Chapter 5

Bianca merenggangkan tangannya, makalahnya itu masih setengah pengerjaan. Perutnya mendadak lapar, Bianca meraih dompet berwarna baby blue yang berada tidak jauh darinya. Hanya ada tiga lembar seratus ribu, padahal ini masih pertengahan bulan. Ia menghela napas panjang, uangnya menipis dan persediaan mie instan-nya habis. Belum lagi, ia harus mengirim uang untuk Ibunya. Bianca menghempaskan tubuhnya ke sardaran kursi, kepalanya menengadah menatap langit-langit kamar.

Sudah dari lama Bianca ingin mendaftar beasiswa, namun nilai indeks prestasinya selalu jauh dari kata baik. Seberapa keras dirinya usaha, rasanya ia memang salah jurusan. Alhasil Bianca keteteran membayar uang kuliah dan pengobatan Ibunya. Bianca membuang napasnya kasar, ia harus bagaimana sekarang.

Bianca melirik kalender yang berada di atas meja belajarnya. Detik selanjutnya, senyumnya itu mengembang. Besok hari Minggu, itu artinya ia tidak mungkin pergi ke kampus. Bianca menegakkan duduknya, ia menyambar benda pipih yang tergeletak di dekatnya. Tangan Bianca menari - nari di atas keypad layar ponsel.

Pak Galak : Pak, besok hari Minggu. Makalahnya saya kumpulkan hari Senin, ya, Pak.

Selesai. Mulai minggu besok Bianca akan mencari pekerjaan sampingan. Ia bangkit dari kursinya lalu mengambil jaket yang berada di dalam lemarinya. Bianca butuh ke mini market untuk membeli beberapa mie instan, perutnya sedari tadi demo minta diisi. Sekalian cari angin di taman kota, mengingat gang indekosnya itu dekat dengan taman kota.

"Mau kemana, Bi?" tanya Rian, tetangga kos Bianca.

"Mau cari angin bentar, Bang. Sekalian cari mie instan," balas Bianca dengan senyuman tipis.

Rian merogoh saku celana, lalu menyerahkan kunci motor kepada Bianca. "Ini pakai motor gue aja."

Bianca menggeleng, ia tidak enak dengan Rian. Laki - laki itu beberapa kali membantunya. Rian sudah seperti Kakaknya sendiri. "Nggak usah, Bang. Cuma ke mini market sama taman kota aja. Sekalian olahraga," tolak Bianca halus.

Rian manggut - manggut. "Ya udah kalau gitu lo hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa chat gue aja," ucapnya.

"Siap, Bos," balas Bianca. Rian mengelus puncak kepala perempuan itu gemas.

Bianca berjalan menyusuri gang indekosnya yang lumayan sepi. Ia mengeraskan volume headset yang dirinya kenakan, sesekali bibirnya bersenandung lirih mengikuti bait lagu yang mengalun indah di telinganya. Sampai di depan gang, Bianca berbelok ke arah kanan dimana mini marketnya berada dari sana.

Bianca menyusuri rak berisi mie instan. Setelah memasukkan ke dalam keranjang belanjaannya, ia langsung menghampiri meja kasir. Bianca mengambil selembar uang seratus ribu dari dalam dompetnya lalu menyerahkan ke arah penjaga kasir.

"Makasih, Mbak," ucap Bianca. Tangan kanannya menenteng tas keresek, sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk mengeratkan jaketnya. Karena udara malam itu sangat dingin.

Bianca menyeberang jalan ke arah taman kota. Ia mengedarkan pandangannya mencari tempat duduk, alih-alih menemukan kursi taman yang kosong, mata Bianca justru menangkap dua orang yang berdiri tidak jauh darinya. Agam dan Marsha. Marsha itu salah satu sahabatnya di kampus selain Abel. Bianca juga sempat bercerita kepada Marsha dan Abel perihal rasa sukanya dengan Agam, dan kedua sahabatnya itu mendukung dirinya.

Tetapi lihat sekarang, Marsha menusuknya dari belakang. Kecewa? Ya, Bianca sangat kecewa dengan sahabatnya satu itu. Di saat dirinya sedang menatap Marsha dan Agam, suara bariton yang sangat familiar di telinganya itu menginterupsi kegiatannya.

"Bianca?"

Bianca kontan menoleh ke arah sumber suara. Ia menggerutu, tidak hanya di kampus sekarang di luar kampus dirinya harus bertemu dengan si Galak.

Arsen mengikuti arah pandang Bianca, kernyitan samar terbit di keningnya. Ia bisa melihat laki-laki yang bersama Bianca siang tadi bersama perempuan. "Itu bukannya pacar kamu?"

Bianca mendengus kemudian menggeleng pelan. "Itu bukan pacar saya, Pak."

"Terus kenapa kamu sedih?" tanya Arsen seraya manatap lekat wajah manis Bianca.

Bianca menatap sendu ke arah pemandangan di depannya. "Saya habis di khianati sahabat saya, Pak. Sahabat saya dekat dengan gebetan saya."

"Makanya jangan terlalu percaya sama orang, sekali pun itu sahabat kamu." Bianca diam, tidak mendebat dosen galaknya. Karena ia sadar, apa yang di katakan pria itu benar. Dirinya terlalu percaya dengan sahabatnya, dan terlalu berharap dengan Agam.

"Saya bodoh, ya, Pak?" gumam Bianca pelan.

"Nah, itu kamu sadar," balas Arsen dengan wajah tanpa dosa.

Asem. Bianca melirik ke arah Arsen dengan tatapan kesal.

Bianca terhenyak ketika Arsen menariknya pergi, ia berusaha memberontak. Namun cekalan tangan Arsen sangat kuat. "Bapak mau bawa saya kemana?"

Arsen diam, tidak menanggapi pertanyaan dari Bianca. Ia meminta perempuan itu duduk di salah satu kursi taman. "Kalau nggak suka liat mereka berdua, lebih baik pergi."

Bianca membuang napasnya kasar, kemudian ikut duduk di samping Arsen. Ia menatap ke arah pria di sampingnya yang saat ini sedang menatap kolam ikan. "Pak," panggilnya pelan. Arsen berdeham sebagai jawaban.

"Apa Bapak pernah merasakan patah hati?" tanya Bianca penasaran.

Arsen kontan mengalihkan atensinya ke arah Bianca yang juga sedang menatapnya. Tentu saja ia pernah patah hati. Matanya menerawang jauh saat Seina meninggalkannya pergi karena mengejar impiannya menjadi pianis terkenal. Arsen tidak bisa menahan wanita itu untuk pergi, ia membiarkan Seina pergi walau hatinya sangat sakit.

Saat Arsen akan membuka suara, mulutnya mengatup rapat membentuk garis tipis saat mendengar gumaman pelan Bianca.

"Oh iya, Pak Arsen kan nggak pernah dekat sama perempuan," gumam Bianca pelan. "Jangan - jangan Pak Arsen gay."

Bagus sekali. Masih satu hari, sudah dua orang yang mengatakan jika dirinya gay. Tadi siang Mamanya, sekarang mahasiswi bandelnya. Tangan kanan Arsen terulur menjitak kepala mahasiswinya pelan.

Pletak!

"Sakit, Pak," rintih Bianca. Tangannya mengelus puncak kepala bekas jitakan Arsen. "Bapak KKM," deliknya.

Arsen mengernyit tidak mengerti, "KKM?"

Bianca masih meringis. "Kekerasan Kepada Mahasiswi."

Arsen memutar bola matanya jengah. "Saya hanya membersihkan otak kamu yang tercemar. Saya itu masih normal." Detik berikutnya seringaian terbit di bibir tipis Arsen. "Apa kamu perlu bukti kalau saya tidak gay?" Arsen mendekatkan tubuh dan wajahnya ke arah Bianca dengan seringaian setannya.

Mata Bianca melebar, tangan kirinya menggenggam erat kantung keresek. Semakin Arsen mendekat, ia semakin menjauhkan tubuhnya dari pria itu. "Bapak mau ngapain? Jangan macam-macam, Pak."

"Saya hanya ingin membuktikan jika ucapan kamu salah." Arsen semakin mengikis jarak antara keduanya.

Gawat! Siaga tiga!!

Bianca menatap horror ke arah Arsen. Saat jarak semakin dekat, ia langsung mendorong keras kedua bahu Arsen hingga pria itu jatuh terduduk di atas rerumputan. "M-maaf, Pak," ucapnya merasa bersalah.

Arsen meringis kesakitan, ia menatap marah ke arah Bianca. "Bantu saya berdiri," titahnya. Rasanya pinggangnya itu remuk. "Pinggang saya sakit gara - gara kamu."

Bukan salah Bianca, itu salah dosennya sendiri. Siapa suruh dekat - dekat dengannya. Bianca tertawa kecil, matanya menunjukkan sorot geli. "Ternyata usia tidak bisa di bohongi ya, Pak," sindirnya.

"Apa? Kamu bilang saya tua?!" tanya Arsen tidak terima.

Bianca mengedikkan bahunya. "Saya tidak bilang kalau Bapak tua," ucapnya. Bianca membantu Arsen duduk kembali ke arah kursi. Pria itu masih memegang pinggangnya seraya meringis kesakitan.

Keduanya terdiam cukup lama. Arsen dan Bianca sibuk dengan pikirannya masing-masing. Disela-sela pikirannya, Bianca baru ingat sesuatu, ia menatap ke arah dosennya. "Pak. Besok hari Minggu," katanya memecah keheningan.

Arsen menaikkan sebelah alisnya. "Terus kenapa? Kamu mau ajak saya kencan?"

Astaga demi tuhan. Bianca baru tahu jika dosennya itu sangat narsis sekali. Di balik wajah kaku seorang Arsen Megantara, siapa sangka jika pria itu memiliki sifat narsis maksimal.

"Saya kumpulkan makalahnya besok Senin, ya, Pak? Kampus tutup kalau hari Minggu," lanjut Bianca.

"Kalau saya bilang besok, berarti besok wajib kamu kumpulkan." Arsen menatap mahasiswinya dengan tatapan tajam. "Nanti saya kirim alamatnya di WhatsApp."

Badan Bianca terkulai lemas. Pulang dari taman, ia harus lembur. Semoga saja, Arsen tidak menahannya besok. Bianca ingin mencari pekerjaan part time.

"Iya, Pak," balas Bianca.

"Jangan lelet, kalau lelet saya tidak segan memberi hukuman tambahan," ancam Arsen.

Bianca berdecak sebal. Dosa apa dirinya memiliki dosen menyebalkan macam Arsen.

Terpopuler

Comments

DeputiG_Rahma

DeputiG_Rahma

salam kenal dari DEBU ORBIT
like like untuk mu thor❤

2020-12-03

0

Santi Ariyani

Santi Ariyani

semangat thor, lanjutkan,

2020-11-01

1

Dedeck AZza

Dedeck AZza

sampai sini dulu ya bacanya 🙏🙏🙏

rate 5 kudaratkan kakak

salam dari AKIRA

2020-10-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!