Belum habis air mata ini menangisi kepergian Ayah dan Jingga ditambah kasus pembunuhan itu pun belum mendapat titik terang karena polisi sulit menemukan bukti-bukti pembunuhan. Polisi sudah menyisir setiap sudut rumah tua itu tapi nihil tidak ada satupun bukti yang merujuk pada seseorang.
Semakin hari ibu semakin sakit-sakitan, jantungnya semakin lemah, dan ibu selalu menangis lalu ia tertawa juga sering sekali berteriak-teriak memanggil ayah dan Jingga. Kerjaanku berantakan, aku dipecat dari perusahaan tempatku bekerja karena aku selalu absen. Aku tidak punya pilihan lagi selain aku harus tetap di rumah, karena aku khawatir dengan keadaan Ibu yang seperti ini, bahkan Ibu tidak pernah berbicara denganku, seolah yang dia ingat hanya Ayah dan Jingga.
Sempat waktu itu ibu keluar rumah sambil berlari dan teriak-teriak mencari Ayah dan Jingga. Tak terduga ibu membawa pisau dan mengacungkannya ke setiap warga komplek yang akan membantu Ibu. Beruntung Pak Rw di komplek kami bisa menenangkan Ibu, dari sanalah awal aku selalu absen dari kantor.
Tapi hidup harus terus berjalan,aku harus menghasilkan uang untuk kehidupanku dan Ibu. Kalaupun aku kerja, aku harus bekerja di rumah, tapi apa yang harus aku lakukan. Disamping itu aku harus mengungkap kasus yang menimpa ayah dan adikku.
"Aku sudah geram dengan laki-laki itu tapi aku tidak tahu siapa dia, dimana alamatnya, bahkan wajahnya pun aku tak tahu," gumamku.
Hari demi hari keadaan Ibu makin memprihatinkan. Warga yang datang ke rumahku selalu mengeluh kalau ibu mengganggu ketenangan komplek rumah warga, sampai Pak RW datang ke rumahku.
"Nak Senja, tanpa mengurangi rasa hormat saya selaku ketua Rw disini, mau memberikan pilihan kepada nak Senja," ucap pak rw.
"Pilihan, maksud bapak apa?" tanyaku.
"Tentang Ibu Tari yang meresahkan warga komplek ini, sebaiknya Nak Senja dan Ibu Tari pindah dari komplek ini atau nak Senja menitipkan Bu Tari ke rumah sakit jiwa, karena disana Ibumu akan mendapat perawatan dari tenaga ahli, kebetulan saya tahu dokter yang biasa merawat pasien seperti ibumu," terang Pak Rw.
"Ya Allah Pak sebegitu mengganggunya Ibuku disini sampai kami diusir dari komplek ini? dan apa Ibuku orang gila Pak sampai harus dititipkan di rumah sakit jiwa? mana empati kalian kepada keluarga kami Pak, Bapak tau Ayah dan adikku baru saja meninggal dunia, apa aku sendiri tidak terpukul pak?" cecarku.
"Begini Nak Bapak dan semua warga sungguh prihatin melihat kondisi keluarga kalian ditambah perekonomian kamu juga sedang kalut kan karena kamu tidak bekerja. Jika Bu Tari dirawat di rumah sakit, Bu Tari akan mendapatkan pengobatan dengan baik dan kamu bisa bekerja dengan tenang," jelas Pak Rw.
"Apa tidak apa-apa Pak kalau aku titipkan ibu di rumah sakit jiwa?" tanyaku lirih.
"Ini demi kebaikan Ibumu juga, kamu mau Ibumu terus begini?" tanya beliau.
"Aku mau ibu sembuh pak,aku udah gak punya siapa-siapa lagi di dunia ini pak," aku menangis sejadi-jadinya.
"Kalau begitu kamu setuju Ibumu dirawat di rumah sakit? tenang Bapak akan jamin Ibumu pasti cepat sembuh karean Dokter ini memang sudah terkenal menyembuhkan luka batin seperti yang Ibumu alami, kalau kamu setuju Bapak akan membantu titipkan Ibumu kepada dia "
"Makasih Pak, Bapak mau membantu keluargaku. Tapi aku masih bisa bertemu dengan Ibu kan Pak?"
"Tentu saja, kamu harus sering bertemu dengan Ibumu dan ceritakan tentang kebahagiaan padanya agar Ibumu bisa cepat sembuh," ucap Pak Rw menenangkanku.
Keesokan harinya, Ibu dan aku pergi ke rumah sakit diantar Pak Rw. Sebenarnya aku masih tidak tega membiarkan Ibu sendiri di rumah sakit jiwa, tapi aku bertekad Ibu harus sembuh dan aku harus bekerja untuk membiayai perawatan Ibu disana.
Sesampainya disana Pak Rw langsung membawa Ibu ke ruang dokter yang bertuliskan nama Dokter Sandi Bagaskara.
Ia langsung memeriksa Ibu tanpa menanyakan keluhan apa yang Ibu alami, dan setelah diperiksa akhirnya Dokter Sandi memberitahuku kalau Ibu harus menjalani perawatan disana sampai keadaan ibu benar-benar baik dan sembuh.
"Dok apa yang sebenarnya terjadi sama ibu?" tanyaku.
"Ibumu mengalami shock trauma yang berlebih, makanya dia tidak ingat kamu dan beliau hanya mengingat kejadian terburuk sebelum ingatannya hilang," jawab dokter Sandi.
"Sampai kapan ibu bisa mengingat kembali semuanya dok?" timpalku.
"Ini tergantung kemauan dari dalam diri ibumu, makanya saya akan membantu ibumu dengan terapi dan obat-obatan," terang dia.
"Apa biayanya mahal dok?" aku bertanya dengan lirih.
"Yang saya tau perawatan seperti ini menghabiskan biaya 10 juta dalam sebulan," ungkap Dokter itu sambil merapihkan alat kerjanya.
"10 juta dok?" tanyaku kaget.
"Sudah-sudah kamu jangan kaget, untuk bulan ini ada sumbangan dari warga komplek sebesar 12 juta, kamu bisa pakai untuk biaya perawatan ibumu," ucap Pak Rw.
Aku gak bisa berkata apa-apa lagi, aku berjanji akan giat bekerja dan menjadi sukses. Aku akan membalas kebaikan orang-orang yang telah baik pada keluargaku.
"Terimakasih Pak, aku gak tahu harus bilang apa."
"Ya sudah ini kamu terima uangnya dan segera bayarkan biaya perawatan ibumu."
"Baik Pak," ucapku sambil berlari menuju ruang administrasi.
Sesampainya di ruang administrasi.
"Mbak, aku mau bayar biaya perawatan atas nama ibu Tari Ningsih," ucapku.
"Ini yang shock trauma yah, ini untuk biaya perawatan kamar, obat dan terapi selama 1 bulan sebesar 10 juta," ucap Mbak itu sambil menyerahkan secarik kertas.
"Oh iya biaya sewaktu-waktu akan berubah apabila pasien membutuhkan pemeriksaan lanjutan," sambungnya.
"Iya Nbak, ini uang 10 juta untuk bulan ini, oh iya ini nomor telpon saya, saya minta tolong kalau ada apa-apa dengan ibu saya tolong kasih tahu saya ya Mbak,nama saya Senja," ucapku.
"Iya ini tanda bukti pembayarannya, dan saya akan menghubungi Mbak kalau terjadi sesuatu dengan ibu Mbak," jawabnya sambil menyerahkan bukti pembayaran padaku.
Setelah selesai semuanya, aku kembali ke ruangan dokter dan ternyata Ibu sudah dipindahkan ke ruang perawatan.
Aku sedih melihat kondisi Ibu seperti itu, dan aku harus meninggalkannya seorang diri, tapi ini semua demi kesembuhan Ibu, semoga Ibu bisa berusaha untuk sembuh.
Sebelum pulang aku memeluk Ibu dan menangis dipelukannya, sampai Ibu tertidur dengan lelap dengan wajah yang tenang.
"Dok, aku titip ibu disini ya tapi aku akan datang setiap hari untuk menjenguknya, oh iya ini nomor telpon aku kalau ada apa-apa tolong hubungi aku ya Dok," pintaku.
"Kamu jangan khawatir, saya akan berusaha menyembuhkan Ibumu," ucap dokter baik itu.
"Aku permisi dulu Dok," aku pamit dengan mata yang menahan tangis.
Dokter itu mengangguk dan tersenyum seakan meyakinkanku bahwa Ibu akan baik-baik saja.
Akhirnya aku meninggalkan rumah sakit itu dengan derai air mata yang tak bisa ku tahan lagi.
Apa dokter Sandi akan mengembalikan senyum ramah Ibu lagi seperti dahulu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Kadek
lanjut kk
2020-07-13
1
Angela Jasmine
Semangat 👍👍
2020-07-13
1
TereLea(♥ω♥ ) ~♪
Sedih ya 😶
2020-06-24
0