Aku terus kepikiran mengenai kalimat Zaki tadi.
Kita akan deket terus mulai sekarang.
Aku bertanya-tanya apa maksud kaliamatnya. Namun betapa bodohnya aku malah pergi begitu saja karena mendapati Zaki terus menatapku setelah ia menyelesaikan kalimatnya.
Aku seharusnya bertanya apa maksudnya, namun kenyataannya aku merasa pipiku memanas dan jantungku berdegup kencang. Aku hilang akal sehingga aku malah lari tanpa mengucapkan terimakasih atas bekal sarapan untukku darinya.
Bodohnya lagi, aku meninggalkan kotak makannya disana begitu saja. Setidaknya aku harus mencucinya terlebih dahulu, bukan?
Ah betapa bodohnya diriku ini.
Oh tunggu! Bahkan sampai sekarang aku tidak memberi tau namaku padanya. Ah sudahlah. Suatu hari pasti akan bertemu kembali.
Aku berpikir, apakah aku punya keberanian untuk bertemu dia lagi esok atau nanti?
Aku sibuk dengan pikiranku sendiri dari tadi. Tanpa aku menyadari kondisi disekitarku yang ternyata tengah membicarakanku.
"Ay, kamu udah kenal sama pak Zaki ya sebelum kerja disini?" Tanya Risa yang tiba-tiba menghampiriku.
Pak Zaki? Apa yang dia maksud itu Zaki yang itu?
"Enggak."
"Masa? Kok bisa tadi akrab banget kalian sampe sarapan bareng di kantin bos?" Tanyanya lagi.
Aku hendak menjawab namun suara lain menyambar dari kejauhan.
"Alah paling juga dianya yang gatel." Seloroh seorang yang kuyakini bernama Febi itu.
Mengapa kak Febi bisa berkata demikian?
"Yaudah, Feb, kalo dia gatel kita bisa gatel dua kali lah. Biar nggak kalah sama anak bawang itu." Kata kak Sari menambahi.
Aku menatap pada diriku sendiri. Apa sebenarnya kesalahanku? Mengapa mereka berdua menyerangku tiba-tiba bahkan tanpa alasan yang pasti.
"Jangan pedulikan omongan mereka, Ay. Mereka emang gitu orangnya." Risa berusaha menenangkanku.
"Ck. Takut kalah saing sama anak bawang ya? Bukannya situ cantik?" Kata Kak Mutya yang adalah paling tua diantara kaum muda. Kalau aku, Eva, Risa dan Uci sepantaran. Kak Febi, Kak Sari, kak Elis dan kak Tata, mereka sepantaran juga. Kak Mutya yang paling tua. Tentunya diluar generasi ibu-bapak, atau kakek.
"Cantik topeng mah nggak kepake, kak. Beda sama yang cantik dari dalam. Nggak kayak kedondong, cantik diluar didalam semrawut." Kak Tata ikut menimpali.
Oh, dari sini aku bisa menilai. Kalau kak Febi temannya kak Sari. Sedangkan kak Mutya sekelompok dengan kak Tata. Tidak tahu bagaimana dengan kak Elis.
Kak Febi membulatkan matanya, sorot matanya tergambar kemarahan.
"Hey hey hey! Sudah puas kalian ngobrolnya?" Seru pak Suparman yang entah sejak kapan datangnya.
"Balik kerja!" Kata pak Suparman tegas.
Tak berapa lama, pak Suparman datang menghampiriku.
"Anak lama emang sok-sokan galak biar dibilang keren, ya nggak, Ay?" Kata pak Suparman humor.
Aku berusaha menahan tawaku namun nyatanya tak bisa. Aku terkikik kecil.
"Iya pak, mungkin, hehe.."
"Ya sudah kerja lagi." Pak Suparman pergi dan sekarang Risa kembali mengajakku mengobrol.
"Nanti istirahat sama kita aja. Aku biasa bareng sama Eva sama Uci."
"Iya, boleh."
"Nanti ke Mushola dulu aja baru makan. Kalau makan dulu nanti sholatnya buru-buru."
"Oke."
*****
Aku menaiki tangga untuk menuju Mushola, menyusul Risa dan yang lainnya.
Tiba-tiba seorang berjalan di sebelahku dan menyapa "Selamat siang." Sambil tersenyum manis.
Namun tak menunggu aku membalas sapaannya, dia sudah berlalu cepat.
Aku geleng-geleng tak paham pada tingkahnya yang aneh. Sudahlah, waktu istirahatku tidak cukup jika dihabiskan untuk melamun, atau sekedar memikirkan hal tentang Zaki.
Aku buru-buru menyelesaikan menaiki anak tangga. Kemudian segera menyusul mereka yang sudah lebih dulu menuju tempat wudhu dan mengantri.
Ada begitu banyak keran air, namun tetap mengantri panjang. Iya, tentu saja. Karyawan disini untuk satu shift mencapai sekitar seribu lima ratus orang. Bisa bayangkan bagaimana antrian itu, bukan?
Ya sudah memang begitu. Sekarang hanya butuh kesabaran untuk mengantri dan berhati-hati agar tidak tergelincir oleh lantai keramik yang licin.
*****
"Tadi pak Zaki nyamperin kamu ya waktu mau ke Mushola?" Tanya Uci antusias.
"Ngomong apa dia tadi? Apalagi sama senyum gitu, ah bikin meleleh." Tambahnya lagi.
"Enggg...cuma bilang selamat siang doang. Terus pergi." Jawabku jujur.
"Serius? Ahh.. misterius bangett.. jadi tambah suka." Kata Uci berbinar.
Uci masih heboh sendiri dan bersiap menyerangku ratusan pertanyaan lagi jika Risa tak menyikut pelan perutnya.
"Jangan ngomong mulu. Buruan makan, keburu habis jam istirahat kita." Kata Risa mengingatkan.
Uci mengangguk tanpa suara dan langsung menyendok makan siangnya.
"Jangan terlalu diambil hati omongannya kak Sari sana kak Febi. Mereka emang udah naksir sama direktur muda itu dari pertama kali lihat. Eh, malah kamu yang dekat sama pak Zaki. Mereka pasti kesal banget." Jelas Eva santai.
Pak Zaki? Direktur muda? Jadi itu alasan kenapa aku berada di kantin bos pagi ini? Tapi kenapa Zaki bisa tiba-tiba baik padaku? Apa sebenarnya tujuan dia?
Terang saja kak Sari dan kak Febi begitu iri dan marah. Ternyata Zaki adalah calon direktur.
"Pokoknya kamu tutup kuping deh kalau mereka ngomong. Mereka emang suka cari gara-gara sama anak baru. Gayanya kayak mereka yang paling cantik." Sambung Risa menambahi.
"Cantik apanya? Cantikan juga Uci, ya kan, Ay? hehehe..." Kata Uci penuh percaya diri.
Aku mengangguk mengerti. Aku sudah tidak kaget dengan situasi dimana aku tidak diperlakukan dengan baik oleh orang disekitarku.
"Iya aku paham. Makasih ya kalian udah mau peduli sama aku."
"Kita ada buat kamu. Kamu nggak akan sendiri, Ay. Buat dirimu betah disini. Tekatkan bulatmu."
"Bulatkan tekatmu, Sa. Jangan kebalik-balik kalau ngomong." Protes Uci dan Eva serempak.
"Ah iya itu maksudnya."
Ini bukan seberapa. Dulu teman satu kelasku bahkan menghinaku dan orang tuaku karena aku yang datang ke sekolah menggunakan sepeda. Tapi itu sudah berlalu. Aku malas bahkan hanya untuk mengingatnya.
Dengan aku memiliki Risa, Uci dan Eva dipihakku. Meskipun aku tidak berharap mereka membelaku, setidaknya mereka tidak akan menuduhku yang tidak-tidak.
*****
Aku sudah kembali bekerja. Aku mendengar ada yang membicarakan aku, bisa dibilang memfitnahku. Mereka membicarakan apa yang tidak aku lakukan, bukankah itu dinamakan fitnah? Tapi aku tidak meladeni. Aku membuat telingaku seolah tuli. Biar saja anjing menggonggong.
"Neng kakek mau ngopi dulu, kalau neng udah selesai, bisa bantu-bantu kerjaan kakek." Kata kakek pamitan padaku.
"Iya kek nanti saya bantu kerjakan."
Tak mambalas lagi, kakek langsung berlalu.
Memang benar kerajaanku sudah hampir selesai. Jadi tak lama setelah kakek pergi, aku mengambil alih pekerjaan kakek yang ditinggal ngopi.
Aku mengambil salah satu material. Saat aku menutup kotak penyimpanan, aku mendapati sesuatu tak menapak pada tanah. Secara naluriah aku menyusuri tubuhnya dan mendapati wajah seorang gadis yang menyorot seolah mengawasi kami semua disini. Aku ketakutan. Aku terus mundur hingga aku menabrak sebuah lemari penyimpanan.
Tamat. Aku tak bisa kemana-mana lagi.
Namun aku perhatikan sosok gadis itu tidak bergerak dari tempatnya. Dia diam bahkan bajunya pun tak bergerak walau tertuip angin dari kipas angin diatasnya.
Aku kembali menatap wajahnya, dan dia masih menyorot tajam. Aku ketakutan, tanganku kugunakan untuk menutupi wajahku, seolah dengan begitu aku bisa mengusirnya.
Sepasang tangan menggenggam kedua tanganku, dan menurunkan tanganku secara perlahan.
Jujur. Tanpa aku melihat siapa dia, aku bisa merasakan bahwa sepasang tangan hangat itu milik Zaki. Benar saja, Zaki lagi-lagi muncul saat aku sudah hampir menangis.
"Dia terus ngawasin aku, Zak. Aku takut. Aku takut, Zak." Jantungku masih bergerak tak beraturan. Aku tak berani lagi menatap sosok gadis itu. Aku tak berani.
Zaki menarik tanganku dan membawaku ke bagian lain one piece flow, mendatangi kak Sari dan kak Febi. Disana juga ada kak Mutya, kak Tata dan kak Elis.
"Ehem!" Dehem Zaki terdengar tegas.
Spontan mereka mengalihkan pandangannya, berenti dari aktivitasnya sebelumnya, menatap pada Zaki yang masih menggenggam tangan kananku.
"Kerja tanpa bergosip, bisa?" Tanya Zaki terdengar berwibawa, tak seperti biasanya ketika mengobrol denganku.
Mereka terdiam tak ada yang berani menjawab. Kak Sari dan kak Febi yang tadi terlihat berbinar atas kedatangan Zaki, kini nyalinya menciut. Tak berani menatap.
"Ada yang tidak senang mendengar seorang digosipkan tanpa bukti. Jadi saya minta tolong berhenti bicara yang tidak berguna ketika bekerja!" Kata Zaki tegas.
"Khusus kalian berdua yang bekerja ditahap pertama bagian one piece flow."
Tepat sasaran. Yang dimaksud Zaki adalah kak Sari dan kak Febi. Mereka kicep tak berani mengangkat kepala.
"Kamu yang disebelah kiri. Kamu bisa melihat makhluk astral, kan? Angkat kepalamu. Seharusnya kamu sadar sorot mata gadis itu."
Tanpa kusadari, dan entah sejak kapan, sosok gadis yang aku bilang sedang mengawasi kami, kini dia sudah berada persis di hadapan kak Febi.
Seperti yang Zaki perintahkan, kak Febi mengangkat kepalanya dan langsung terpelonjat ketika berhadapan dengan sosok itu. Kak Febi mundur beberapa langkah, raut wajahnya menandakan dia terkejut dan ketakutan. Dan dua detik berikutnya kak Febi hampir pingsan namun beruntung kak Sari menahan tubuhnya yang hampir jatuh ke tanah.
"Ayri juga bisa melihat gadis itu. Ayri bisa saja menyuruh gadis itu untuk mengganggu kalian. Gadis itu pasti akan menurut." Kata Zaki tetap tegas dan tenang. Namun mereka dan juga aku terkejut bukan main. Mereka sangat kentara bahwa sedang ketakutan.
Terutama aku. Bagaimana bisa aku menyuruh-nyuruh makhluk astral? Apa sebenarnya yang sedang dibicarakan oleh Zaki? Apa itu hanya sebuah gertakan untuk mereka?
"Kembali bekerja!" Perintah Zaki.
Setelah memberikan perintah, Zaki kembali menarikku ke posisiku bekerja.
"Saya belum pernah menyebutkan nama saya." Kataku setelah Zaki melepaskan tanganku. Aku penasaran bagaimana dia bisa tahu namaku.
Aku berubah menyebut kata sapa menjadi saya, setelah sedikit banyak aku mendengar bahwa sebenarnya Zaki adalah calon direktur. Aku akan tetap hormat padanya, seperti bagaimana yang lain menghormatinya.
"Nggak susah untuk cari tau siapa namamu."
Benar juga. Dia kan direktur, melihat data kami adalah bukan masalah besar.
Aku terdiam untuk beberapa detik. Aku sendiri bingung harus berkata apa. Atau apa yang harus aku lakukan.
"Terimakasih untuk sarapannya. Terimakasih untuk yang tadi. Dan maaf tadi pagi saya meninggalkan tempat bekal yang masih kotor."
"Nggak masalah." Kata Zaki tenang.
Aneh. Dia benar-benar bisa mengendalikan diri dengan baik. Dia berubah kembali lembut setelah kembali ke tempat aku bekerja. Berbeda sekali dengan tadi saat berhadapan dengan kak Febi.
"Sekali lagi, terimakasih, Pak Zaki."
Zaki tersenyum miring. Dia membungkuk dan menyelipkan selipat kertas pada tanganku dan menggenggamkan tanganku.
"Panggil aku Zaki aja. Aku geli dengar kamu panggil aku pak. Aku masih belum setua itu."
Lagi-lagi Zaki pergi begitu saja tanpa permisi. Apa jangan-jangan dia sedang balas dendam karena aku meninggalkannya di kantin tadi pagi? Ah sudahlah tak usah dipikirkan lagi. Toh tak ada alasan untuk dia agar tetap tinggal.
Aku membuka lipatan kertas yang diberikan Zaki tadi. Kemudian aku membacanya.
Weekend nanti ada waktu luang nggak? Aku ajak kamu jalan-jalan, mau?
*****
Yuhuu... Apakah ini jalan-jalan biasa? Atau akan jadi jalan-jalan yang mengesankan?
Silahkan tuliskan pendapat kamu di kolom komentar. Dan jangan lupa klik suka. Terimakasih...see yaa...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments