Sesi pertama

Bel pada pintu apartemen Wili kembali berbunyi dan membuat penghuni didalamnya bergerak untuk menyambut sang tamu.

"Apa aku terlalu pagi?." Ucap Hanna saat mendapati kliennya masih dalam keadaan berantakan.

Willi sama sekali belum mempersiapkan dirinya, ia baru saja terbangun karena alarm yang ia pasang beberapa jam lalu kembali berbunyi. Pria itu masih pada posisinya diambang pintu dengan tubuh topless dan hanya sebuah celana katun yang menutupi bagian bawahnya.

"Kau_." Hanna was-was jikalau kliennya ini baru saja melakukan hal aneh bersama pasangan sejenisnya.

"Masuk lah, aku akan membersihkan diri lebih dulu."

Hanna mengekori pria itu kedalam dan menyamankan dirinya diatas sofa sembari menunggunya bersiap. Ia sempat melihat sebuah tato berupa sebuah kalimat yang terukir dibagian pinggang pria itu hingga ke rusuk sebeleh kiri, sayang ia tidak bisa membacanya karena posisinya yang sedikit tertutup.

Mata indahnya mengitari seluruh isi ruangan terbatas didalamnya. Tak ada hal yang menarik, hanya tumpukan kertas dan juga sebuah laptop yang terletak diatas meja kerja.

Tak menunggu begitu lama, Willi kini berada persis diseberang posisinya berada. Dengan celana pendek dan sepotong T-shirt putih membuatnya terlihat lebih segar.

"Ini bukan kali pertama kita bertemu, jadi kau tak perlu gugup." Hanna memberinya kenyamanan setelah mengeluarkan buku catatan.

"Apa kini aku harus jujur dengan seorang wanita?." Willi terkekeh dalam kalimatnya. Seakan tak percaya jika kini ia akan berbagi masalah dengan orang lain.

"Kau bisa menganggapku pajangan jika kau mau, atau sekedar angin lewat?. Mana saja aku tak masalah asal kau bisa nyaman selama mengutarakan masalah mu."

Tatapan Willi bagai sebuah sihir yang mampu membuat hati seseorang menyukainya dengan sekali lihat.

"Kau bisa tidur sambil memejamkan mata jika itu bisa membuat mu relax." Hanna memberinya saran.

"Kau tidak sedang menipuku bukan?."

"Oh God, kau sungguh meragukan ku?. Baiklah, setelah ini aku akan kabur dengan membawa barang-barang berharga dari apartemen ini."

Willi tertawa lepas saat mendengar gadis cantik itu berseloroh tanpa malu.

"Tak kan ada yang bisa kau bawa dari ruangan ini selain_

"Dompet mu?." Hanna memberinya tatapan menantang. "Oke kau sudah memperbolehkannya jadi sekarang ayo kita mulai."

Pria itu menggeleng perlahan dengan tawa yang tersungging dibibir tipisnya.

Hening kembali menguasai ruangan bernuansa abu-abu didalamnya. Dengan tarikan nafas panjang Willi memulai ceritanya.

-

-

-

"Kau mengenalku sejak usia belasan tahun. Kau pasti tahu bagaimana diriku dan aku tak menolak jika kau menilaiku sebagai manusia yang rusak."

Hanna cukup diam tak memberikan komentar apapun atas ucapannya.

"Semua orang yang bertemu dengan ku selalu melihat bahwa hidupku sempurna. Mereka tak akan mengira jika aku sendiri tak mengenali siapa ayah dan ibuku, bagaimana wajah mereka, dimana aku dilahirkan atau bahkan hanya sekedar asalku saja aku tak tahu."

"Aku hidup dengan seorang waria dan wanita tuna susila. Mereka membesarkanku sampai suatu hari seorang pria kaya menawari ku kehidupan yang layak, kehidupan yang sesuai dengan wajah ku. Aku menerimanya tanpa tahu maksud dibalik kebaikannya itu dan sejak itulah masa suramku bermula." Willi menghembuskan nafasnya yang terdengar begitu berat.

Hanna masih dalam posisinya. Wanita itu memandangi wajah tampan yang dulu sempat membuatnya kagum namun kini terlihat begitu berbeda. Wajah itu terlihat rapuh.

"Sejak saat itu hidupku terus dipenuhi dengan kehinaan, aku tak tahu bagaimana cara mengakhirinya karena darinya aku bisa hidup dan mengantarkanku sampai detik ini."

"Saat duduk dibangku SMA aku sudah lebih dulu mengenal kehidupan bebas. Berteman dengan anak seusiaku bukanlah hal menarik bagiku saat itu. Bahkan sampai perguruan tinggi sekalipun aku tak banyak mengenali teman sekelas ku."

"Kau bisa membayangkan bagaimana hidupku dengan terus bersembunyi dibalik wajah ini?. Aku sungguh tak menyukainya!. Berpura-pura pendiam padahal pergaulan ku telah berada diluar batas normal."

"Aku tak pernah berfikir untuk menikah apalagi memiliki sebuah keluarga. Semua itu omong kosong!. Aku bahkan lahir tanpa mengetahui siapa ayah dan ibuku."

Hanna seperti menuliskan sesuatu pada kertas ditangannya lalu kembali fokus pada wajah tampan yang kini terlihat murung dihadapannya.

"Aku berusaha keluar dari zona nyamanku selama ini dengan usaha yang kubangun sendiri. Aku tak ingin berada disekitar mereka yang terus mencekokiku dengan hal-hal yang _ kau tahu pasti itu tidak baik."

Hanna teringat akan keberadaan Drew yang ia yakini sebagai pasangan Wili.

"Lalu apa hubungan mu dengan Drew?. Apa dia kekasih mu?."

"Tidak, aku sama sekali tidak menganggapnya begitu selain _." Willi menjeda kalimatnya.

"Simbiosis?." Hanna sangat paham dengan maksud pria itu.

"Tetapi dia terlalu posesif dan sangat egois, dia selalu menganggapku miliknya yang tak bisa diambil oleh siapa pun. Lucu sekali, aku tidak menyukainya."

"Lalu, apa kau pernah menyukai seorang wanita selama ini?."

Willi terdiam, mata birunya menatap lekat wajah cantik yang kini tengah menunggu jawaban darinya.

"Tak apa jika memang kau tak mau menjawabnya." Hanna kembali melihat buku catatannya.

"Aku tahu kau bisa membaca keadaan seseorang melalui mata mereka."

"Tidak semua seperti yang kau katakan." Gadis itu menyangkal kata-kata Willi.

"Jika aku katakan 'pernah' apa itu akan mengubah cerita hidup ku?."

"Aku tidak berani mengatakannya. Kau tahu, kita tidak akan pernah bisa mengubah masa lalu, tetapi kau bisa memperbaiki masa depanmu Mr. William. Hanya saja semua kembali kepada dirimu sendiri, jika kau sendiri meragukan kemampuan yang kau miliki maka bisa dipastikan jika kau akan terbelenggu selamanya didalam rasa takut mu.

"Berkomentar memang semudah membalikan telapak tangan, tapi kenyataannya tak semudah yang terlihat." Willi menatap wanita dihadapannya.

"Jika kau berkata seperti itu patutlah dirimu selalu merasa takut. Aku tidak mengatakan semua akan mudah, berkomentarpun harus sesuai dengan tempat dan situasi yang ada." Hanna menutup kembali buku catatannya. Fokusnya menatap wajah Willi yang kini telah berubah masam.

Ia bisa melihat emosi yang tidak stabil dari caranya menatap dan juga bagaimana cara ia membalas kata-kata.

"Sepertinya kita butuh istirahat sejenak." Hanna menengahi ketegangan yang terjadi. Ia tak ingin pria itu merasa tersudut karena kata-katanya meskipun benar adanya.

"Apa kau merasa jika aku salah telah menilai dirimu seperti itu?." Willi tetiba bertanya tentang penilaiannya.

"Semua orang berhak menilai dengan cara mereka dan aku tak perlu risau tentang hal itu. Namun cara kita menghadapinyalah yang terpenting. Sebaik-baiknya manusia pasti memiliki batasan tersendiri untuk menerima komentar dari orang lain."

"Apa yang akan kau lakukan jika berada diposisiku?." Willi seakan menantangnya.

Hanna kembali menatapnya. "Belum tentu akan seberuntung dirimu, tetapi jika aku berada diposisi itu aku akan menguatkan tekad ku terlebih dulu dan berfikir jika aku pasti bisa. Karena tuhan mengawasiku dan tuhan tidak akan mengubah ku seketika menjadi baik begitu saja jika tidak aku yang berusaha untuk menggapainya. Sebab banyak sekali pelajaran yang tuhan berikan didalamnya, bukan begitu?."

"Ah, maaf!. Aku terkesan menggurui mu, Lupakan. Aku disini untuk membantu mu jadi jangan berfikir jika kau sendiri." Hanna memberikan senyuman terbaiknya untuk membuang semua keraguan dimata pria itu.

"Jadi apa aku bisa meminjam dapur mu?." Tanyanya

"Kau ingin melakukan sesuatu?." Willi menatapnya curiga.

"Aku membawa ini." Wanita itu mengeluarkan dua bungkus mie instan yang sengaja dikirim langsung dari tanah air untuk menjadi pengisi stok makanan didapurnya disaat genting.

Willi merapatkan kerutan di dahinya sesaat dan kemudian tertawa karena sadar akan benda tak biasa yang dibawa oleh gadis itu.

"Kau sengaja jauh-jauh mengirimnya?." Willi menutup mulutnya dengan kepalan tangan untuk menahan rasa geli yang menggelitik perutnya.

"Ini adalah cadangan disaat darurat dan aku selalu mencarikan teman terbaik untuknya." Ia mengeluarkan dua butir telur ke atas meja dan hal itu sukses membuat tawa Willi pecah.

"Ide mu benar-benar tak terduga."

Hanna beranjak dari tempatnya dengan tas karton ditangannya yang berisi bahan makanan.

"Apa kau tak pernah berada didapur sebelum ini?." Tanya Hanna saat merasa bahwa Willi mengekorinya.

Pria itu menyenderkan tubuh tingginya dilemari pendingin matanya bergerak memperhatikan tangan Hanna.

"Aku baru sebulan membeli apartemen ini dan lebih sering berada diluar. Terlebih aku tinggal sendiri jadi untuk apa bersusah payah."

"Oke, aku mengerti. Ini jaman dimana uang berbicara."

"Kau benar. Dan jika bukan karena uang aku tak mungkin bertemu dengan mu disini."

-

-

-

Asap mengepul dari kuah panas yang tersimpan dalam mangkuk kaca. Aroma yang kuat menyebar keseluruh ruangan.

"Cobalah, ini akan membuat pikiranmu sedikit merasa nyaman."

"Apa Kau menaburkan serbuk putih kedalamnya?."

"Bukan, tapi obat tidur." Ucapan Hanna membuat mata pria itu menyipit untuk memindai kebenaran atas ucapannya.

"Bukan kah aku sudah mengatakan kepadamu jika aku akan mebawa semua barang berharga dari tempat ini?. Itulah mengapa aku menaburkan obat tidur kedalam mangkuk mu." Hanna menatapnya penuh kekesalan.

Willi tertawa. Ia seperti menemukan lelucon yang begitu menghibur.

Hanna memasukan sesendok mie kedalam mulut kecilnya. Menggoda rasa lapar Willi yang melihatnya. Dengan sedikit ragu ia pun mencobanya.

"Enak." Satu kata meluncur dari mulut pria itu.

Percayalah, perut yang terisi akan membuat pikiran kita menjadi lebih tenang. Selesai dengan suapan terakhirnya Willi lantas menyandarkan tubuhnya pada kursi.

"Tak ada salahnya mencoba hal baru, dan ini membuatku cukup bahagia. Terimakasih." Ucapannya begitu tulus.

"Sesekali memakan makanan instan untuk menaikan mood aku rasa bukan sesuatu yang salah. Tapi untuk mu, ku pikir kau harus lebih sering memakannya." Keduanya tertawa bersama.

"Apa kita akan melanjutkannya?." Willi menatapnya penuh harap.

"Jika kau tak keberatan."

Hanna membersihkan bekas makan mereka, mencuci dan merapikan kembali dapur yang ia gunakan dan semua tak luput dari pandangan seorang Gerald William.

"Apa semua wanita cantik seperti mu?." Pertanyaan tiba-tiba saja menghampirinya yang tengah membilas tangan di wastafel.

"Cantik seperti ku?. Apa yang kau maksud?."

"Melakukan pekerjaan kecil seperti mencuci dan bebersih, tidak kah kau merasa itu terlalu_

"Kotor dan merepotkan?. Tidak, mungkin sebagian orang merasa begitu tapi tidak dengan ku. Jika bukan kita sendiri yang membersihkan lalu siapa?. Apakah aku harus bersusah payah mengeluarkan beberapa dolar hanya untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa kita kerjakan sendiri?."

Willi mengangguk kecil sembari melipat bibirnya kedalam. Ia terlahir sebagai pria dan besar tanpa ada figur ibu ataupun ayah yang mendampinginya. Tidak ada yang pernah mengajarkannya hal-hal kecil seperti mencuci, merapikan kasur, menyapu, menyikat sepatu ataupun sejenisnya.

Masa kecilnya ia habiskan bersama waria dan wanita malam yang tak pernah terlihat melakukan hal-hal seperti seorang asisten rumah tangga, pun dengan masa remajanya yang juga sama atau malah lebih buruk lagi.

"Ada apa?. Jika ada sesuatu yang ingin kau tanyakan katakan saja?." Suara lembut Hanna menyadarkannya dari lamunan. Membuyarkan bayangan masa kecilnya yang begitu kelam.

.

.

"Bisa kah kita berteman, Hanna?."

_

_

_

Tbc.

Terpopuler

Comments

Purnamanisa

Purnamanisa

suka bacanya... kereeen 👍👍👍

2024-04-21

0

azra

azra

ya klo mau brubah hrs pny tekad yg kuat

2021-12-28

2

Ummi Salsabila

Ummi Salsabila

di awali dng pertemann... berakhir di pelaminan eeeeaaaaa

2021-12-20

2

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 62 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!