Anisa Sang Pendosa
Anisa masih tertunduk. Sementara ibunya berbicara dengan mantan besan.
"Mana mungkin Faisal melakukan itu," lirih bunda Rosmawati orang tua Faisal. Derai air mata terus mengalir dari matanya.
"Dia tidak mungkin melakukan perbuatan sehina itu," sambung bunda Rosmawati masih dengan derai air mata.
"Tadinya aku juga tidak percaya Bu, tapi itulah yang dikatakan Anisa," bela ibu Maesaroh, orang tua Anisa.
Anisa masih tertunduk tapi suara isakan menandakan ada air mata.
"Katakan Nisa!" titah Maesaroh.
Tangan Anisa mengusap air bening dari mata dan hidungnya. Mulutnya kaku untuk mengucapkan kata.
"Katakan Nisa!" bentak Maesaroh sambil mengguncang bahu kanan Anisa.
"Maaf Bun...," lirih Anisa suaranya terdengar parau, mulutnya bergetar melontarkan kata dan tidak mampu melanjutkan ucapannya.
"Katakan dengan jelas Nak," pinta Syamsuddin dengan lembut dan suara tenang karena Anisa belum juga melanjutkan ucapannya.
"Aku hamil anak mas Faisal," jawab Anisa, giginya gemeretak mengucapkan kalimat itu.
"Astaghfirullah haladhim..., benar itu Nak?"
Anisa mengangguk pelan.
Syamsuddin mengempaskan napasnya dengan kasar. Bibirnya keluh untuk mengatakan barang sepatah katapun hanya hatinya tak henti mengucap istighfar karena elu hatinya terlalu sakit mendengar ucapan Anisa.
Anisa, Rosmawati, dan Maesaroh masih menangisi hal itu.
"Bagaimana bisa begini? Astaghfirullah haladhim... Makam Faisal belum juga kering mengapa menambah luka untuknya," gumam Syamsuddin.
Syamsuddin terlihat memegang dadanya. Jantungnya nampak terpompa begitu cepat. Bukan karena aktifitas, tapi amarah yang berkecamuk di dalam dadanya. Rasa kecewa, tidak percaya, iba, semua menyatu menyesakkan rongga dadanya.
Anisa sesenggukan, linangan air mata belum juga surut dari pelupuknya.
"Usia kehamilan kamu berapa bulan Nis?" Tanya Rosmawati air matanya dia seka agar bicaranya jelas.
Anisa menggeleng.
"Kamu belum cek ke bidan?"
Anisa mengangguk.
"Haid kamu telat berapa hari?"
"Lima belas hari dari jadwal haid," lirih Anisa.
Rosmawati mengempas napas dan meraup muka dengan kasar.
"Apa benar i-itu anak Faisal?" Tanya Rosmawati mulutnya gemetar melontarkan kalimat itu.
Anisa langsung mengangkat wajahnya menatap Rosmawati kemudian menundukkan kembali. Dia sangat terkejut mendengar pertanyaan dari mantan calon mertuanya.
"I-iya Bun," lirih Anisa.
"Kenapa bisa Nisa," tubuh Rosmawati semakin gemetar.
Anisa kembali terisak, air matanya mengalir kembali. Giginya menggigit bibir bawah menahan tangis namun air matanya lolos begitu saja.
"Kapan kamu melakukanya Nisa?"
"Nisa!" Suara Rosmawati meninggi.
Syamsuddin mengelus bahu sang istri agar tenang.
"Sa-satu hari sebelum Mas Faisal meninggal," jawab Anisa terbata.
"Astaghfirullah haladhim...," keluh Rosmawati. Air matanya kembali mengaliri pipinya. Tangan kanan memukul pelan dadanya. Ada yang benar-benar menyesakkan dada.
...****************...
Anisa masih terdiam di kamar. Sejak dua hari bertemu dengan Bunda Rosmawati dan Pak Syamsudin bebannya bertambah berat. Beban psikologis tentunya yang dia hadapi. Beribu pertanyaan tanpa sebuah jawaban berkecamuk membulat dalam otaknya.
Apalah daya seorang Anisa. Dia hanya gadis kampung yang baru lulus dari sekolah menengah. Gadis yang baru berusia 18 tahun. Tidak punya pengalaman apapun selain menjahit dengan ibunya. Angan masa depan yang ada di pikirannya hanya akan menikah dengan pujaan hati Faisal Mubarok Syamsuddin. Tepat dua bulan setelah kelulusannya.
Hari dan tanggal sudah ditentukan. Bahkan persiapan undangan, dekor, dan tenda pernikahan sudah dipesan jauh hari. Tapi, takdir tidak ada yang tahu. Semua atas kehendak Sang Khalik. Rencana yang sudah disusun matang malah berakhir di pemakaman.
Flashback on
Waktu itu Faisal sedang membenahi atap rumah yang bocor. Kebetulan satu hari sebelumnya hujan begitu deras. Plafon yang ada di ruang tengah ternyata bocor. Faisal dengan gesit naik ke atap rumah namun apes menimpa Faisal, ada kabel listrik yang bocor. Tanpa sengaja Faisal menginjak kabel yang melintang di antara kayu atap. Faisal sempat minta tolong namun suara itu tidak terdengar oleh Syamsuddin, orang tua Faisal yang sedang membantu membenarkan atap bocor itu. Posisi Kyai Syamsuddin saat itu di bawah, mengambil genteng pengganti.
bug
Tiba-tiba saja ada suara benda jatuh dari atap.
Syamsudin seketika teriak minta tolong mendapati anaknya yang sudah setengah gosong jatuh dari atap rumah. Bunda Rosmawati yang kala itu ada di dapur langsung ke luar ke halaman samping.
"Astaghfirullah haladhim...Faisal...Nak...," teriak Rosmawati menghambur ke arah anaknya yang sudah tergeletak di bawah.
Tangisnya langsung pecah mendapati anaknya seperti itu.
"Faisal...duh ya Allah...anakku Faisal kenapa. Faisal...," tangan itu mengguncang bahu anaknya namun si anak tetap diam tanpa suara. Rosmawati langsung mendekap anaknya kala menyadari tidak ada sahutan dari mulut anaknya.
Tetangga mulai berbondong-bondong melihat tragedi itu. Banyak argumen dari mereka melihat tragedi yang menimpa Faisal.
"Astaghfirullah haladhim...ya Allah Nak...Malang sekali nasib kamu."
"Astaghfirullah haladhim...itu Faisal kenapa jatuh tapi sampai setengah gosong seperti itu?
"Ya Allah...lebih baik panggil polisi untuk menyelidiki kasus ini."
"Kita bawa ke dalam saja Pak...," ajak salah satu warga disusul warga lain membantu mengangkat tubuh Faisal masuk ke dalam.
"Innalilahi wa innalilahi rojiun," ucap Pak Salam setelah meraba denyut nadi Faisal.
"Innalilahi wa innalilahi rojiun," serempak yang menyaksikan mengucapnya.
Rosmawati semakin menangis histeris, "Faisal...Nak, bangun...," Rosmawati mengguncang bahu Faisal.
"Bun, air matanya nanti jatuh di Faisal. Kasihan Faisalnya," ucap Rokhimah tetangga Rosmawati sambil merangkul bahu Rosmawati agar menjauh dari tubuh Faisal.
Syamsuddin juga tidak kalah shock. Tubuhnya masih mematung di dekat pintu tengah. Menatap tubuh kaku Faisal yang mulai diurus selayaknya mayat seorang muslim.
Mata mayit dipejamkan, melemaskan seluruh persendian agar tidak mengeras dan meletakkan sesuatu di atas perutnya agar tidak mengembung dan menutup mayit dengan kain.
Ada cairan bening yang tiba-tiba mengalir ke pipi keriputannya. Tangan kanannya bergerak menghapus air mata. Namun suara isakan tidak dapat dia tutupi walaupun tangannnya menutup mulut itu.
"Faisal," ucapnya lirih dan tubuhnya beringsut terduduk lemas di ambang pintu tengah.
"Astaghfirullah haladhim...Pak Kyai, Pak..."
Suara itu saling bersahutan terdengar meremang di telinga Syamsudin hingga tubuhnya terasa ringan dan tiba-tiba sudah direbahkan di ranjang tidur.
"Pak...Bapak..., bangun Pak...," suara itu masih terdengar remang ditelinga Syamsuddin dan ada tangan yang menepuk pipinya. Namun masih juga dirasa remang oleh kyai Syamsuddin.
"Istighfar Pak...," ajakan itu mulai terdengar jelas dan mata Kyai Syamsuddin lamat-lamat terbuka. Wajah sendu istrinya terlihat pertama kali dan tubuh wanita itu langsung menghambur memeluknya.
Isakan kedua orang tua Faisal saling bersahutan menambah lara bagi yang menyaksikan. Tak terkecuali wanita yang baru mengetahui kabar duka itu. Wanita yang kini mematung menatap tubuh yang tertutup kain.
Anisa mendekat, masih membisu hanya isak yang tertahan di mulutnya. Tangan kanannya membuka kain penutup itu dan tangan kirinya membekap mulutnya sendiri agar isakan yang keluar dari mulutnya tidak keras.
"Innalillahi wa innailaihi rojiun...Mas Faisal," lirih Anisa menahan elu hati yang begitu sakit, dadanya berdegup begitu kencang seakan lepas ritmenya.
"Mas Faisal...," teriak Anisa tak kuat menahan isakan dan air matanya sudah mengalir bebas di pipi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
MIZI ZESHIKUMEZI
owo
2023-07-17
0
Becky D'lafonte
menarik, lanjut...
2023-07-07
0
Regita Regita
sepertinya seru nih...cus..langsung baca.
2022-09-06
0