Hening tercipta begitu saja diantara kedua manusia didalam ruangan kecil itu.
"Bukan kah kita memang berteman?. Kau adalah teman ku sejak kita disekolah menengah. Lalu kenapa kau menanyakan hal itu?."
"Maksud ku berteman layaknya pria dan wanita." Ada semburat keragu-raguan saat pria itu mengatakan keinginannya.
Hanna yang tak ingin salah mengartikan pun kembali bertanya kepada Wili
"Maksud mu teman dekat?."
"Seperti berkencan." Jelas Willi dengan rona malu yang tercipta pada wajah tampannya.
Hanna terkejut meski ia sudah menebak maksud akan ucapan Willi sebelum ini. Tapi ia tak menyangka jika pria itu dengan berani menjelaskan maksudnya.
"Apa mie instan tadi sudah meracuni mu?."
"Sepertinya begitu."
Willi tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya saat bertemu dengan wanita itu kembali. Dan kini ia memiliki kesempatan untuk mengatakan keinginannya yang telah membeku dalam waktu yang cukup lama.
Hanna menghirup banyak udara hingga memenuhi rongga dadanya lalu mengeluarkan dengan perlahan.
"Apa kau sungguh ingin mencobanya?."
Willi hanya diam dengan sorot mata lekat menatapnya.
"Apa kau tahu yang dimaksud dengan berkencan?. Itu artinya kau tak boleh mempermainkan perasaan pasanganmu, akan ada rasa yang terlibat didalamnya. Baik itu cemburu, kesal, senang, sedih, marah, kecewa. Semua akan kau rasakan saat kau berkencan dengan seorang wanita." Hanna menatap manik mata pria itu.
"Aku tidak bermaksud menakutimu. Tapi menurut ku itu terlalu terburu-buru. Lebih baik kita nikmati perjalanan ini. Karena semua butuh proses. Buat dirimu senyaman mungkin dengan perubahan yang ada, abaikan semua omong kosong yang memang tak perlu mendapat perhatian mu. Aku akan terus mendampingi mu, Kau mau?." Hanna menawarkan cara lain agar pria itu tak merasa terbebani.
Willi mengangguk pelan sebagai jawaban atas tawaran yang Hanna berikan.
"Lalu bagaimana dengan Drew?." Tanya Hanna.
"Aku tidak mengenalnya."
"Apa dia marah padamu karena berteman dengan ku?."
"Dia gila."
"Kurasa dia pria yang cukup baik." Hanna mencoba memancing respon Willi terhadap pasangannya itu.
"Kau terlalu memujinya, wajahnya menipu banyak orang. Dia orang yang kasar, dominan dan tak memiliki hati."
"Apa dia memiliki pasangan lain selain dirimu?."
"Masa bodoh dengannya, aku tak suka membahas orang lain diantara kita."
"Oke, baiklah. Aku akan berhenti membahasnya."
_______*****_______
Healing Flower...
Telepon dimeja Jannet berdering membuat wanita dengan potongan rambut pendek ala pria itu secepat kilat menyambarnya.
"Healing Flower, apa yang bisa kami bantu?."
"Mrs. Hanna?. Maaf dia sedang ada janji lain."
Dahi Jannet nampak berkerut saat orang diseberang telepon itu memaksanya untuk membuat janji dengan Hanna.
Mery yang baru saja kembali dengan dua cup coffee ditangannya ikut serta menguping pembicaraan yang sedang berlangsung.
"Ada apa dengannya?." Mery merasa begitu penasaran dengan apa yang terjadi.
"Seorang pria memaksa untuk membuat janji dengan Hanna, ku rasa pria ini lebih mirip psikopat." Jannet memijit pangkal hidungnya.
Hanna baru saja tiba dengan paper bag berisikan roti lapis hangat didalamnya.
"Kenapa dengan mata kalian?." Hanna merasa aneh dengan tatapan ke dua teman kerjanya itu.
"Apa kau punya musuh, atau mungkin semacam penggemar rahasia yang memiliki jiwa-jiwa psikopat?." Mery langsung menembaknya dengan sebuah pertanyaan.
"Aku bahkan kurang dari dua tahun berada di negara ini." Hanna mendengus malas.
"Baru saja seorang pria ingin membuat janji dengan mu, namun ia terlalu memaksa seperti hanya kau yang tahu keinginannya."
"Apa dia menyebutkan namanya?."
"Mr. Trainor, namanya Drew Trainor."
Mata Hanna seketika membola. Apa itu orang yang sama dengan pasangan Willi?. Ia tak menyangka jika pria itu akan mencarinya. Otak cerdasnya lalu memberinya sebuah ide yang kemungkinan akan menimbulkan keributan.
"Mery, apa kau bisa membantu ku?."
Mery menatapnya dengan malas. "Selagi tidak menyulitkan ku."
"Tidak akan, ini sesuatu yang akan membuat mu tertantang untuk menaklukannya."
Hanna lalu memberikan gambaran secara garis besar mengenai klien baru mereka ini dan Mery menyanggupinya.
Mery merupakan satu-satunya anggota Healing Flower dengan dasar pendidikan akademi militer, ia pernah menempuh pendidikan jalur keras tersebut hingga lulus dan mendapatkan gelar namun semua itu tak luput dari peran orang tuanya yang juga memiliki dasar pendidikan yang sama. Karena itu Mery tak menyukainya dan memilih kembali mengenyam bangku pendidikan lagi untuk menjadi psikolog.
Sedikit banyak sikap tegas Mery terbawa sampai ia bergabung bersama Healing Flower. Orang yang tidak tahu siapa dia maka akan beranggapan bahwa dia kejam, wanita dengan hati yang dingin. Namun kenyataannya justru sebaliknya. Mery adalah orang yang baik dengan gaya bicaranya yang terkesan sedikit galak jika lawannya merupakan orang yang baru mengenalnya.
______*****______
Hanna telah merampungkan setengah jalan penelitiannya dan setengah lagi masih dalam tahap pengembangan. Terlalu pusing untuknya memikirkan waktu dua tahun yang harus ia selesaikan dengan segera karena kedua orang tuanya sudah sangat merindukannya ditanah air.
******
Sore dimusim dingin pertama ini ia habiskan dengan berkeliling bersama William. Awalnya ia hanya ingin sekedar berkunjung setelah beberapa hari rehat untuk menyelesaikan sedikit urusan dengan profesor yang membimbingnya.
"Ini pertama kalinya bagiku keluar untuk hal tak penting seperti ini." Willi menyungging tipis.
"Lalu kenapa kau malah mengajak ku keluar jika kau sendiri merasa tidak nyaman?." Hanna berbalik menatap Willi yang kini tengah berdiri disebuah jembatan dengan pemandangan sebuah danau buatan yang tak begitu besar.
"Aku ingin mencobanya sejak dulu. Hanya saja akan terlihat aneh jika aku melakukannya sendirian."
Hanna mengatupkan kedua bibirnya. Ia paham apa yang dimaksud oleh Willi.
"Bagaimana dengan penelitian mu?."
"Sedikit lagi selesai." Hanna tersenyum. "Aku tak sabar untuk segera menyelesaikannya, aku benar - benar merindukan rumah ku disana." Tanpa disadari jika Willi tengah tersenyum kecut setelah mendengar penuturan Hanna.
"Apa itu artinya kita akan berpisah?." Willi menanyakan hal yang sepertinya begitu menyiksa.
"Tentu tidak, kau masih bisa menghubungiku kapan pun kau mau." Wajah dan senyuman Hanna menjadi obat tersendiri untuk Willi. Tapi mengapa setelah mendengar kata 'rumah ku' dari Hanna membuat Willi seperti tunawisma yang bahkan tak memiliki kain penghangat untuk melapisi kulitnya di musim dingin.
Willi mengalihkan pandangannya kearah lain. Ia menatap ke dalam tenangnya air danau buatan itu. Beriak tanda tak dalam. Tapi danau ini bagaikan sebuah cermin untuk dirinya. Terlalu misterius.
"Ini pertama kali juga untuk ku berdua dengan orang selain saudara." Hanna mengatakan apa yang ia rasakan saat ini. "Maksud ku berdua dengan seorang pria."
Hanna sengaja menegaskan kata 'pria' pada kalimatnya untuk meyakinkan Willi bahwa ia bisa kembali menjadi lelaki normal lainnya. Meskipun akan sangat sulit bagi Hanna untuk membuatnya bisa melihat seorang wanita seperti pria pada umumnya.
"Kau mau mencoba sesuatu?." Hanna menawarkan Willi untuk mendatangi salah satu booth yang mejual Hotdog dengan lelehan saus pedas serta keju mozarela.
"Makanan itu?. Kau menyukainya?." Willi bertanya dengan ragu.
"Kau bisa bahagia dengan mencoba hal-hal kecil seperti itu."
Hanna menarik lengan Willi untuk berjalan mendekati antrian Booth. Orang akan mengira jika mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Keberadaan keduanya menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung yang tengah bersantai, ataupun yang hanya sekedar melintas.
Visual Willi memang tidak bisa diragukan. Pesonanya begitu menarik banyak pasang mata untuk terus menatapnya. Terlebih disebelahnya kini berdiri seorang wanita cantik dengan sedikit sentuhan asia timur.
"Kau tahu, aku seperti tengah merebut pria dari seseorang." Lirih Hanna.
"Apa yang kau maksud?."
"Dirimu Mr. William. Tatapan para gadis disini seperti ingin menelan ku hidup-hidup."
Willi seketika terkekeh, ia tak mengira jika yang dimaksud adalah perhatian para wanita yang haus akan keberadaan manusia tampan sepertinya.
Willi lalu menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Hanna. "Mereka tidak hanya akan memakan mu, tapi juga dengan ku." Mata bulat wanita itu membola. Ia sangat terkejut dengan pemikiran pria disebelahnya yang begitu blak-blakan.
Ingin sekali Willi menggenggam tangan mungil Hanna, tetapi ia sadar akan kondisinya saat ini. Ia tak boleh terburu-buru. Bukan kah Hanna sudah mengatakan padanya untuk menyamankan diri lebih dulu?. Karena berhubungan dengan seorang wanita itu sedikit rumit.
Willi sadar jika tak hanya kaum hawa yang kini menatapnya, namun sesamanya pun juga ada yang terang-terangan menatapnya dengan ketertarikan. Ingat jika Willi bukanlah pemula untuk urusan seperti itu. Ia sangat mengenali kaumnya yang begitu membuatnya lupa akan kodrat tuhan padanya. Tentang perannya dan juga perasaannya hingga bertahun-tahun lamanya.
Lamunan pria itu buyar kala ponsel dalam saku mantelnya bergetar.
Drew's calling ....
.
.
.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
ana Imaa
ngeri ngeri gitu yah sama kelakuannya si drew
2022-11-18
0
Baihaqi Sabani
aduh drew......gila...mnskutkn.....smg willi kmbli pd kodratyaaaaa
2022-08-26
1
Kamil Bou
thor gak ada pictnya ya?
2022-08-03
0