PART 3 - LISTRIK PADAM

Sepulang bekerja kami kembali berjalan ramai-ramai sambil berceloteh tentang pengamalan hari pertama ini. Ada yang langsung dapat teman, ada yang bercerita bahwa pekerjaannya menyenangkan, ada yang bercerita bahwa memiliki rekan yang tidak ramah, sampai ada yang mengatakan 'kerjaku sama orang ganteng. Seneeeeng banget. Bikin semangat kerja.'

Mampir ke warung makan yang tadi pagi kami kunjungi, kami mengantri panjang. Ternyata warung ini sangat ramai. Beberapa kali lipat lebih ramai dari tadi pagi. Ternyata warung favorit.

Begitu giliran kami, kami yang sudah mendapat bungkusan nasi menunggu yang lainnya diluar warung agar tidak mempersempit ruang warung makan itu.

Ahh... Aku baru merasakan perasaan bagaimana lelahnya bekerja. Ini saja aku masih dalam masa training dan belum diberikan tugas berat, apalagi kalau aku sudah benar-benar karyawan perusahaan itu nantinya? Lelah... Kakiku terasa hampir patah karena berdiri selama delapan jam, selama jam kerjaku.

Dan sekarang sedikit banyak aku paham lelahnya orangtuaku selama bekerja untuk menghidupi kami sekeluarga. Ah aku jadi ingat Mama dirumah yang jauh dariku. Juga rindu Papa yang bekerja di luar kota. Aku akan menelpon nanti setelah aku mandi dan makan. Badanku sudah lengket karena berkeringat ssharian. Dan cacing diperutku sudah berteriak meminta asupan nutrisi.

*****

Mengobrol dengan Mama lewat sambungan telepon ternyata malah membuatku menjadi rindu. Semakin rindu. Memang aku sudah biasa melakukan apapun sendiri, tidak manja, memang dilatih untuk mandiri. Tapi berada di tempat yang berbeda dengan keluarga tetap saja rasanya berbeda. Rasanya ada yang kosong. Namun inilah pilihanku. Aku harus tetap disini meraih mimpiku.

Tunggu! Mimpiku bukan untuk menjadi pekerja. Namun dengan bekerja aku bisa mulai meraih mimpiku. Nanti di lain waktu akan aku ceritakan apa cita-citaku. Setidaknya butuh mengumpulkan modal, bukan? Modal finansial juga modal mental.

"Ay, main gitar lagi gih, biar nggak sepi sepi banget ini kost-kostan. Kayak rumah tak berpenghuni sih ini." Kata Fara yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Dia baru hendak makan. Setelah pulang tadi memang aku dulu yang mandi. sementara dia memang masih berlama-lama bermain handphone.

"Kan kamu masih mau makan, Fa."

"Emang. Terus kenapa?"

"Nanti yang nyanyi siapa?"

"Ya kamu lah, Ay. Biasanya kalau bisa main gitar suaranya juga udah pasti bagus. Ya kan?

"Nanti dulu deh, aku masih mau_"

Tok tok tok.

Suaraku terpotong oleh suara ketukan pintu.

"Apa?" Tanya Fara yang bingung kenapa aku tak menyelesaikan kalimatku.

"Ada yang ngetuk pintu, kan?"

"Hah? Masa? Aku nggak dengar tuh." Balas Fara dengan mulut penuh makanan.

"Ih, ada, Fa. Kamu sih nggak dengar. Aku buka pintu dulu. Paling juga teman-teman mau main." Aku bangun dari dudukku dan berjalan mendekati pintu. Aku memegang gagang pintu, menarik perlahan dan pintu terbuka.

Aku celingukan karena tidak ada orang disana.

"Siapa? Siapa yang ngetuk pintu barusan?" Aku sedikit berteriak. Namun tetap tak ada jawaban.

"Siapa sih? Jangan bercanda dong." Kataku lagi.

"Siapa, Ay?" Tanya Fara yang sudah berdiri didekat ku.

"Nggak tau. Nggak ada siapa-siapa." Jawabku. Aku berjalan masuk lebih dulu. Tak lama kemudian Fara ikut masuk dan kembali menutup pintu.

"Masa sih nggak ada siapa-siapa tadi?" Tanya Fara penasaran.

"Tapi aku juga nggak dengar ada yang ngetuk pintu loh, Ay." Sambung Fara.

"Aku dengar, Fa. Ah paling orang iseng." Jawabku acuh.

Setelah aku selesai berucap, pintu kembali diketuk.

Tok tok tok.

Aku geregetan dan langsung membuka pintu dengan cepat.

"Ay, ajarin aku main gitar dong." Kata Sasi yang langsung berkata setelah pintu terbuka.

"Kamu ngapain sih pake ngerjain segala." Kataku kesal.

"Kenapa tadi abis ngetuk pintu pake ngumpet dulu?" Kataku lagi.

"Hah?" Sasi terlihat bingung. Apa mungkin yang tadi itu bukan Sasi? Atau dia sedang ekting?

"Aku baru kesini loh, Ay. Aku nggak ngerjain kamu." Dari tatapannya terbaca bahwa dia sungguh-sungguh. Tidak ada kebohongan.

Lalu siapa tadi yang mengetuk pintu? Ah paling teman yang lain.

Tak ingin membuat takut Sasi dan Fara yang tengah menatapku menyelidik, aku langsung mempersilahkan Sasi masuk.

"Yaudah yuk masuk dulu. Fara masih makan."

Pet. Gelap. Baru aku ingin melangkah masuk tiba-tiba listrik padam.

Sasi sempat berteriak karena kaget.

Seketika penghuni kos-kosan ini keluar semua, mencari penerangan.

Aku meminjam ponsel milik Sasi dan mencari keberadaan ponselku sendiri didalam kamar. Aku tidak membawanya tadi.

"Duh kenapa mati lampu segala sih? Mana gelap banget gini persis di tengah hutan. Cari warung yang dekat dimana coba?" Gerutu salah seorang. Aku tak bisa melihat jelas siapa yang berbicara karena gelap.

"Aku tau disebelah kost-kostan sebelah ada warung. Ayo beli lilin." Salah seorang lain menimpali.

Seperti sudah biasa berorganisasi, beberapa orang berangkat ke warung dan sebagian lainnya tetap tinggal dan hanya menitip untuk membelikan lilin.

Tiba-tiba perasaanku manjadi tidak enak. Tiba-tiba aku merinding seperti ada yang meniup tengkukku.

Aku memilih duduk di teras saja bersama Sasi dan Fara. Sasi dan Fara masih menggerutu kenapa lampu tiba-tiba mati.

Aku tidak terlalu fokus pada pembicara mereka selanjutnya. Karena fokusku saat ini pada sesosok tak menapak tanah yang baru saja lewat tanpa permisi. Tanpa sadar aku memajukan diriku untuk memperhatikannya dan sadar bahwa dia menghilang setelah masuk ke lorong dekat kamar ujung.

Kost-kostan disini setiap kamar ada sekat diteras masing-masing. Jadi tidak langsung bisa melihat sosoknya jika aku tidak memunculkan kepalaku ke luar tembok pembatas.

Dia tak menapak? Dan menghilang?

Keringat dingin keluar tanpa aku sadari. Pohon-pohon bergoyang tertiup angin. Angin semakin dan semakin kencang.

Semua pohon bergerak bergoyang mengikuti arah angin. Namun ada satu pohon yang tetap diam tak bergerak bahkan daunnya pun tidak bergerak sedikitpun.

Itu pohon mengkudu. Pohon yang paling tinggi dari pohon yang lainnya.

Coba pikirkan. Bukankah semakin tinggi pohon itu maka akan semakin diterpa angin? Namun dia tidak. Dia tetap tenang. Mengapa bisa seperti ini? Itu juga yang masih aku pertanyakan.

Jantungku berdebar tak menentu. Ada apa denganku? Mengapa dalam satu hari ini aku sudah melihat penampakan dua kali. Apalagi ini sedang mati lampu. Suasana di sekitarku terasa begitu mencekam padahal jelas-jelas Sasi dan Fara masih berbincang dan bergurau tak jauh dari aku berdiri. Kenapa?

"Ay. Ayri!" Sentak mas Andi yang entah sejak kapan berada di depanku, menggoyangkan bahuku. Dia bilang aku tak menyahut walau dipanggil berkali-kali. Baru tersadar setelah mas Andi mengguncangkan bahuku pelan.

"Ay, kamu kenapa? Ada yang sakti? Atau ada apa?" Tanya Sasi tercetak aura kecemasan. Fara pun ikut mendekat.

"Ay." Panggil mas Andi lagi karena aku masih sedikit belum sadar penuh. Entah kenapa pikiranku melayang entah kemana aku pun tak tau.

"Aku nggak papa kok, Sas." Jawabku memaksakan senyum.

"Mas Andi harusnya jaga disini. Kenapa lama banget baru kesini?"

"Maaf, Ay. Aku tadi lagi beli makan. Penjaga juga butuh makan, kan?" Mas Andi berusaha bergurau.

"Mas,_"

"Aku udah tahu." Potong mas Andi seraya menutup mulutku dengan jari telunjuknya. Kemudian mengisyaratkan untuk membicarakan ini nanti. Disini masih ada Fara dan Sasi.

"Tahu apa mas?" Tanya Fara mengernyitkan kening.

"Tahu kalau mati lampu. Makanya aku buru-buru balik tadi."

"Aih, kirain tahu apaan." Balas Fara terlihat agak kecewa.

"Yaudah aku ambil lilin dulu ya, Ay." Pamit Fara.

"Iya."

Sasi pun ikut meninggalkan aku dan mas Andi hanya berdua.

"Mas,"

"Ay, tolong jangan kasih tau siapapun ya." Mas Andi terlihat memohon.

"Aku tagu kamu takut. Aku yang jaga disini jadi aku juga tagu ada apa aja didalam sini. Disini ada aku, Ay. Kalau kamu takut kamu bisa cari aku. Tapi tolong jangan sampai bikin mereka ketakutan."

"Apa kalau aku cari mas Andi berarti aku akan aman? Apa mas Andi punya kekuatan untuk menjauhkan mereka dari aku?"

Mas Andi menggeleng.

"Kenapa mas Andi nggak bilang aja ke yang punya kost kalau tempat ini berhantu." Seketika mulutku dibekap kuat oleh tangan mas Andi.

"Tolong, Ay. Aku nggak mau nutup-nutupin maslaah ini. Tapi aku juga nggak mau kasih tau mereka. Yang aku mau, biar mereka tau dengan sendirinya nanti."

Aku menghela napas berat.

"Aku ngerti, mas." Kataku pada akhirnya. Walau masih banyak pertanyaan yang masih belum aku tanyakan pada mas Andi, namun aku membiarkan pembicaraan ini berakhir begitu saja sebelum Sasi dan Fara mendengar pembicaraan ini.

Aku menatap sekeliling untuk mengalihkan pandanganku dari mas Andi. Dan apa yang aku temukan? Seorang dengan rambut panjang berbaju putih tengah duduk diatas genting. Seperti sedang memperhatikan kami semua. Walau tak terlihat jelas aku bisa pastikan bahwa wajahnya tidak cantik lagi. Wajahnya kemungkinan hancur atau mungkin berlumuran darah. Lagi-lagi dia makhluk astral.

Menyadari aku yang terus menatap satu titik fokus, mas Andi ikut memandang arah pandangku. Ketika mas Andi menemukan apa yang aku lihat, sesosok itu berbalik menatap ku. Seperti tidak senang.

Aku lemas. Kakiku terasa tak punya kekuatan untuk menumpu berat badanku. Aku semakin berkeringat akibat ditatap makhluk astral yang bisa dibilang jelek itu. Aku merasakan mas Andi menopang badanku dari samping. Dan setelah itu semua gelap. Aku tak sadarkan diri.

*****

Diatas genting kost-kostan cuyy... Gimana perasaan kalian kalau mengalami kisah kayak Ayri? Yuk ceritakan kisah menyeramkan kami di kolom komentar. Jangan lupa klik suka dan kasih dukungan dengan memberi tip/vote ya teman-teman. Terimakasih sebelumnya. See yaaa...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!