Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Setelah menunaikan salat Zuhur dan makan siang di kantin mereka kembali duduk di kursi tunggu.
"Astaghfirullah haladhim...sudah setengah hari kita menunggu di sini tapi kok ya belum juga dapat panggilan," keluh bunda Rosmawati.
Maesaroh tersenyum kecil menepuk pelan paha Rosmawati, "Itu makanya saya malas sekali Mbak kalau periksa di poli rumah sakit. Pasti lama sekali. Sudah sakit tambah sakit karena harus mengantri lama."
Rosmawati mengangguk. Matanya menatap ke depan, tiba-tiba teringat dengan Nurul.
"Ya Allah...aku pasrah apa yang akan terjadi nanti. Hamba tahu, serapat-rapatnya bangkai disembunyikan pasti akan tercium pula. Serapat-rapatnya berita ini disembunyikan pasti akan terdengar pula, cepat atau lambat. Nak Faisal...mengapa seperti ini akhir dari hidup kamu nak? Benarkah kamu melakukan ini semua?" batin bunda Rosmawati bermonolog. Kedua tangan dia tangkupkan ke wajah. Sejenak sambil memejamkan mata melepas penat yang hinggap di diri.
"Nomor antrian 30, masuk ke poli kandungan," panggilan dari soundscape menggema.
Anisa bangkit dari duduk disusul ibu Maesaroh dan bunda Rosmawati.
"Kenapa Dek?" tanya ibu dokter begitu Anisa masuk.
"Telat haid Dok," jawab Anisa.
"Sudah berapa lama?" tanya ibu dokter sambil mengukur tensi setelah itu menempelkan stetoskop di dada dan perut Anisa.
"Dua minggu."
"Haid terakhir tanggal berapa?"
"Lima belas November."
"Itu Haid awal atau sudah suci haid?" telusur ibu dokter.
"Suci haid Dok," jawab Anisa.
"O...haid awal Dek, bukan haid akhir."
Anisa mengangguk, "Tanggal 8 November Dok," ujar Anisa.
Dokter masih meraba perut Anisa.
"Kita USG ya...," pinta Dokter setelah memberi gel pelumas di perut Anisa.
Transducer itu bergerak di atas perut Anisa terkadang sedikit menekan agar terlihat lebih jelas hasil USG-nya.
"Itu, yang kecil seperti kecebong, itu janinnya." terang ibu dokter.
Semua mata terarah pada layar USG.
Ada senyum di wajah Anisa, walaupun sisi hatinya keluh dengan apa yang dia lihat.
Dokter mengelap gel yang ada di perut Anisa kemudian menutup perut itu. Kaki dokter melangkah di kursi kerjanya kemudian menulis hasil pemeriksaan.
Anisa sudah duduk di depan meja kerja dokter.
"Selamat ya...Usia kehamilan Nyonya Anisa masuk 6 minggu. Silahkan periksakan ke bidan atau pun ke dokter kandungan satu bulan setelah ini. Jaga asupan gizi ibu dan bayi. Porsi makan ditambah dengan menu yang mengandung banyak gizi. Silahkan tebus obat di bagian obat," terang dokter.
"Ya Dok, terima kasih atas sarannya. Kalau boleh tanya, kenapa masuk 6 minggu padahal belum ada sebulan me...," tanya bunda Rosmawati namun keluh untuk melanjutkan ucapannya.
"Belum satu bulan menikah?" dokter melanjutkan ucapan bunda Rosmawati dengan asal. "Begini Bu, hitungan usia kehamilan itu terhitung dari hari pertama haid terakhir atau biasa kami menyebutnya HPHT bukan berdasarkan kapan dia melakukan hubungan suami istri," terang dokter.
Bunda Rosmawati menganggukkan kepala, "Ya Bu...," jawabnya kemudian."Ada yang ingin kalian tanyakan lagi?" tawar ibu dokter.
"Saya rasa cukup Dok. Terima kasih atas penjelasannya. Kami permisi," pamit bunda Rosmawati disusul Anisa dan ibu Maesaroh.
...****************...
Sepuluh hari telah berlalu sejak pemeriksaan di rumah sakit. Anisa sudah menunjukkan perubahan pada pola makannya. Porsi makannya bertambah jadi tubuh yang memang masih tahap perkembangan semakin terlihat berisi.
Indra penciuman juga semakin sensitif. Bau tidak enak sedikit saja perutnya mual. Namun tidak untuk bau-bauan harum, dia sangat menyukainya. Bahkan kamar yang biasanya tidak diberi pewangi dia minta pada ibunya untuk diberi pewangi. Baju yang hanya dicuci menggunakan deterjen dia tambah dengan konsentrat pewangi.
Maesaroh menatap lekat wajah Anisa, tatapannya tidak sedikitpun berkedip menatap Anisa yang sedang menyetrika baju.
"Nak, sudah istirakhat saja. Nanti biar ibu yang menyelesaikan," ucap ibu Maesaroh.
"Satu lagi Bu, ibu teruskan saja menjahit," tolak Anisa.
"Kalau capek sudahan ya," pinta ibu Maesaroh merasa khawatir dengan Anisa karena sejak pagi dia belum berhenti membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah.
"Ya Bu," jawab Anisa.
Sementara di rumah kyai Syamsuddin...
"Tidak Bunda! Aku sudah punya kekasih," tolak Panji setelah lama berdebat dengan bundanya.
Bunda Rosmawati terlihat diam. Kini air matanya menitik.
"Bunda mohon Nak," ucap bunda Rosmawati dengan suara parau.
Panji mengempaskan napas dengan kasar menatap bundanya yang sudah melinangkan air mata ada rasa iba menggelayut.
"Kenapa dia bisa hamil Bun? Setahu aku, Faisal anak yang soleh, rajin ibadah. Atau mungkin ini hanya akal-akalan itu anak. Mengapa bunda langsung percaya begitu saja?" cecar Panji.
"Sebenarnya bunda juga merasa aneh. Faisal maupun Anisa, keduanya anak yang penurut dan rajin ibadah tapi mengapa mata batin mereka bisa tertutup setan yang laknat sampai melakukan perbuatan laknat pula," keluh bunda Rosmawati.
"Apa kita lakukan tes DNA saja?"
"Jangan Bun, setahu aku kalau tes DNA sebaiknya dilakukan setelah anak lahir, kalau tetap dilakukan di saat hamil itu bisa mengancam keselamatan bayi" terang Panji.
Rosmawati tersenyum mendengar pendapat dari Panji artinya dia mau mendengarkan ucapannya dan yang terpenting mengkhawatir akan janin yang kemungkinan besar adalah keponakannya.
"Bagaimana kamu setuju kan?" bunda Rosmawati memastikan.
"Tidak Bun," mantap Panji.
"Bun-bunda tidak pernah meminta apapun dari kamu Ji, baru kali ini bunda meminta...," memelas bunda Rosmawati dengan suara yang semakin parau.
"Bunda tidak tahu harus berbuat apa," sambung bunda Rosmawati dengan air mata yang masih mengalir di pipi.
Panji meraup wajahnya dengan kasar. Batinnya benar-benar bergejolak dengan permintaan yang dilontarkan bundanya. Memang benar, sejak kecil hingga tumbuh dewasa bunda Rosmawati tidak pernah sekalipun minta apa-apa pada Panji.
Sejak umur 3 tahun, ayah kandung Panji meninggal dunia. Kyai Syamsuddin adalah orang tua sambung untuk Panji. Bunda Rosmawati memilih untuk menikah lagi dengan kyai Syamsuddin. Akhirnya mereka diboyong ke kampung hidup secara sederhana jauh dari hiruk pikuk kota besar. Namun, semenjak masuk sekolah menengah pertama, Panji diasuh oleh omanya. Orang tua dari ayahnya. Berat yang bunda Rosmawati rasakan namun harus merelakannya. Demi cita-cita panji juga karena Omanya yang datang degan memohon agar sisa hidupnya ditemani cucu satu-satunya karena kebetulan mantan suami bunda Rosmawati adalah anak tunggal.
Panji hidup di bawah asuhan oma yang idealis, suka mengatur, diktator, dan pengawasan yang luar biasa. Hidup serba berkecukup dengan harta yang melimpah namun jauh dari agama. Itu yang selama ini dijalani Panji. Padahal sedari dini, sejak dia hidup dengan Kyai Syamsuddin dia sudah diajarkan ilmu agama. Namun inilah Panji Darmawan dewasa, sudah berbaur dengan lingkungan yang berbeda. Pria 29 tahun yang tumbuh menjadi bos dingin, irit kata, di mata para bawahan.
Panji sekali menatap bundanya. Entah harus menyampaikan kalimat penolakan seperti apalagi karena bibirnya keluh berucap.
"Nak...," panggil bunda Rosmawati. Si empunya nama pun menoleh menatap lekat wajah yang masih terlihat muda walaupun usia sudah setengah baya.
Tangan Panji meraba pipi bundanya menghapus sisa air mata. Wajah itu kini sayu di dera kesedihan yang teramat.
"Bunda mohon sayang," ucap bunda Rosmawati dengan suara parau dan terbata.
Panji terdiam. pikirannya masih mencerna ucapan bunda Rosmawati. Ada dorongan yang menyekat kuat otaknya untuk mengatakan iya. Namun sisi hati juga keluh karena wajah sang kekasih tiba-tiba tersenyum menyapanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Elvira Juned
Gk adil bagi Panji menikah dgn Anisa utk menutup aib sama aja mereka sekeluarga menipu semua org, dan memakaikan BIN atau BINTI utk anaknya Faisal dan Anisa kelak
2023-09-07
0
mega keyna
umur bukan kita yg nentukan tp allah,dan kapan pun bisa di ambilnya, mkanya jgn mentang2 besok mau nikah trs berbuat maksit,itu dosa,kl udh kyk gini mau bilang apa menyesal jg ngk guna,,,,
2022-05-20
0
Eden Cristop
dasar fausal bejat, mampusss anisa
2022-04-15
1