Siang itu Silvi sedang duduk santai di ruang tamu sambil membaca sebuah majalah. Rendi dan Radit pun datang menghampirinya.
“Hei, Sil! Sendiri aja?” Tanya Radit.
“Iya, nih. Si Bella lagi beresin baju. Besok kan kita udah pulang”
“Sil, gue ingin bicara sesuatu sama loe. Tapi loe jangan bilang ke siapa-siapa ya?” ujar Rendi.
“Bicara aja, Ren!”
“Gue mau tahu pendapat loe mengenai buku yang di temukan si Bella di kamar terlarang itu. Loe percaya gak sama buku itu?”
“Mana ada sih buku bisa manggil Kuntilanak,” jawab Silvi.
“Gue mau buktiin buku itu, Sil”
“Mending jangan, kalau ternyata buku itu bisa memanggil kuntilanak, gimana?”
“Yaelah, sekarang jaman modern. Nanti gue traktir Shopping deh!” ujar Rendi.
“Gimana ya? Boleh deh. Tapi, bukunya kan di si Bella"
“Loe ambil diam-diam aja Sil dari si Bella. Loe kan sekamar!” Ujar Radit.
“Terus loe mau nyoba di mana?”
“Itu mah gampang, yang penting ada bukunya, Sil!”
Malam yang mereka tunggu pun tiba. Di saat Bella sedang tertidur pulas, tanpa sepengetahuannya, Silvi mengambil buku aksara jawa kuno itu secara diam-diam dan langsung menghampiri Rendi dan Radit yang sudah menunggunya di ruang tamu.
“Gimana Sil? Dapat bukunya?”
“Nih bukunya, Ren!” ujar Silvi.
“Loe, ngerti gak cara ngegunain nya, Ren?” Tanya Radit.
“Gue juga belum ngerti, Dit. Ya udah, kita coba di sini aja"
“Loe yakin?” tanya Silvi.
“Iya gue yakin. Lagi pula ini buku bualan zaman dulu aja. Kayaknya seru kalau di coba” jawab Rendi.
Mereka bertiga memulai ritual untuk memanggil Kuntilanak itu diruang tamu. Namun, di saat Rendi mau membuka buku itu, tiba-tiba angin kencang datang menghampiri mereka.
“Mending batalin aja, deh!” ujar Silvi cemas.
“Tenang aja, Sil. Gak perlu cemas gitu, kan ada gue disini, hehe,” ujar Rendi.
“Coba, Sil. Loe kan ngerti sama tulisannya.”
“Disini di tuliskan caranya, tahap pertama siapkan sebuah cermin,” Saat itu mereka bingung karena sama sekali tidak memiliki cermin.
“Cermin dari mana? Loe punya gak, Sil?”
“Punya sih, tapi cermin make up. Ukurannya kecil banget"
“Oh ya, gue baru ingat. Kata si Bella, di kamar terlarang itu ada sebuah cermin tua. Kita pakai cermin itu aja,” ujar Radit.
"Tapi, kan. Kamar itu di kunci sama Pak Darso"
"Yaudah tenang aja" Ujar Radit.
Secara diam-diam Radit pergi menuju kamar Pak Darso untuk mencari kunci kamar terlarang itu. Dengan hati-hati Radit mengambil kunci kamar terlarang itu tepat di dekat ranjang tidur Pak Darso. Saat itu Pak Darso sedang tertidur pulas.
Setelah mendapatkan kuncinya. Radit langsung bergegas pergi untuk mengambil sebuah cermin tua dari dalam kamar terlarang itu.
Sesampainya di ruang tamu.
“Gimana cermin nya. Besar, kan?” ujar Radit.
“Ide loe bagus juga, Dit!”
“Loe berani banget, Dit. Masuk ke kamar terlarang itu,” ujar Silvi.
“Emang kenapa, Sil? Kan yang gue takutin bukan kamar terlarang itu, melainkan Pak Darso. Terus tahap selanjutnya?”.
“Buatlah bintang di dalam sebuah lingkaran,”
“Sil, punya lipstik gak?”
“Punya, tapi ada di tas gue"
“Ya, udah. Ambil aja, Sil!” ujar Rendi.
Tak lama kemudian, Silvi kembali dari kamarnya dengan membawa lipstik miliknya. Segera Rendi membuat sebuah bintang di dalam lingkaran dengan lipstik itu.
“Gimana, Lumayan besar kan, gambarnya?”
“Selanjutnya apa lagi?”
“Pasanglah tiga lilin di setiap ujung bintang hingga membentuk segitiga" Setelah memasangkan lilin yang mereka dapatkan dari dapur, mereka segera melanjutkan ke tahap selanjutnya.
“Duduklah di depan setiap ujung lilin dan hadapkan cermin menghadap kepala bintang.” Saat itu mereka benar-benar bingung dengan petunjuk yang ada di dalam buku itu. Tapi setelah di cermati, mereka berhasil mendapatkan posisi yang tepat.
“Terus apa lagi, Sil?”
“Ucapkan mantra, kalian ikutin apa yang gue ucapin,” Silvi segera merapal kan mantra yang ada di buku aksara jawa kuno itu.
“Di malam satu suro. Rintihan mu menggema. Rintihan ku memanggilmu. Bangkitlah! Bangkitlah! Bangkitlah!” ucap Silvi diikuti kedua temannya.
Namun, setelah mereka mengucapkan mantra itu, tak ada satu pun tanda-tanda kemunculan Kuntilanak.
“Kok, gak ada reaksi apa-apa?” Tanya Radit.
“Gimana kalau kita coba sekali lagi?”
“Tapi, Ren. Firasat gue gak enak”
“Loe tenang aja, Sil” bujuk Radit. Mereka mengulang mantra itu.
"Di malam satu suro. Rintihan mu menggema. Rintihan ku memanggilmu. Bangkitlah! Bangkitlah! Bangkitlah!”
Kali ini mereka merasakan ada yang berbeda. Langit yang di terang bulan, berubah menjadi hitam kelam dan angin pun berhembus kencang menyelimuti mereka. Bahkan, cermin yang di genggam Radit pecah dengan sendirinya. Mereka pun di landa kecemasan.
“Kenapa, Ren?” tanya Silvi.
“Gue juga gak tahu, Sil”
Malam itu angin berhembus begitu kencang hingga mengganggu ritual mereka. Tapi tak lama kemudian, angin kencang itu pun menghilang dengan sendirinya.
“Mana, Kuntilanaknya?” ujar Radit.
“Jangan bicara sembarangan loe, Dit!” ujar Silvi.
“Kita di sini cuma buang-buang waktu. Gue udah ngantuk. Ternyata buku ini cuma bualan aja,” ujar Rendi.
“Tapi, Ren. Kalau ternyata Kuntilanak itu benar-benar muncul?” Tanya Silvi.
“Loe tenang aja, Sil. Gue gak percaya dengan namanya hal-hal mistis. Apa lagi hal-hal kayak yang tertulis di buku ini” jawab Rendi.
Radit, Rendi dan Silvi pun memutuskan untuk pergi dan menyudahi ritual itu. Namun, sebelum pergi, mereka menghapus lingkaran yang telah di buat dan Radit mengembalikan cermin tua yang sudah pecah ke kamar terlarang itu.
Akan tetapi, setelah Radit pergi dari kamar terlarang itu, tanpa di sadari, sesosok Kuntilanak yang sudah puluhan tahun tersegel di dalam cermin tua itu pun akhirnya terbebas.
Setelah ritual selesai, Radit memutuskan untuk pergi ke kamar mandi terlebih dahulu. Sedangkan Rendi dan Silvi langsung pergi menuju kamar.
"Habis dari mana loe, Ren?"
"Gue habis dari kamar mandi sama si Radit"
"Yaudah tidur aja lagi, sudah malam!"
***
Disisi lain.
Sesampainya di dalam kamar mandi. Radit merasa kepalanya begitu sakit. Seakan-akan seperti tertimpa benda yang begitu berat. Seluruh tubuhnya begitu lemas. Perutnya begitu mual dan seketika darah segar keluar dari lubang hidungnya.
“Darah?” tegas Radit resah.
keanehan pun terjadi lagi, tiba-tiba kaca kamar mandi yang berada tepat di hadapannya perlahan-lahan retak dengan sendirinya.
Malam itu Radit benar-benar cemas. Tubuhnya terasa panas seperti terbakar. Dengan menahan rasa panas dari dalam tubuhnya, Radit mencoba memutar keran yang berada tepat di hadapannya.
Radit terus membasuh kepalanya dengan air agar rasa panasnya hilang. Namun, meskipun air dingin sudah menyirami seluruh kepalanya. Radit masih tetap merasa kepanasan. Akhirnya malam itu Radit pun pingsan tak sadarkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Shella Saelani
di sini ada pesta..pesta kecil kecilan
2022-12-03
1