Dia terduduk di depan jenazah sang kekasih masih dengan derai air mata yang tidak mampu dia hentikan. Rasa lemas menjalar ke seluruh tubuh, tulang belulang seperti lepas.
"Istighfar Ndok, Istighfar," pinta Maesaroh sambil mengelus punggung anaknya.
"Mas Faisal...," panggilan itu masih dia tujukan untuk sang kekasih namun tubuh itu tetap diam kaku dengan kedua tangan melipat di dada dan mata yang terpejam.
"Mas...," kali ini Anisa menyentuh pipi sang kekasih.
"Astaghfirullah Anisa...," ibu Maesaroh mengangkat bahu anaknya agar berpindah tempat.
"Jangan sampai air mata kamu jatuh di nak Faisal, kasihan nak Faisal," ucap ibu Maesaroh sambil memapah anaknya menjauh dari jenazah.
Silih berganti tetangga bahkan kerabat berdatangan ikut bela sungkawa atas musibah yang menimpa keluarga Kyai Syamsuddin.
Surah Yasin juga terdengar menggema dari berbagai sudut ruangan.
Kyai Syamsuddin bangkit dari tidur, tangannya meraba tepi ranjang, kakinya sudah dia turunkan dari ranjang.
"Mau kemana Kyai?" tanya Mahmud salah satu sanak saudara.
"Ambil wudu, aku belum menghadiahkan Yasin untuk Faisal," ucapnya.
Mahmud memapah kyai Syamsuddin berjalan menuju toilet rumah.
Sementara bunda Rosmawati dia yang duduk di samping ranjang suaminya kini mengekor suaminya untuk mengambil air wudu.
Bunda Rosmawati sudah duduk di samping warga yang juga ikut membaca surah Yasin.
"Ambillah air wudu Ndok, itu hadiah yang nak Faisal inginkan," ajak ibu Maesaroh.
Anisa mengangguk sambil menguatkan tubuhnya agar berjalan ke ruang belakang untuk mengambil air wudu. Tidak lama setelah itu, pantatnya sudah duduk di depan tubuh kaku Faisal. Matanya masih memandang kosong tubuh yang sudah diberi keranda itu.
Matahari semakin condong ke Barat. Bayangan yang nampak semakin tergeser ke timur. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB.
Aroma melati, kamboja, kantil, mawar, pandan, dan kapur barus, menyeruak di ruangan itu. Sahutan Surah Yasin dan tahlil sudah berkemundang mengiring prosesi pengurusan jenazah sebelum diberi sambutan pelepasan jenazah.
Acara sambutan pelepasan jenazah dimulai. Kyai Syamsuddin menguatkan diri memberikan sambutan itu. Walau terkadang di sela sambutan tangannnya bergerak cepat mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
La ilaaha Illallah La ilaaha Illallah La ilaaha Illallah...
Kalimat zikir itu mengiring kepergian jenazah menuju pemakaman. Air mata Anisa tidak mampu lagi keluar tapi tubuhnya kini lemas terkulai di balik jendela rumah Kyai Syamsuddin.
Matanya menatap kosong keranda jenazah itu pergi seiring langkah kaki mengayun menuju tempat pemakaman. Kini mata itu terpejam. Jiwanya seakan ikut melayang mengiringi jenazah yang semakin menjauh dari rumah Kyai Syamsuddin.
"Astaghfirullah haladhim..., Anisa...Nisa...," histeris Maesaroh langsung mendekap tubuh Anisa.
"Bu, ditidurkan saja," pinta Nadia teman Anisa sambil membantu memapah Anisa untuk direbahkan di ruang tamu.
Dua puluh menit berlalu. Anisa tertidur karena terlalu lelah.
Maesaroh duduk di samping Rosmawati yang sedang duduk lesehan di ruang tamu di mana Anisa tertidur.
"Faisal anak yang baik, semoga Allah menempatkan di Surga," hibur Maesaroh tangannya memegang tangan Rosmawati.
Rosmawati mengangguk dan menampakkan senyum kecil. Hatinya mencoba tegar tidak terpuruk dengan kepergian Faisal.
"Assalamualaikum...," sapa Syamsudin dan sesok pemuda yang sejak awal kedatangannya menjadi pusat perhatian dalam prosesi pemakaman jenazah.
"Waalaikum salam...," jawab Maesaroh dan Rosmawati.
Pemuda itu tersenyum mengangguk hormat.
"Kesini Panji," pinta Rosmawati pada pemuda itu.
Pemuda itu mendekat.
"Ini ibu Maesaroh," Rosmawati menepuk paha Maesaroh.
"Bu...," sapa pemuda itu sambil mengulurkan tangan dan segera mencium punggung tangan Maesaroh yang telah membalas ulurannya.
Maesaroh tersenyum membalas sikap pemuda itu.
"Dia ibunya Anisa, calon istrinya Faisal," terang Rosmawati matanya beralih menatap Anisa dan dagunya menunjuk gadis malang itu.
Panji melirik sebentar ke arah Anisa, tubuhnya bangkit dan meminta izin untuk pergi.
Flashback of
"Nisa...Nis...,"
"Ya Bu," jawab Nisa malas.
"Makan dulu Ndok, ibu sudah siapkan makanan," ajak Maesaroh.
Nisa menganggukan kepala. Kakinya melangkah keluar dari kamar sederhana yang dia tiduri.
Anisa menghirup aroma tempe tanpa tepung yang masih hangat, juga tumis kangkung yang ada di meja dan tidak ketinggalan ikan asin.
Masakan yang terhidang di meja menggugah selera makan Anisa. Tangan kanannya bergerak mengambil nasi dan lauk pauk yang terhidang di meja.
Maesaroh tersenyum menatap Anisa.
"Berdoa dulu Nis," ajak Maesaroh.
"Ya Bu," jawab Anisa, kedua tangan menengadah membaca doa mau makan.
Maesaroh menatap lekat ke arah Anisa yang sedang makan. Anisa terlihat begitu cepat memakan semua makanan yang ada di piring. Tidak hanya itu, tangannya bergerak kembali mengisi nasi ke piring yang dia pegang.
"Nambah Bu," ucap Anisa.
Maesaroh mengangguk, ada senyum getir yang terlihat di wajah Maesaroh.
"Bagus, makan yang banyak karena si kecil juga butuh makan,"
Anisa langsung mengunyah pelan makanan yang ada di mulut. Bahkan nafsu makannya langsung hilang begitu saja mendengar ucapan ibunya.
"Aku sudah kenyang Bu," ucap Anisa setelah dengan terpaksa menelan makanan yang sudah dia kunyah di dalam mulut.
Maesaroh menatap piring yang ada di depan Anisa, piring itu masih terisi penuh nasi dan lauk pauk. Dia merasa bersalah telah mengucapkan kalimat yang dia lontarkan ke Anisa.
Anisa mengangkat pantat, kakinya melangkah dari ruang makan.
"Salat Zuhur dulu Nisa," ucap Maesaroh melihat Anisa akan masuk kamar.
"Ya Bu," jawab Anisa, kakinya memutar langkah ke ruang belakang untuk mengambil air wudu dan menunaikan salat fardu.
Selesai menunaikan kewajiban, Anisa berniat masuk kamar namun langkahnya terhenti menatap ibunya yang tengah sibuk dengan orderan jahitan.
"Banyak orderan Bu," sapa Anisa duduk di depan ibunya yang sedang memotong kain.
Maesaroh tersenyum menjawab pertanyaan dari Anisa.
Anisa mengambil kain yang belum terpotong, "Ini punya siapa Bu?"
"Mbak Dewi, kamu saja yang potong. Modelnya terserah yang penting modis. Ukurannya di buku ini," terang Maesaroh sambil menyerahkan buku catatan.
Tangan Anisa bergerak lincah di atas kain yang dia potong. sesekali matanya menatap ukuran yang tertulis di buku catatan.
"Besok kita ke rumah sakit Nis,"
Nisa menghentikan tangan kanan yang sedang memotong kain.
"Bunda Rosmawati ingin tahu perkembangan kehamilan kamu," terang Maesaroh.
Anisa menunduk, "Ya Bu," jawabnya kemudian lanjut memotong kain.
****************
Anisa, Maesaroh, dan Rosmawati sudah sampai di poli kandungan. Mereka duduk di antara pasien yang sedang menunggu panggilan masuk ke ruang pemeriksaan.
Rosmawati sengaja memilih periksa di rumah sakit kabupaten yang jauh dari tempat tinggal mereka. Tujuannya untuk apalagi kalau bukan untuk menghindar desas-desus dari warga desa. Dia tidak munafik kalau berita kehamilan Anisa bisa terdengar oleh warga cepat atau lambat. Namun tidak secepat kilat, setidaknya setelah makam almarhum Faisal kering.
Dua jam mereka sudah duduk di kursi tunggu namun nama Anisa belum juga dipanggil oleh petugas. Bahkan nomor urut yang dia pegang masih jauh dari nama pasien yang sudah masuk ruang pemeriksaan.
"Nomor berapa Nisa?" tanya bunda Rosmawati.
Anisa memperlihatkan kartu antrian ke bunda Rosmawati, "Nomor 30 Bun, kurang 20 lagi,"
Rosmawati mengempaskan napas, "Datang pagi pun tetap dapat nomor antrian 30 apalagi datang siang," keluhnya.
"Minum yang banyak Nisa," tawar bunda Rosmawati sambil menyodorkan satu botol air mineral.
"Terima kasih Bun," ucap Anisa yang memang sudah merasakan kering kerongkongannya bahkan perutnya juga sudah mulai protes minta diisi.
"Bunda juga bawa roti sama jajan, makanlah kamu pasti sudah lapar," ucap Rosmawati tangannya menyerahkan satu bungkus plastik yang berisi cemilan dan masih ada dua botol air mineral.
"Minum Bu," bunda Rosmawati menyodorkan satu botol air mineral ke ibu Maesaroh
"Aku bawa air minum sendiri Mbak," Maesaroh menunjukkan satu botol air putih dari tas. "Belum suka air kemasan, ini air masak sendiri," sambungnya.
Bunda Rosmawati tersenyum karena itu, "Persis kaya Faisal kecil. Dulu kalau bepergian dengan dia harus bawa air putih yang masak sendiri," ucapnya.
Maesaroh langsung mengusap punggung Rosmawati, dia tahu ada rasa kesedihan ketika Rosmawati melontarkan kalimat itu.
"Bunda...," sapa seorang gadis yang berpakaian serba putih.
"Nak Nurul?!" terkejut bunda Rosmawati.
"Siapa yang sakit Bun?" tanya Nurul setelah takdhim mencium punggung tangan bunda Rosmawati.
"Eh...itu, Nak...Anisa dia perutnya sakit karena haidnya tidak lancar," jawab bunda Rosmawati mencoba tidak gugup tapi nyatanya tetap saja raut wajah dan tutur kata terlihat gugup karena harus berbohong.
"O...," kepala Nurul mengangguk sambil menoleh ke Anisa.
"Semoga cepat sembuh ya Dek," ucap Nurul mengarah ke Anisa.
"Ya Mbak," jawab Anisa.
"Bunda disehat-sehat ya. Mas Faisal anak yang soleh, insya Allah masuk surga Allah. Maaf aku lanjut kerja Bun," pamit Nurul.
Rosmawati tersenyum mengangguk. Menatap kepergian Nurul, gadis yang dulunya menjadi kekasih Faisal dan gadis yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Regita Regita
yang namanya antri beuhhh.!dulu kalau nganter almarhumah ibu ke RS,berangkat dari rumah jam 4 shubuh pas nyampe RS antrian udah kayak mau antri sembako. nyampe lagi kerumah jam 3 an kadang pernah maghrib.yg sakit tambah sakit.
2022-09-06
1
Dwi Werdani
lanjut...
2022-02-14
0
auliasiamatir
aku jadiin favorit ini thor
2021-12-07
4