Berbeda dengan pertemuan beberapa saat yang lalu. Saat ini suasana seketika berubah, seolah mereka berdua pandai menyembunyikan luka hati mereka.
"Bunda pergi dulu ya!" pamit wanita yang melahirkan laki-laki yang berada disebelah
Syifa saat ini.
"Nggak nunggu ayah dulu, Bun?" tanya Fauzi
"Tadi ayahmu bilah lima belas menit lagi sampai, bunda tunggu saja di luar. Nanti langsung suruh putar kepala saja mobilnya."
"Fa, Bunda pergi dulu ya. Yang banyak makannya, kamu memang kelihatan kurusan!" lanjut perempuan yang disapa dengan kata bunda itu lalu berlalu meninggalkan mereka.
Syifa memandangi punggung wanita yang tampak sangat sehat itu. Wajah yang biasa terlihat pucat kini merah berseri memancarkan pesona kebahagiaan.
"Bagaimana bisa aku egois mengorbankan perasaan wanita hebatmu itu, Zi!" lirih Syifa
"Tapi bagaimana nanti, Fa. Bagaimana kalau aku benar-benar tidak bisa membuka hatiku untuk istri pilihan bunda! Mungkin saja kan kalau akhirnya bercerai! apa itu tidak malah melukai hati bunda?" mata Fauzi berkaca-kaca.
Walaupun mereka duduk di meja makan, namun sedikit pun mereka belum sama sekali menyentuh makanan atau minuman apapun yang tersaji di atas meja tersebut.
Syifa berdiri dan melangkah ke arah jendela lebar yang menghembuskan angin kota Surabaya. Gadis itu menyeka air matanya yang terus berjatuhan.
"Bagaimanapun orang tua harus menjadi prioritas utama anaknya, Zi. Kalau jodoh kita memang nggak ada kita harus apa? aku tidak mau menyakiti hati orang tua mu. Ya ... kita memang saling mencintai! hubungan kita juga sudah lama berjalan! tapi itu semua tidak menjamin kita akan bahagia kalau kita menentang mereka.
Zi ... kau lah harapan Bunda. Bunda tidak mungkin menjerumuskan mu kedalam pilihan yang salah. Aku pernah mengenal calon istrimu itu sewaktu aku Internship dulu. Dia gadis yang solehah. Cantik, guru pula! itu tugas yang mulia kan?" Syifa kembali berkaca-kaca. Insecurenya kembali muncul mengingat wanita berjilbab ungu yang dulu pernah ia jumpai di sebuah puskesmas sedang mengantarkan neneknya berobat. Gadis berjilbab panjang tanpa riasan berlebihan namun entah kenapa wajahnya benar-benar memberikan ketenangan. Tutur katanya lembut, ramah dan wawasannya juga luas.
Beberapa tahun yang lalu
"Jadi nenek saya nggak apa-apa, Dok?" sapa gadis berjilbab ungu
"Asam lambung nenek tinggi. Sebaiknya tolong perhatikan makanannya dulu ya, mba."
"Iya, Dok. Saya akan berusaha, tolong berikan saya obat agar nenek saya bisa mengingat semua ucapan dokter!" senyuman tersungging di bibir gadis itu,
"Iya, bawa saja sekalian dokternya pulang ke rumah. Supaya kalian bisa mencatu apa yang akan nenek makan! Nenek juga kepengen makan- makanan zaman sekarang kan!" nenek yang sedang tiduran di brangkar itu mencebik
"Boleh, Nek. Tapi nggak bakso aci super pedas juga ...." ucap wanita berjilbab ungu tadi.
"Oh, si nenek suka bakso Aci super pedas? hm ... level berapa, Nek?" perempuan langsing dengan stetoskop menggantung di lehernya ikut berbicara dengan kedua orang wanita beda generasi tersebut.
"Untuk sementara bakso Acinya jangan dulu ya, Nek. Nanti kalau asam lambungnya sudah stabil baru deh boleh. Ajak-ajak saya ya, Nek kalau mau makannya!" ucap Syifa
"Bu dokter bisa saja. Bakso Aci di kampung nggak cocok sama perut bu dokter!" jawab si nenek
"Bukannya rasa bakso di kampung itu lebih enak dan original, Nek." sambung Syifa pula
"Iya ... iya, nanti kalau nenek sembuh. Yoli jemput deh bu dokternya kesini. Tapi janji obatnya harus di habisin dan jauhi bakso Acinya dulu ya, Nek." Sela sang cucu
"Ini obatnya sudah saya resepkan!" Syifa memberikan kertas.
"Cepat sembuh, Nenek!" Syifa mengantar Yoli dan neneknya keluar dari ruangan yang tidak terlalu luas itu.
"Saya permisi, Dokter." pamit Yoli
"Iya, yang sabar ya, Mba."
"Doakan ya, Dok! saya permisi dulu mau nebus obat. Buru-bur mau ngajar juga!" pamit Yoli dengan senyum manisnya
"Oh iya, silahkan! silahkan!" Syifa yang kebetulan sedang sepi pasien merasa membutuhkan teman untuk bicara dan begitu bertemu Yoli ada rasa nyaman berbicara dengan wanita berperawakan teduh itu.
\=\=\=\=
"Cinta itu bisa datang nanti, Zi. Kalau kau ikhlas membuka hatimu." ucap Syifa tanpa melihat lawan bicaranya
"Lalu kau bagaimana? kau sudah berkorban untuk tidak melanjutkan spesialis karena kita sudah berencana untuk menikah tahun depan!"
"Aku tidak apa-apa! tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Mungkin Allah sudah mempersiapkan masa depan lain untukku. Dan pasti itu yang terbaik!" Syifa menunduk.
"Apa kau sudah punya penggantiku?" seka Fauzi, Syifa menggeleng
"Sedikitpun belum pernah terpikir! entah setelah melihat kau ijab qabul nanti ...." Syifa tersenyum dan mendekat ke arah laki-laki yang sudah menemani kisah cintanya tiga tahun terakhir ini.
"Kedatanganmu justru membuatku semakin tidak ingin menyakitimu, Fa." Fauzi mengusap wajahnya
"Justru aku akan semakin sakit jika sengaja tidak datang di hari bahagiamu!"
"Bunda! bukan aku!!"
"Ziii ... please! ingat semua hal yang di lakukan bunda untukmu. Dan lupakan semua yang sudah kita jalani selama ini. Kita pacaran baru 3 tahun, sedangkan kau dengan bunda sejak kau ada dalam rahimnya!" Kini keduanya sama-sama menangis dalam diamnya.
Sepasang mata yang sejak tadi melihat dan mendengar semua pembicaraan mereka akhirnya berani mendekat.
"Kenapa kalian menutupi semua ini? demi apa hah?? kalian hanya akan menyakiti diri kalian masing-masing!!!"
"Kenapa kau tidak menolak permintaan bundamu dan mengatakan Syifa adalah wanita yang kau cintai selama ini, Zi!! anak bodoh!! bunda harus tau ini!!" laki-laki paruh baya itu berjalan tegap memegang undangan di tangan kanannya.
"Ayah, Jangan!!! tolong ayah! Jangan ...." Syifa mengejar laki-laki tersebut.
"Ini tuh nggak benar!" ucap laki-laki itu menepis tangan Syifa yang berhasil memegang tangannya.
"Ayah! lihat senyuman Bunda!! Ayah tega membuat senyuman itu hilang? Ayah suka melihat bunda yang pucat, susah senyum seperti dulu?!" Syifa menyingkap tirai yang memperlihatkan Amelia di dalam mobil. Perempuan itu menurunkan kaca mobilnya dan terlihat sedang bicara melalui telpon.
"Obat dari segala penyakit adalah rasa bahagia, Yah. Ini sudah pilihan bahkan janji di masa kecil bunda dengan almarhumah sahabatnya!"
"Tolong, Yah! demi bunda ...." Syifa menangis sambil memegang undangan di tangan laki-laki itu.
"Bukan hanya bunda saja yang kecewa, Yah. Bahkan rasa malu akan di dapatkan keluarga ini jika semuanya sesuai kehendak kami."
"Terimakasih, Nak. Pengorbanan mu sungguh besar!" Laki-laki itu memeluk Syifa
"Semoga Allah memberikan pengganti yang lebih baik dari anak bodoh ini!" suami dari Amelia itu meninju bahu Fauzi sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka.
.
.
.
.
Like dong! like 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Hulapao
nahh benerr udah tua jangan makan pedes²
2022-09-28
0
gegechan (ig:@aboutgege_)
Ya ampun jujur aku baca scene akhir sampe berkaca-kaca, apalagi pas ayahnya bilang "Semoga kamu dapat pengganti yang lebih baik..." DUH SAKITTT
2022-09-23
1
Ami💞4hy🥀
lah kok gini 😧
2022-06-08
0