"Menakutkan! kau mengerikan Arthur! bagaimana bisa kau menang dan memonopoli semua properti kami?" tanya Halbert yang ngeri melihat banyaknya properti dan uang yang diperoleh Arthur.
"Permainan ini sudah dimenangkan olehku," jawab Arthur dengan bangganya.
Stanley melempar kartu kartu properti didepan Arthur. "Kau benar-benar licik Arthur, kembalikan kartu bebas penjaraku," pinta Stanley dengan nada tinggi.
Arthur tersenyum licik. "Kak Stanley, bagaimana bisa aku mengembalikannya? tadi sudah aku tukarkan dengan salah satu propertiku bukan?" balas Arthur.
Wah senangnya melihat mereka tampak menikmati permainan monopoli ini. Ronde pertama permainan dimenangkan oleh Arthur. Sifat licik dan tidak mau kalahnya itu memang mengerikan.
Arthur tersenyum senang melihatku. "Jewel adikku, kau benar-benar luar biasa! Kakak sangat senang kau membuatkan permainan ini untuk kami," ucap Arthur sambil mengelus pelan kepalaku.
Diikuti oleh Halbert yang menepuk pundakku. "Jewel meski aku kalah, tapi aku akui permainan ini benar-benar sangat bagus untuk melatih pemikiran kami bertiga. Kerja bagus! " puji Halbert.
"Zwetta Ellaria Luksemburg, bangganya kakak punya adik sepertimu..uhhhh..gemeshhh," ucap Kak Stanley seraya mencubit pipiku.
Ku senang tulus kok buat kalian happy, ga minta dipuji ceunah.
"Hehehe..syukurlah, kakak-kakakku menyukai permainan ini. Melihat kalian senang, Ella juga sangat senang kakak," ucapku sembari tersenyum.
Permainan pun dilanjutkan, tak terasa malam semakin larut. Aku pun mulai mengantuk dan tanpa kusadari aku tertidur.
"Jewel, berikan uangnya," pinta Halbert.
"Sssshhhhhhhhhh...dia sudah tertidur Halbert," ucap Stanley.
Stanley beranjak dari kursinya dan menggendongku yang sudah tertidur lelap ke atas kasur dibantu oleh Arthur dan Halbert yang menyelimutiku. Mereka bertiga memberikan kecupan selamat malam dikeningku.
"Selamat tidur Jewel."
"Kalian juga harus tidur sekarang," ucap Duke yang tiba-tiba berjalan masuk ke kamar.
"Ayah!" sahut mereka bertiga dengan gembira. Mereka bertiga berlari memeluk Duke. Duke mengelus kepala masing-masing putranya dan memeluk mereka bertiga sekaligus.
"Ssshhhhhhh!! jangan terlalu kuat suaranya nak, nanti Ella terbangun," ucap Duke.
Mereka bertiga menganggukkan kepala dan tertawa pelan. Stanley tiba-tiba mulai meronta dalam pelukan Duke.
"Ayah sudah cukup gendongnya. Ayo lekas turunkan aku, aku sudah bukan anak kecil lagi," pinta Stanley.
"Hahahahaha...ayah lupa Stanley sudah mulai beranjak dewasa, apakah Stanley sudah tidak mau ayah peluk?" tanya Duke menggoda Stanley.
Pipi Stanley memerah. "Bu..bukan be..begitu ayah.." jawabnya kikuk.
"Saat kalian sudah dewasa, ayah sudah tidak bisa menggendong kalian seperti ini lagi. Jadi ayah sangat menikmati saat-saat dimana ayah dapat menggendong kalian dengan erat seperti ini," ujar Duke seraya tertawa pelan menatap ketiga putranya sendu.
Duke mengeratkan pelukannya pada ketiga putranya. Arthur terlebih dulu membalas pelukan Duke.
"Aku sayang ayah," ucapnya pelan.
Halbert tidak mau kalah, dipeluknya Duke dengan eratnya, "Aku juga sangattt sayang ayah," sambungnya.
Sambil menggaruk-garuk pelipisnya, lama-lama Stanley juga ikut memeluk Duke. "A..a..aku sangat sangat menyayangimu ayah. Maafkan aku," ungkapnya.
Tiba-tiba Duchess masuk kedalam kamarku. "Jadi hanya ayah kah saja yang kalian sayangi ?" tanyanya seraya tersenyum sedih.
"Bukan begitu Ibu," ucap Stanley. "Maksudku kami berempat dan ayah sangat mencintai ibu," imbuhnya.
Duke, Arthur dan Halbert mengangguk setuju. Duchess tersenyum lebar dan berjalan mendekati Duke lalu memeluk mereka berempat.
"Ayah, kami akan selesaikan permainan ini sekali lagi, setelah itu kami akan tidur," ucap Halbert sambil menunjuk alat main monopoli diatas meja belajarku.
Duke dan Duchess melihat sekilas lalu mengangguk. "Baiklah kalau begitu, ayah dan ibu akan melihat Ella sebentar," ujar Duke.
Duke dan Duchess pun melepas pelukan mereka dan membiarkan ketiga putra mereka kembali melanjutkan bermain. Ketiga kakakku melanjutkan menyelesaikan permainan. Sementara Duke dan Duchess berbaring sebentar dikasurku. Keduanya membelai lembut surai putri bungsu mereka.
"Ardolph, bibi Joy mengatakan padaku bahwa tadi Ella hendak menemuimu."
"Iya istriku, Morgan tadi ada mengatakannya juga padaku. Aku sedang emosi tadi. Tidak mungkin aku memperlihatkan sisiku itu pada Ella."
Duchess yang mengerti perangai suaminya pun berhenti menanyainya lagi. Setelah mencium pipi si bungsu, Duke dan Duchess hendak kembali ke kamar tidurnya.
Stanley, Arthur dan Halbert menceritakan bagaimana adik bungsu mereka membuat permainan ini. Sama seperti mereka, Duke dan Duchess juga sama tercengangnya.
Mereka berlima saat itu sepakat untuk menjadikan permainan itu sebagai salah satu aset keluarga Luksemburg. Duke dan Duchess pun kembali ke kamarnya seusai memastikan keempat anaknya telah tidur.
"Aku bersyukur memiliki putri yang sangat cantik, berbakat dan pintar seperti Ella. Tapi disisi lain, aku juga sangat mengkhawatirkannya," ungkap Duke khawatir.
"Suamiku, aku juga memiliki kekhawatiran sepertimu. Semoga Dewa Agung Yeshua senantiasa akan menjaga keluarga kita," jawab Duchess berusaha menenangkan Duke.
****
Malam itu aku bermimpi. Aku berada didepan ruangan kerja ayahku, melihat Morgan tengah berbicara dengan seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam. Ia juga menggunakan penutup muka hitam yang hanya menyisakan matanya saja.
Saat pria berjubah hitam itu keluar, aku pikir aku akan ketahuan. Namun, ternyata tidak! Pria misterius itu berjalan melewati aku tanpa menyadari aku ada disana. Saat ia keluar, aku melihat warna matanya.
Setelahnya, aku melihat Morgan memegang dada sebelah kirinya lalu muntah darah. Aku sangat terkejut, kakiku bergetar tanpa henti dan serasa aku tidak bisa menggerakkan sedikitpun badanku.
Belum selesai kejadian itu. Tiba-tiba adegan berpindah pada keesokan paginya. Saat Duke menemukan mayat Morgan, Duke sangatlah murka. Ia memukul dengan keras dinding diruangan kerjanya hingga hancur.
Setelah hari itu, Duke memutuskan agar kami sekeluarga harus tidur dalam satu ruangan yang sama untuk memastikan keselamatan kami semua.
Terlihat malam itu, aku tiba-tiba bangun hendak buang air kecil dan saat aku kembali ke kamar, aku syok melihat Duke, Duchess dan ketiga kakakku sudah tidak bernyawa.
Wajahku pucat, seketika aku menutup mataku dan menangis dengan sejadi-jadinya. Apa ini ? apa ini kenyataan? tidak..aku tidak mau mereka mati, aku tidak mau keluargaku mati mengenaskan seperti ini.
Ayahku itu Sang Duke Luksemburg yang sangat kuat, tidak mungkin ia dapat dibunuh begitu saja kecuali orang yang membunuhnya adalah salah satu pemilik Unique Magic atau sejenisnya?
Kejadian mengerikan ini terjadi satu minggu sebelum Duke berangkat ke wilayah utara untuk berperang. Entah bagaimana aku mengetahuinya dalam mimpi ini.
Saat aku tengah berpikir, tiba-tiba saja ada yang mendekat dari arah belakangku. Aku refleks berlari menghindar, namun ia menarik kerah bajuku dan mencekik leherku. Cengkramannya begitu kuat hingga aku hampir kehabisan nafas.
"Tidakkkkk!!!!!!" aku berteriak sekencang-kencangnya. Seketika aku terbangun dari mimpi yang sangat mengerikan itu dan aku menangis.
Bajuku basah oleh keringat dingin. Mendengar teriakan dan tangisanku, ketiga kakakku yang belum lama terlelap tidur juga ikut terbangun.
"Jewel, kau kenapa adikku?" tanya Stanley panik. Ia belum pernah melihat adik perempuannya menangis sekencang ini.
"Apa ada yang sakit Jewel? tanya Arthur khawatir.
"Kau pucat sekali Jewel, Halbert cepat ambilkan air putih," pinta Arthur. Halbert mengangguk dan bergegas mengambilkanku air putih.
Stanley memelukku, Arthur mengelus kepalaku berusaha menenangkan aku yang masih menangis sesenggukan. Tak berapa lama kemudian, Halbert sudah datang membawakan segelas air.
"Jewel, tenangkan dirimu. Minum air ini dulu," ucap Halbert sambil mengelus pipiku.
Aku meminum air putih sedikit demi sedikit dan berusaha menenangkan diriku. Aku tatap wajah mereka satu persatu. Tidak! aku tidak sanggup kehilangan mereka. Tapi apa yang harus aku lakukan? aku bingung...
Aku merutuki diriku yang rasanya begitu bodoh. Kenapa di saat kritis begini otakku yang kata orang-orang pintar dan jenius malah ga berguna?! kejadian itu benar-benar membuatku terpukul.
Keluarga ini sangat berharga bagiku, mereka telah banyak memberiku cinta kasih yang tak pernah aku dapat di kehidupanku sebelumnya.
Aku tidak bisa membiarkan mereka semua mati. Kalau saja aku yang mati, aku takkan sebegitu depresinya. Asalkan mereka baik-baik saja, aku benar-benar rela membiarkan diriku mati lagi.
Siapa si bede**h yang mau merusak kebahagiaan keluargaku?! pertanyaan itu terus yang terucap dalam pikiranku. Setiap memikirkan mimpi itu, membuat darahku mendidih karena amarah.
Setelah sekitar lima belas menit aku menangis, aku mulai tenang dan berhenti menangis. Ketiga kakakku tidak berhenti berusaha menenangkan dan menghiburku. Arthur dan Halbert yang melihatku menangis sesenggukan juga lama-lama ikut menangis.
"Sudah..sudah..ada kakak disini, kalian jangan menangis lagi," ucap Stanley berusaha menenangkan kami bertiga. Setelah menangis beberapa lama, tiba-tiba aku hanya termenung seolah jiwaku menghilang dari ragaku.
"Jewel.. Jewel.. Jewelll !!!" teriak Stanley.
"Jewelll !! apa yang terjadi padamu?! jawab kakak Jewel !!!" teriak Arthur panik sembari mengenggam tangan adik bungsunya itu.
"Ti-dakk Jewel ! Jewell !! sadarlah! sadarlah Jewel !" teriak Halbert sambil menggoyang-goyangkan badan adiknya.
"Hal-bert ce-pat panggilkan a-yah dan i-bu!" pinta Stanley dengan tergagap takut."
- To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
<<[]©®Gu Han®©[]>>
keren
2021-02-26
1