"Anisa pamit Bu," ucap Anisa dengan memeluk erat sang ibu.
Maesaroh membalas pelukan itu. Diusapnya punggung sang anak. Setelah dirasa cukup Maesaroh melepas pelukan itu.
"Ingat Ndok, kamu sudah jadi seorang istri. Baktimu kini harus kamu tujukan ke suamimu. Dia pemimpin dalam rumah tanggamu. Manut apa yang suamimu katakan selagi itu tidak melanggar syariat Islam," nasehat ibu Maesaroh.
Anisa mengangguk. Mulutnya beku karena tangis yang tak juga bisa dia hentikan.
"Sudah jangan nangis terus nanti mata kamu malah bengkak," pinta ibu Maesaroh dengan mengusap air mata Anisa.
"Anisa nanti akan sering pulang Bu, ibu selalu jaga kesehatan," ucap Anisa sambil sesenggukan.
Maesaroh tersenyum mendengar penuturan anaknya, "Ya Ndok ibu akan selalu jaga kesehatan. Apalagi kamu, juga harus jaga kesehatan karena sehat kamu itu sangat penting untuk anak kamu yang ada di sini," ucap ibu Maesaroh dengan mengelus perut rata Anisa.
Anisa mengangguk kembali. Dia sampai lupa di perutnya ada mahluk hidup yang perlu dia jaga.
"Nak titip Anisa ya. Jaga dan bimbing dia. Tegur kalau dia salah," pesan Maesaroh.
"Ya Bu," jawab Panji.
Panji masukkan barang-barang bawaan. Selesai itu dia pamit mencium punggung tangan sang mertua sebagai tanda pamit. Kakinya kemudian melangkah ke pintu mobil.
"Itu Nak Panji sudah membukakan pintu mobil kamu, buruan masuk mobil," ujar Maesaroh sedikit menarik Anisa agar jalan karena kaki Anisa begitu alot untuk beranjak.
"Ibu...," kembali Anisa memeluk ibunya dan tangis yang sempat terhenti terdengar kembali.
"Astaghfirullah haladhim...Anisa sudah masuk mobil. Kamu cuma ke Jakarta kenapa nangis terus," Maesaroh melepas pelukan Anisa dan mendudukkan pantatnya di dalam mobil.
"Assalamualaikum Bu." ucap Anisa dengan melambaikan tangan.
"Waalaikum salam," jawab Maesaroh membalas lambaian tangan.
Mobil kemudian melaju, melesat membelah jalanan desa yang masih asri nan indah. Melewati jalanan yang di tumbuhi pohon Pinus. Selang 10 menit berganti melewati jalan yang kanan kiri menjulang tinggi pohon jati. Pohon yang nampak segar setelah dedaunannya jatuh di musim kemarau dan kini berganti dengan daun baru yang lebih hijau. Jalanan nampak sedikit basah karena tadi malam hujan kecil turun.
Tiga puluh menit berlalu mereka sudah di kawasan kabupaten. Pemandangan pohon Pinus dan jati yang menjulang tinggi kini berganti dengan bangunan gedung, perumahan, pertokoan yang berjejer dengan banyak orang dan kendaraan yang lalu lalang di jalanan.
Anisa masih terdiam terpaku menyaksikan segala yang dia lewati. Namun, otaknya terus berputar pada nasib diri dan anak yang ada dalam kandungan nanti. Mata Anisa melirik ke arah lelaki yang ada di sampingnya.
"Apa memang seperti ini dia? Lebih banyak diam? Bagaimana aku harus memulai pembicaraan?" monolog batin Anisa.
"Ada apa? Kamu sudah lapar?"
Anisa langsung menggelengkan kepala. Walaupun nyatanya perut dia terasa lapar, hingga...
kruyuk...
Anisa memegang perutnya "Dasar perut tidak tahu malu," umpat Anisa dalam hati.
Panji hanya menarik satu sudut bibirnya mendengar bunyi perut Anisa.
"Dasar bocah!" gumamnya kemudian.
Anisa mencibirkan bibirnya mendengar gumaman lelaki yang terpaut 11 tahun itu.
Panji menghentikan mobil di salah satu resto sea food yang biasa dia singgahi kalau pulang ke kampung halaman.
"Turunlah," pinta Panji setelah melepas seat belt- nya.
Anisa mengangguk dan tangannya meraba seat belt untuk membukanya. Niat hati ingin meminta bantuan Panji karena Anisa kesulitan membuka seat belt tapi dia sudah melangkah keluar dari mobil.
"Isst...kalau di drama televisi si cowok pasti sudah membantu buka ini sabuk," gerutu Anisa sambil memukul seat belt. Walaupun dia istri yang tidak dianggap setidaknya sebagai seorang wanita apalagi status masih istri senang kalau diperlakukan romantis.
"Itu bocah kenapa belum juga keluar!" geram Panji dengan membuka pintu mobil. "Kamu mau tetap di sini!?" ketus Panji dengan tatapannya yang tajam.
Anisa nyengir dengan menunjuk seat belt yang dia pegang tapi susah untuk dilepas.
Panji mendengus kesal dan dengan terpaksa mendekat ke Anisa untuk membuka seat belt itu.
"Begini saja tidak bisa!" gerutu Panji.
Namun yang diajak bicara malah memejamkan mata dengan menyesap aroma wangi tubuh Panji. Tangan Panji langsung noyor kepala Anisa yang mendekat ke tubuhnya.
Anisa tersadar, "Ma...maaf," ucap Anisa yang langsung turun dari mobil melangkah meninggalkan Panji.
"Baru satu hari tapi aku sudah stres menghadapi kamu!" batin Panji merasa kesal dengan Anisa. Tangannya refleks memijat kedua pelipis.
"Kamu pesan apa?"
"Kakak kok tahu tempat ini tempat yang ingin aku datangi," ucap Anisa sambil kemudian duduk dan membaca menu yang tertulis di buku menu.
Panji hanya mendengus mendengar ucapan Anisa.
"Dulu waktu masih sekolah, temanku pernah ngajak makan di sini dan makanannya memang enak Kak," cerocos Anisa.
"Tempatnya nyaman, bersih, luas, ada tempat ibadahnya, ramah lagi pelayannya," sambung Anisa.
"Aku pesan ikan bakar gurame sambal pedas. Satu es jeruk manis, tempe goreng jangan lupa ya Kak."
"Mbak...," panggil Panji pada salah satu pelayan resto.
"Ya Mas, mau pesan apa?"
Dagu Panji menunjuk Anisa agar memesan makanan.
"Ikan bakar gurame sambal pedas, es jeruk manis, tempe goreng satu porsi."
"Sudah itu Mbak?"
"Ya sudah," jawab Anisa.
"Masnya pesan apa?"
"Sama dengan dia."
"Ditunggu ya Mas, Mbak.
Anisa tersenyum mengangguk. Lain dengan Panji yang hanya diam tanpa jawaban.
Pelayan itu melangkah pergi.
"Issst...sombong sekali, diajak senyum saja tidak balas," batin Anisa menatap Panji yang tanpa ekspresi menyahuti sang pelayan.
"Ada masalah?" tanya Panji merasa tatapan Anisa penuh interogasi.
Anisa langsung menggelengkan kepala. Namun bibirnya mencibir.
"Kalau begitu jangan menatapku seperti itu!"
"Hmmmm...," dengung Anisa merasa kesal seperti bicara dengan robot.
"Alhamdulillah...," ucap Anisa setelah semua makanan yang dia pesan habis dalam waktu cepat. Kehamilannya memang membawa perubahan besar pada porsi makan. Tidak ada makanan yang dia pantang, mual pagi atau setelah makan juga tidak dia rasa.
Panji melirik Anisa yang melangkah cuci tangan di wastafel.
"Maaf ya Kak, aku itu kalau makan cepat sekali,"
"Dan banyak," celetuk Panji.
Anisa tersenyum merasa tersindir karena setengah porsi ikan gurame yang Panji pesan diberikan ke Anisa dan habis pula dia makan.
"Kita salat Magrib dulu Kak," ajak Anisa.
"Ka...kamu duluan yang salat." jawab gugup Panji.
Anisa mengangguk dan melangkah ke Musala yang ada di resto itu.
Sepuluh menit berlalu. Anisa sudah rapi dengan hijab yang dia kenakan dan menenteng mukena yang baru dia pakai. Matanya mencari keberadaan Panji yang sudah tidak duduk di kursi makan mereka.
"Mbak, mas yang tadi duduk di sini dimana ya?" tanya Anisa pada salah satu pelayan.
"Oh...tadi keluar Mbak," jawabnya.
"Terima kasih ya Mbak."
"Ya."
Anisa keluar, berjalan ke arah mobil yang terparkir di tempat parkir resto. Benar saja di situ ada lelaki yang bertubuh tinggi, tegap, tangan yang kokoh dia silangkan di dada, kulit yang putih, rambut pendek hanya 5 cm bergaris pinggir dan bulu-bulu halus tumbuh di rahang sampai dagu yang membuat wajah tampannya semakin berkharismatik.
"Sudah gantian Kakak yang salat,"
"Hmmm," dengung Panji tidak menghiraukan ucapan Anisa. Pantatnya dia dudukkan di jok kemudi. Anisa pun ikut mendudukkan pantatnya.
"Dosa tahu meninggalkan salat," ucap Anisa dengan polos seakan menceramahi sang anak.
Mata Panji menatap lekat mata Anisa kemudian beralih menatap perut Anisa isyarat untuk Anisa mengoreksi kalimatnya tentang dosa.
Anisa terdiam. Nyatanya benar apa yang diisyaratkan Panji.
Setelah menempuh jarak 5 jam lebih sampailah mereka di rumah mewah milik keluarga Darmawan.
"Bangun sudah sampai,"
Anisa menggeliat membuka matanya bulat melihat mobil yang terparkir di rumah mewah.
"Ini rumah Kakak?"
"Bukan, aku hanya numpang, ini rumah almarhum kakek."
"Oh..."
Anisa mengekor Panji masuk ke rumah.
"Barangnya tidak diambil?"
"Biar pak Mus yang ambil," jawab Panji.
"Assalamualaikum...," ujar Anisa.
Namun tidak jua dapat balasan.
"Panji, larut sekali kamu pulang?"
"Oma..," sapa Panji dan tangannya segera menarik tubuh Anisa untuk ikut menyapa omanya.
"Oma," sapa Anisa dengan mencium punggung tangan wanita yang dipanggil oma.
Oma Sartika nampak tercengang dengan kedatangan Anisa. Matanya menatap kedip menatap Anisa kemudian menatap sekilas ke Panji isyarat meminta penjelasan pada Panji.
"Dia istriku Oma?"
"Apa!?," terkejut oma matanya membulat meminta penjelasan lebih pada Panji.
"Kami istirakhat dulu, sudah larut malam," pamit Panji dengan menggandeng tangan Anisa untuk mengikutinya naik tangga dan masuk ke kamar.
"Panji!" teriak oma meminta penjelasan lebih dengan kilat mata yang menatap tajam dan napas yang naik turun tidak beraturan menahan amarah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Yusra Erianti
sampe bab ini aku heran ya kenapa Anisa bisa melakukan zina sementara karakternya disini alim .apa itu hanya topeng doang
2022-10-02
0
Yusra Erianti
sampai sekarang
2022-10-02
0
Ifti Nisa
sabar ya anisa,, ini baru awal ko. nanti juga klo udah lama berumah tangga nanti panji bisa bucin sama kamu🤣🤣🤭
2022-09-08
0