Hening. Hanya terdengar suara merdu Ed Sheeran yang mengalun dari tape serta suara hujan yang memenuhi mobil. Bianca menatap keluar kaca mobil, hujan siang itu sangat deras. Ia menghembuskan napas panjang, hujan mengingatkan dirinya pada kenangan masa lalunya yang sangat pahit.
Tiba - tiba matanya berkaca-kaca, ia berusaha menahan buliran air mata yang siap jatuh membasahi pipinya. Bianca tidak ingin terlihat lemah di hadapan Arsen. Lagi pula, tidak seharusnya ia mengingat kenangan pahit yang tidak pantas untuk dirinya ingat lagi.
"Ck...." Suara decakan pria di sampingnya, kontan membuat Bianca mengalihkan atensinya dari kaca mobil ke arah Arsen.
"Kenapa, Pak?" tanya Bianca dengan alis bertaut bingung.
"Macet," balas Arsen singkat tanpa menatap mahasiswi bengalnya itu.
Bianca menatap ke depan, dan benar saja mereka terjebak macet. Aish, tinggal di ibu kota pasti tidak lepas dengan yang namanya macet. Tetapi masalahnya, ia sangat lapar sekarang. Tadi pagi, dirinya memang absen sarapan karena tidak ingin terkena semprotan si setan, siapa lagi bukan Arsen. Tetapi tetap saja, hari ini ia tetap terkena semprotan mulut cabe dosen galak itu.
"Bianca." Suara tegas itu menyadarkannya dari lamunan. Mendengar Arsen memanggilnya, entah kenapa bulu kuduknya langsung berdiri. Aura serta suara pria itu selalu menunjukkan sinyal negatif.
Bianca menoleh ke arah samping kanannya, dimana Arsen berada. Pria itu menatapnya dengan sorot mata tajam menusuk, dan itu sukses membuat kedua tangannya dingin. Perasaannya yang tidak enak, kini semakin menjadi.
"Dari sisi mana saya galak? Sampai kamu panggil saya si Galak," tanya Arsen dengan mata menyipit.
M*mpus. Bianca harus menjawab apa? Ia kira Arsen tidak mendengar atau masa bodo dengan obrolannya bersama Agam dua jam yang lalu. Nyatanya, pria itu justru bertanya kepadanya. Kalau tahu akan begini, seharusnya ia menolak pulang bersama Arsen.
"Kenapa diam?" Arsen memiringkan tubuhnya, membuat pria itu bisa menatap Bianca sepenuhnya.
Bianca menggigit bibir bawahnya, perempuan itu terlihat gusar. Bianca bingung harus menjawab apa, otaknya mendadak blank. Bagai buah simalakama, kalau ia menjawab jujur dirinya tidak bisa menjamin pulang dengan selamat. Mungkin saja dosen killer itu akan membuangnya ke rawa - rawa. Kalau ia berbohong, pasti dosen killer itu akan mencecarnya. Serba salah.
Kruyuk.
Kedua sudut bibir Arsen berkedut, pria itu menahan tawanya. Sorot mata elangnya yang tajam itu berubah menjadi sorot geli. Sedangkan Bianca, mendengus kesal. Di sisi lain Bianca senang karena suara perutnya, dirinya terbebas dari pertanyaan Arsen. Tetapi di sisi lainnya lagi ia malu setengah mati, rasanya ia ingin mengubur dirinya hidup - hidup. Wajahnya memanas, menahan malu.
"Kalau Bapak mau tertawa tidak usah di tahan," ucap Bianca sedikit kesal. Kedua matanya kontan membelalak kala mendengar suara tawa membahana Arsen. Ia yang awalnya membuang muka, kini menatap dosennya itu tidak percaya. Pria itu benar - benar tertawa, rasanya ia ingin melempar sneakers-nya ke kepala Arsen.
Tapi detik selanjutnya, Bianca tertegun. Matanya menelisik wajah tampan Arsen, baru kali ini Bianca melihat pria itu tertawa. Karena setiap kelas wajah Arsen selalu kaku.
Mata dosennya menyipit seiring dengan gelak tawa yang terdengar dari bibir tipis pria itu. Tidak lupa kedua lesung pipi yang tadinya tidak terlihat, kini tampak menghiasi kedua pipi Arsen. Hal itu menambah kadar manis seorang Arsen Megantara. Dosennya itu juga memiliki bulu mata lentik dan hidung yang mancung bak perosotan, dan itu sukses membuat Bianca iri.
"Tutup mulut kamu, saya takut ada lalat yang masuk," kata Arsen setelah berhasil menghentikan tawanya. Pria itu kembali fokus dengan kemudi, karena jalan sudah tidak macet seperti tadi. "Saya tahu kalau saya tampan, tapi jangan tatap saya seperti itu."
Tercyduck.
Bianca ingin berkata kasar, namun hanya sampai tenggorokan saja. Ia memilih membuang muka, menatap keluar kaca mobil.
"Rumah kamu dimana?"
"Indekos saya ada di jalan mawar, Pak," balas Bianca singkat, enggan menatap wajah Arsen. Ia yakin jika pipinya itu masih memerah.
Saat berada di perempatan jalan, Arsen membelokkan mobilnya ke arah kanan jalan. Bianca kontan menoleh ke arah pria itu, "kok belok ke kanan, Pak? Seharusnya kan belok ke arah kiri."
Arsen hanya diam, tidak menanggapi pertanyaan yang mahasiswi bandelnya itu lontarkan. Menyadari jika dosennya itu mengacuhkannya, Bianca berdecak. Butuh stok sabar yang sangat banyak jika berbicara dengan dosen galaknya.
Tak berselang lama mobil range rover hitam milik Arsen berhenti di kedai soto pinggir jalan. Pria itu melepas seat belt-nya lalu menatap Bianca yang masih diam di tempat. "Ayo, turun. Kita makan dulu," perintahnya.
"Pak, tapi—"
"Saya tidak mau membuat anak orang mati kelaparan, apa lagi kamu anak kosan," kata Arsen tegas, menunjukkan jika ucapan pria itu tidak ingin di bantah.
Bianca menghela napas panjang, tidak ada pilihan lain selain menuruti dosen galak. Ia melepaskan seat belt-nya, namun nihil. Bianca tidak bisa melepas seat belt itu, sepertinya macet. Melihat Mahasiswinya yang kesulitan melepas seat belt, Arsen memajukan tubuhnya. Ia berinisiatif membantu Bianca, namun....
Plakk.
"Kamu kenapa tampar saya?" tanya Arsen dengan intonasi yang meninggi.
Bianca melotot, perempuan itu menatap ke arah Arsen waspada. "Bapak kenapa dekat - dekat dengan saya? Jangan macam - macam sama saya, Pak. Saya ini juara silat di kampung," balas Bianca ikut meninggikan intonasi suaranya.
Arsen menatap Bianca sinis. "Saya hanya ingin membantu kamu melepas seat belt. Kamu jangan geer, kamu itu bukan tipe saya."
Untuk kedua kalinya, Bianca malu. Pipinya memanas, perempuan itu berdeham berusaha menetralkan rasa malu dan gugup yang menyergapinya. Arsen kembali mendekat, perlahan ia berusaha melepaskan seat belt Bianca.
"Sudah," kata Arsen, pria itu kembali menjauhkan tubuhnya lalu keluar dari mobil meninggalkan Bianca yang mematung.
Sadar jika Arsen meninggalkannya, Bianca segera turun menyusul pria itu. Ia tidak menyangka jika dosennya itu mengajaknya makan di pinggir jalan, mengingat Arsen bisa di bilang kaya tujuh turunan. Bianca tidak tahu pasti dengan gosip itu, teman - temannya yang termasuk fans Arsen mengatakan jika pria itu sangat kaya.
"Kamu sampai kapan berdiri di situ? Ayo, masuk," perintah Arsen tidak terbantahkan. Bianca mengekori pria itu masuk ke dalam kedai soto.
Selagi menunggu pesanan, keduanya sibuk dengan ponsel masing - masing. Hingga suara Arsen memecah keheningan.
"Jarak kos kamu sama kampus jauh, kenapa nggak cari yang dekat saja?"
Bianca yang tadinya fokus dengan ponsel di tangan kanannya, kini beralih menatap Arsen. Perempuan itu menghela napas panjang. "Kalau dekat mahal, Pak. Saya harus hemat karena saya merantau disini. Lagi pula makanan disini juga mahal berbeda sama di kampung saya." Arsen manggut - manggut.
Drrtt... drrtt....
Bianca menyalakan ponselnya, begitu melihat caller ID yang tepampang di layar ponsel. Keningnya berkerut samar, ia menatap Arsen meminta izin untuk mengangkat telepon. Setelah pria itu setuju, Bianca bangkit dari duduknya lalu berjalan menjauh.
Arsen menatap kepergian mahasiswinya. Tidak sampai sepuluh menit, Bianca kembali. Tetapi ada yang membuat Arsen heran, kenapa mahasiswinya itu tampak muram? Siapa yang menelepon Bianca sampai membuat wajah perempuan itu menjadi kusut?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Jangkar Muda
baguss,,semangat,,
2020-11-26
1
Dedeck AZza
masih Nyimak
2020-10-08
1