Malam pun tiba. Tepat pukul 00.00 sesuai dugaan Raga benar-benar datang menemui Jea. Pada dasarnya dia memiliki usia sekitar lima tahun lebih tua dibanding Jea. Namun entah mengapa seorang pemuda berusia tujuh belas tahun bisa dengan mudahnya tertipu oleh gadis berusia dua belas tahun.
“Ini kunci masternya. Pergilah! Aku akan berjaga sampai kau kembali.” Ujarnya menyerahkan kunci itu kepada Jea dan menurut untuk menunggu di dalam kamar gadis itu.
"Oh ya, namanya Rayden. Jika kau belum tahu." ujarnya gugup.
"Baiklah." Jea pun keluar dari kamarnya dengan mengendap-endap menuju kamar sebelah yang tak kalah besar dari kamarnya.
Dia membuka pintu kamar itu perlahan dan menemukan seorang pemuda seusianya tengah berdiri sambil memandang ke luar jendela.
“Rayden?” tanyanya ragu.
“Oh benar. Sesuai dugaan.” Ujar gadis itu bersemangat begitu pemuda itu menoleh ke arahnya.
Dia memandang raut wajah pemuda itu lekat-lekat. Garis wajah mereka terlihat benar-benar sama. Hanya saja pemuda itu memiliki tubuh yang lebih tinggi, sekitar 178cm. Melampaui dirinya yang hanya bertubuh mungil dengan tinggi 165cm.
“Kau? Ka…ka…kau masih hidup?” ujarnya dengan bibir gemetar.
“Aku masih hidup. Karena kau juga masih bertahan.” Lirih gadis itu asal masih mencoba membaca situasi.
Rayden pun berjalan mendekatinya dengan ragu-ragu. Dia mendatangi gadis itu dengan perlahan. Tangannya tampak terulur untuk meraih wajah gadis itu yang begitu mirip dengannya.
“Kau baik-baik saja bukan? Apakah aku terlalu lama?” ujar Jea datar sambil menggenggam tangan itu. Tangan yang menyentuh wajahnya dengan begitu lembut.
Pemuda itu menggeleng. Jea menuntunnya untuk duduk di salah satu sisi ranjang.
“Dia bilang kalau kamu sakit. Karena itu aku datang ke sini. Aku bahkan gak pernah dikasih tahu apapun soal kamu.” Ujar Jea membuka pembicaraan begitu mereka berdua tengah duduk berdampingan.
“Mereka bilang, kamu gak pernah ada. Aku anak tunggal. tetapi ada surat yang kasih tahu aku kalau kamu itu ada. Kalau kamu itu saudaraku.” Jawab Rayden lirih.
Jea menatapnya cukup lama dan menyadari ada suatu hal yang tak beres. Matanya memerah dan sangat kosong. Pandangan itu seakan menyiratkan begitu banyak luka. dia merasa seperti hatinya tersayat ketika memandang mata itu dari arah dekat.
“Kamu sakit apa?” ujarnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Sejak wanita itu masuk rumah, aku sering berhalusinasi. Menciptakan beberapa karakter baru dan membenci karakter nyata. Aku bahkan bingung apa kamu yang ada di hadapanku sekarang ini adalah nyata atau justru hanya bayangan.” Jelas Rayden dengan tatapan kosong sambil memeluk kakinya erat.
“Tenang. Jangan tegang! Aku nyata. Kamu tadi menyentuh wajahku kan? Aku masih terasa hangat, Aku masih hidup.” jelasnya asal.
Jea melepaskan tangan Rayden yang menggenggamnya sedari tadi. dia melepaskan tangan itu perlahan dan bermaksud untuk membuatnya terlihat lebih santai.
"Bagaimana jika kita berbagi cerita?" dia memutar duduknya menghadap ke arah Rayden.
Jea menatap saudaranya itu lekat-lekat. dia mengangkat dagu Rayden untuk balas menatapnya. “Aku nyata. Dan aku datang untukmu Kak.” lirihnya membuat hati Rayden menghangat.
Rayden pun tergerak untuk memeluk saudaranya itu. dia merangkul gadis itu dan membawanya ke dalam pelukannya. dia menangis tersedu-sedu di pundak kecil itu. dia benar-benar membagi luka itu bersamanya kali ini. Setelah sekian lama dia menutup diri dari siapa pun.
“Kau tahu, aku berhenti memakan obat-obat yang diberikan wanita itu. Halusinasi itu menghilang. tetapi begitu dia datang dan menyuntikkan sesuatu. Aku benar-benar takut. Ada banyak orang jahat. Ada yang mau memukulku. Aku tidak memiliki pilihan selain memakannya.” ujar pemuda itu panik.
Rayden melepaskan pelukannya dari Jea dan bercerita dengan histeris. Matanya memerah, lebih merah dari sebelumnya. dia tampak panik dan *******-***** kasar rambutnya. dia mencoba menyakiti dirinya sendiri di hadapan Jea.
“Hentikan semua ini Kak, kumohon?” lirih Jea mencoba menenangkannya dengan memeluk tubuh ringkih Rayden.
“Siapa kau? Ada apa dengan wajah ini? Siapa kau?” teriaknya histeris begitu ia kembali menatap sang adik.
dia mencoba melepaskan pelukan Jea namun gadis itu memperkuat pertahanannya.
“Tenanglah, aku di sini. Kau tidak sendiri.” Lirihnya.
Rayden masih histeris dan bahkan menjadi lebih parah ketika orang-orang yang mendengar suara mereka mulai berdatangan.
“Apa yang kau lakukan?” hardik Clara kepada Jea yang tengah memeluk Rayden sambil menangis.
“Dia berbahaya. Lepaskan! Atau dia akan melukaimu.” Teriak Clara.
Namun Jea tak bergeming. Ada darah segar yang kini tengah mengucur dalam kepalan tangannya. Rayden meraih pisau dari nakas ketika Jea memeluknya. dia hampir saja melukai dirinya andai saja gadis itu tidak menggenggam pisau itu lebih dahulu.
‘Oh tidak! Aku menyakitimu. Kau berdarah, bagaimana ini?” teriak Rayden lagi makin histeris begitu melihat darah segar dari tangan Jea.
“Aku menyakitimu. Tidak! Aku tidak bisa melindungimu. Aku saudara yang buruk. Aku buruk.” Serunya lagi setelah mendorong Jea menjauh.
Gadis malang itu kini terhempas ke sudut nakas dan kepalanya sedikit terbentur ke ujung meja. dia menangis sesenggukan. Tetapi bukan karena rasa sakit di tangannya melainkan karena melihat kondisi Rayden saudaranya.
Raga yang baru saja bergabung pun langsung meraih gadis itu dan mendekapnya. Jea terisak begitu keras dalam pelukan Raga. dia kehilangan semua kata-katanya begitupun dengan tenaganya.
Raga menuntun gadis itu duduk di salah satu sofa yang berada di sudut kamar dan mulai mengobati luka gadis itu. Namun Jea, dia hanya menatap kosong ke arah Rayden yang tengah di tangani oleh pihak dokter.
Mereka mengikatnya ke sisi tempat tidur. Menyuntikkan sebuah obat dan memasangkannya melaui infus ke dalam tubuh Rayden.
“Obat apa itu? Apa yang berusaha dia jelaskan sebelumnya?” batin gadis itu menerka-nerka.
Jea mereka ulang kembali kedatangannya di dalam kepalanya sendiri. Rayden baru saja meminum sesuatu ketika dia datang. “Ada yang tidak beres.” Pikirnya.
Selagi Raga tengah mengobati tangannya dia menyadari sesuatu. Ada begitu banyak obat-obatan di atas meja di sudut ruangan. Dan ada bekas gelas yang baru saja di minum oleh Rayden disana.
Diam-diam tanpa sepengetahuan Raga dia mengulurkan sebelah tangannya yang lain untuk meraih botol obat itu dan menyembunyikan itu di sakunya. Hanya beberapa butir obat, jika dia mengambil botol itu maka pasti akan mengundang kecurigaan.
Untuk seorang gadis yang baru saja mengalami kejadian traumatis, dia terbilang sangat tenang. dia sama sekali tidak panik dan bahkan masih bisa berpikir dengan jernih. Tidak ada kecurigaan apapun, bahkan tak ada yang mempertanyakan kehadirannya disana.
“Kau sengaja memancingnya kemari?” hardik Tn Sanjaya kepada Raga yang baru saja keluar dari ruangan Jea untuk mengantar gadis itu.
“Aku hanya berpikir bahwa dia adalah obat terbaik untuk Rayden.” Jawabnya.
“Obat terbaik bagi mereka adalah tidak dengan tidak saling mengenal satu sama lain. Paham!” bentak Tn Sanjaya yang langsung berlalu dari sana.
"Tetapi dia mau berbicara. dia berbicara dengan Jea tetapi tidak dengan kita." jawab pemuda itu namun tidak dihiraukan oleh Tn. Sanjaya
Raga mematung untuk sesaat. dia mencoba menelaah kembali apa yang baru saja terjadi. Entah itu adalah kesalahan atau justru adalah hal yang benar dia lakukan. tetapi dia sama sekali tak memihak siapa pun di rumah besar itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments