Semua persiapan pernikahan sudah selesai. Walaupun acara ini begitu mendadak namun karena dibantu saudara yang kebetulan menjabat sebagai pegawai KUA dan ada juga yang menjabat sebagai perangkat desa akhirnya persyaratan nikah terpenuhi. Didukung dengan KK dan KTP Panji yang masih berdomisili di desa tersebut.
Terkesan mendadak. Pastilah nanti warga akan mengatakan hal tersebut. Memang juga mendadak.
Setelah perdebatan alot. Atas dasar bakti diri ke ibunda, kasihan dengan calon bayi yang kemungkinan besar calon ponakannya. Panji pun mengiyakan permintaan sang bunda.
"Terima kasih sayang mau menerima permintaan bunda," ucap bunda Rosmawati dengan memeluk Panji.
"Kamu anak yang berbakti Nak. Pasti Allah memberikan kamu kebahagiaan dimanapun kamu berada," lanjut bunda Rosmawati kemudian melepas pelukannya.
Panji hanya diam mendengarkan ucapan sang bunda. Entah keputusan kali ini benar atau tidak yang terpenting melihat bundanya bisa tersenyum kembali.
"Jemputan dari calon mempelai perempuan sudah datang Ji, kita temui mereka," pinta kyai Syamsuddin yang sudah masuk ke kamar Panji.
"Ya Pak," jawab Panji kemudian mengekor Bapaknya jalan keluar menuju ruang tamu.
Setelah mereka bercakap sebentar dan menikmati jamuan yang disuguhkan, mereka beranjak menuju rumah Anisa.
Dua puluh menit kemudian tepat pukul 09.00 WIB ijab kabul itu terucap.
"Ananda Panji Alam Darmawan bin Andi Darmawan saya nikahkan dengan Anisa Khumaira bin Abdul Rasyid dengan mas kawin emas seberat 100 gram dibayar tunai.
"Saya terima nikah dan kawinnya Anisa Khumaira bin Abdul Rasyid dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Sah...,"
"Sah."
"Alhamdulillah..."
Doa setelah ijab kabul dilantunkan oleh penghulu pengantin dan diamini semua yang menyaksikan pernikahan itu.
Tamu yang hadir hanya kerabat dari dua mempelai dan sahabat dekat Anisa.
Anisa orangnya berpikiran terbuka, ceria, empati tinggi, bersosialisasi, dan dulu aktif dalam organisasi sekolah, OSIS, pramuka, dan karate. Bahkan dia menjabat sebagai wakil ketua OSIS waktu itu. Maka tidak heran kalau temannya banyak. Hanya yang diundang kali itu dua orang, Tika dan Nadia. Dua sahabat karib yang selalu bersama.
Acara pernikahan diadakan secara sederhana. Tidak ada pengeras suara yang satu kampung bisa dengar, hanya pengeras suara bervolume terbatas. Tenda pernikahan juga sederhana hanya di bagian teras yang tidak luas. Ijab kabul, makan-makan, walimatul ursy setelah itu selesailah acara pernikahan singkat tersebut. Sepi kembali menerpa di kediaman ibu Maesaroh.
Malam hari menyapa, kini di kamar pengantin baru ada dua sosok manusia. Tentu saja pengantin pria dan wanita. Anisa duduk di kursi belajar yang ada di kamar. Sesekali melirik ke arah lelaki yang ada di ranjang tidur. Lelaki yang baru dilihatnya setelah ijab kabul. Lelaki asing yang tiba-tiba menikahinya terhitung 11 jam lebih 10 menit yang lalu dan selama itu pula dia tanpa ucap kata atau sekedar tegur sapa padanya.
"Ada yang ingin kamu katakan?" tukas Panji yang jelas membuat kaget Anisa dengan suara baritonnya.
"A...aku? Aku tidak mau berkata," jawab Anisa gugup.
Panji menarik satu sudut bibirnya, merasa aneh dengan sikap Anisa.
"Kamu mau tidur?"
"Tidak mas, maksud aku iya saya sudah mengantuk," jawab Anisa masih gugup bicara dengan lelaki yang betah bersandar di sandaran ranjang.
"Jangan panggil aku mas," protes Panji.
"Om?" celetuk Anisa.
Panji melototkan mata dengan memicingkan kedua alis.
Anisa gelagap mendapati reaksi Panji.
"Kakak?" lirih Anisa.
"Tepat!"
"Issst...sok muda! pakai request dipanggil kakak!" batin Anisa dan bibirnya mengerucut mendengar jawaban Panji.
"Kenapa? Tidak suka?"
Anisa langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat.
drt
drt
drt
Panji melihat nama penelepon yang ada di layar ponsel.
"Waalaikum salam sayang."
deg
Kalimat itu seakan menghantamkan tubuhnya ke dinding kamar. Remuk berkeping tubuh dan hati. Bukan karena cinta yang telah menguasai hati Anisa sehingga kalimat itu terdengar menyayat melainkan karena dirinya adalah istri sah yang diikrar atas nama penguasa alam semesta.
Anisa mengangkat pantatnya berdiri dari kursi duduk dan memilih keluar dari kamar.
Hingga malam semakin malam. Anisa belum beranjak dari ruang tengah. Matanya tajam menatap layar televisi. Acara apapun dia lihat agar tidak penat.
"Ndok, sudah malam kok belum tidur," tegur ibu Maesaroh dari ambang pintu kamar.
"Ya, bentar Bu," jawab Anisa.
"Dia sudah tidur belum ya? Mengapa nasibku seperti ini ya Allah? Andai mas Faisal masih ada. Hal ini tidak akan menimpaku. Ya Allah...ampunilah segala dosaku dan dosa mas Faisal," batin Anisa.
Anisa memencet tombol off. Lampu tengah dia matikan dan kakinya kini melangkah ke kamar. Tangan Anisa membuka kamar tidurnya. Masih di ambang pintu, mata Anisa langsung mengedar pandangan mencari sosok laki-laki yang sedari awal setia menyandar di sandaran ranjang.
"Dia kemana?" gumam Anisa tidak mendapati Panji di ranjang.
"Kamu mencariku?"
"Astaghfirullah haladhim...," terkejut Anisa tangannya mengusap dada karena sangat terkejut dan tubuhnya langsung berbalik menatap Panji yang ada di belakangnya.
Panji melangkahkan kaki masuk ke kamar, Anisa mengekor di belakang. Tanpa sadar tubuh Anisa menabrak Panji yang berhenti mendadak.
"Ma...ma maaf," gugup Anisa.
Tanpa jawaban walaupun hati Panji begitu gondok dengan tingkah Anisa, dia melanjutkan langkah dan naik ke ranjang tidur.
"Tidurlah, Jangan khawatir aku tidak akan apa-apakan kamu," terang Panji mendapati Anisa berdiri mematung di dekat ranjang dengan mengarahkan dagu ke bantal di sampingnya.
Anisa mengangguk walau ragu kakinya naik ke atas ranjang. Setelah mengucap sekelumit doa Anisa memejamkan matanya. Tapi sebelum terpejam, matanya sempat melirik ke arah lelaki yang sudah berbaring membelakanginya.
"Benarkah dia kakak mas Faisal? Mengapa jauh berbeda?" gerutu batin Anisa dan lamat-lamat matanya terpejam secara sempurna.
...****************...
"Rupanya kebiasaan ini tidak juga lekang di makan waktu," batin Panji melihat orang-orang desa berolah raga pagi, sekedar jalan atau bersepeda di hari Minggu. Kakinya bergerak jalan menelusuri pemandangan desa yang masih terlihat asri.
Sebuah desa di bawah perbukitan dengan jejeran pohon pinus menjulang tinggi di sisi kanan kiri mengapit jalanan yang di lalui Panji. Langkah kakinya terhenti ketika sepatu yang dia pakai talinya terlepas.
"Dia hamil bro!" seru salah satu dari pemuda yang sepertinya sedang istirahat dari olah raga.
"Fitnah itu dosa loh Heri!" tukas teman lainnya.
"Kalian tidak percaya kalau Anisa hamil duluan sebelum menikah. Makanya dia buru-buru dinikahkan dengan kakaknya Faisal," terang Heri.
Teman yang lain nampak terdiam dan mengangguk pelan atas apa yang disampaikan Heri.
Panji sedianya akan lanjut jalan. Namun, ketika mendengar nama istrinya dan adiknya disebut segerombolan pemuda. Dia urungkan niat untuk jalan dan mencoba menelisik lebih dalam tentang berita tersebut tanpa sepengetahuan mereka dengan pura-pura membenarkan tali sepatu satunya.
"Kamu begitu yakin Her?" selidik teman lain.
"Yakin 100%, kalau apa yang aku katakan salah kalian boleh gorok ni leher," tantang Heri.
"Serem kamu!"
Heri malah terkekeh mendengar ketakutan temannya.
Panji melanjutkan jalannya kembali dengan sikap tenang. Dia hanya membidik laki-laki yang dipanggil Heri dengan beberapa kali bidikan kamera.
"Suatu saat aku butuh kamu!" batin Panji, tangannya memasukkan ponsel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Ceng Ceng
Baru ngucapin
Hadir 🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
suka dengan kalimat kalimat di karyamu Thor😍🥰
2022-09-29
0
Dwi Werdani
jadi penasaran thor...
2022-02-14
0
Othor Blinger
masuk list favorit ya kak
2022-02-06
0