebelum pergi, kami menatap Fatmala yang masih menangis dengan menutup mulutnya.
"Istirahatlah. Kami tinggal dulu," ucapku padanya. Tak ada jawaban.
Aku lantas mendorong kursi roda ibuku menuju kamar mayat tempat jenazah Nathan berada.
Aku memilih menghentikan kursi roda ibuku tepat di depan pintu masuk kamar mayat.
"Ibu yakin mau melihat Bara?"
"Ibu mau lihat putra Ibu terakhir kalinya, Nara," kekehnya.
Tanpa menjawab, aku kembali mendorong. Ruangan itu kosong dan sangat mencekam. Di ujung sana terdapat pembaringan terakhir yang menopang tubuh adik kembarku.
Aku berjalan dengan pandangan kosong. Belum apa-apa ibuku sudah terisak kembali.
Saat ini tubuh Nathan sudah di balut kain kafan putih. Aku bersyukur ibu tak melihat semua luka di tubuh Nathan. Itu hanya asumsiku, aku tak tau apa ibu sudah pernah melihat atau belum.
"Bara ... kamu janji mau jagain Ibu. Kenapa kamu langgar. Nak?" ucapnya yang sangat menyedihkan.
Ibu memeluk tubuh Nathan dan menciumi pipinya. Aku lantas mendudukkan diri, mensejajarkan dengan tubuh Ibuku.
"Bu, kita harus ikhlas, Bara udah tenang sama Ayah di sana. Ibu mau ikut pemakaman Bara?" ucapku dengan sedikit tercekat.
"Iya Nak, maafkan Ibu, dia udah tenang, udah ngga kesakitan lagi," ujarnya sambil menepuk punggung tanganku yang menggenggamnya.
Ku kecup tangan ibuku dengan takzim, menitikkan air mata yang tersisa, aku tau hatinya lebih terluka dariku.
Aku tau dia berusaha tegar demi aku, anak satu-satunya yang tersisa.
Lantas ku dorong kembali kursi rodanya keluar dari kamar mayat. Kami berjalan menuju ruang administrasi. Sebelum pulang semua biaya harus segera aku bereskan.
Aku juga sekalian meminta daftar biaya administrasi perawatan Fatmala, sebab aku merasa gadis itu juga bagian dari keluargaku.
Aku juga meminta agar surat hasil visum segera keluar agar aku bisa mulai proses pelaporan, karena aku memang curiga dengan kejanggalan pada kematian Nathan.
Aku sudah menghubungi Saka dan Arman, mereka berkata akan segera datang.
Aku mendorong kembali kursi roda ibuku. Kini dia tengah di tangani oleh perawat yang akan membuka selang infusannya.
Dari bilik yang tertutup tirai hijau itu, aku masih mendengar isakkan Fatmala.
Ku lihat ibuku berulang kali menghembuskan napasnya. Aku pikir dia mengkhawatirkan gadis itu.
Setelah infus di tangannya selesai di lepas, ibu memintaku untuk mendatangi bilik Fatmala.
Saat kami menyibaknya, dia tengah meringkuk dan menangis pilu.
"Sabar Fatma, kamu masih muda, jalan hidupmu masih panjang, Ibu doakan semoga kamu bisa segera menemukan pengganti Bara," ucap Ibuku sambil mengusap bahu dan lengan Fatmala.
Aku mengernyit heran, berpikir jika Fatmala dan Nathan memiliki hubungan spesial.
"Kami akan pulang untuk memakamkan Bara, kamu istirahatlah," pinta Ibuku.
Namun, Fatmala sontak bangkit terduduk, matanya membelalak. Rambutnya kusut masai, matanya sembab dan hidungnya memerah.
"Aku ikut Bu, aku mau lihat Mas Nathan," pintanya.
"Nara, coba kamu tanyakan Dokter apa Fatmala bisa ikut pulang?"
Aku mengangguk dan mendekati meja panjang dimana para Dokter dan perawat sedang berjaga di ruang Unit Gawat Darurat ini.
"Permisi Dok, saya mau tanya, apa saudari saya bisa pulang? Kami sedang bergegas melakukan pemakaman," ujarku.
"Keadaannya sedikit lemah, sebenarnya kami ingin mengeceknya secara lebih dalam, tapi karena sedang berduka, saya akan izinkan pulang. Jika nanti pasien merasa pusing, tolong segera antar kembali ke sini ya Pak," ucap Dokter berkaca mata.
Kami kembali menunggu penanganan Fatmala. Obat-obatan Ibu dan Fatmala biar saja nanti di ambil oleh orang rumah.
Kami sudah tak punya banyak waktu. Kami pulang beriringan dengan ambulans yang membawa jenazah Nathan.
Rumahku sudah dipasangi bendera kuning, banyak para tetangga sudah hadir.
Para petugas rumah sakit lantas menurunkan jenazah Nathan dan meletakannya ke dalam rumah.
kami sudah bersiap untuk menyalatkan jenazah Nathan. Lagi, Ibuku dan Fatmala kembali terisak.
.
.
.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Ceritanya bagus 👍👍👍
2022-10-19
0
Adinda
tiap ada kasus yang mati dengan di aniaya hati saya koq sakit ya
2022-03-07
0
Felisitaz😇
bagus sekali kisah nya😘😘😘
2022-02-15
0