Bianca baru saja menerima panggilan dari Ibunya yang berada di kampung, beliau mengatakan jika uang yang dirinya kirim dua Minggu yang lalu sudah habis untuk berobat. Ya, Ibunya itu sakit. Sebenarnya Bianca tidak tega meninggalkan Ibunya di kampung, tetapi wanita paruh baya itu keukeuh memintanya untuk kuliah. Karena sebelumnya, ia pernah cerita kepada Ibunya jika dirinya ingin kuliah dan bekerja di kantoran. Untung saja, tetangganya itu mau di mintai tolong untuk merawat Ibunya.
Tetapi ketika ia sudah berkuliah, rasanya ia salah jurusan. Di tambah lagi dosennya itu malaikat berhati iblis macam Arsen, membuatnya tidak betah di jurusan akuntansi. Namun Bianca tidak boleh menyerah begitu saja, dirinya harus bisa membanggakan Ibunya. Karena hanya wanita paruh baya itu yang dirinya miliki sekarang.
Masalahnya sekarang, ia butuh uang untuk biaya kuliah dan pengobatan Ibunya. Seminggu yang lalu dirinya di pecat, dan Minggu terakhir ini jadwalnya padat karena tugas dari Arsen. Alhasil dirinya belum bisa mencari pekerjaan part time.
Bianca tertunduk lesu, kepalanya mendadak pening. Ia memijat pelipisnya, setelah merasa lebih baik, dirinya kembali menghampiri Arsen. Bianca mendudukkan dirinya berseberangan dengan si Galak, di depannya sudah ada se-mangkuk soto dan es jeruk. Biasanya Bianca bersemangat jika makan gratis, tetapi kali ini rasanya ia tidak napsu makan. Ia menatap soto itu tanpa minat.
"Makan," titah Arsen, seraya menatap Bianca dengan mata elangnya.
Bianca hanya mengangguk lemah, ia menyuapkan makanannya perlahan. Di kepalanya sibuk memikirkan bagaimana caranya ia mendapatkan pekerjaan part time dengan cepat. Hingga suara bariton itu menyentaknya dari lamunan.
"Kenapa, Pak?" tanya Bianca, menatap balik dosennya.
Arsen menatap mahasiswi bandelnya itu gemas. Pasalnya sudah sepuluh menit berlalu, namun Bianca masih makan beberapa suap. Mungkin karena telepon itu, membuat mahasiswi-nya tidak berselera untuk makan. Arsen ingin bertanya tentang siapa yang menelepon Bianca dan kenapa perempuan itu tampak murung. Tetapi Arsen mengurungkan niatnya, karena itu bukan urusannya.
"Kalau makan jangan lelet," kata Arsen, "atau kamu mau saya suapi?"
Mata Bianca melebar mendengar perkataan Arsen, perempuan itu kontan menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak usah, Pak. Saya bisa makan sendiri." Bianca menyuapkan makanannya dan mengunyahnya dengan cepat.
"Jangan terlalu cepat, nanti tersedak." Baru saja Arsen mengingatkan, Bianca terbatuk karena tersedak. Arsen dengan sigap menyodorkan Es jeruk ke arah perempuan itu, Bianca pun menerimanya kemudian meneguk minumannya hingga tersisa setengah.
"Saya kan sudah bilang, jangan terlalu cepat," sahut Arsen, sedangkan Bianca mendengkus.
"Tapi tadi Bapak bilangnya saya lelet," balas Bianca tidak mau kalah.
Arsen menghela napas panjang, ia malas berdebat. Dirinya memilih diam, tidak menanggapi mahasiswinya. Arsen kembali fokus dengan ponselnya.
Bianca menatap kesal ke arah Arsen, ia mendumel. Di mata dosen galaknya itu, dirinya selalu salah. Memang benar kata Abel, Dosen selalu benar dan mahasiswa selalu salah. Bianca kembali menyuapkan soto ke dalam mulutnya dengan perasan dongkol.
***
Arsen fokus dengan kemudinya, sedangkan Bianca sibuk memainkan ponselnya. Perempuan itu masih kesal dengan Arsen.
"Jangan lupa, besok kumpulkan makalahnya di ruangan saya jam sembilan. Saya tidak mentolerir keterlambatan, kalau kamu terlambat mengumpulkan makalahnya, saya tidak segan menambah hukuman untuk kamu, Bianca," terang Arsen sesekali mencuri pandang ke arah Bianca yang berada di sampingnya.
Bianca memejamkan matanya, kemudian menghembuskan napasnya pelan. Berusaha mengontrol emosinya yang siap meledak, Arsen dan sikap perfeksionisnya. "Iya, Pak."
Memasuki gang jalan mawar, Arsen memelankan mobilnya. "Kos kamu sebelah mana?"
"Bapak lurus saja, kos saya masih sedikit jauh," jawab Bianca sembari fokus memperhatikan jalan.
Keduanya kembali diam, tidak ada pembicaraan hingga mata Bianca menangkap rumah tidak terlalu besar bercat cream. "Nah, itu indekos saya, Pak," celetuknya sembari tangan kanannya terjulur menunjuk rumah minimalis itu.
Arsen menatap rumah itu dengan kening berkerut. "Kamu tinggal di kos-kosan kumuh seperti ini?!" ucapnya tidak habis pikir.
Mata Bianca berkilat tajam, "mentang - mentang Bapak kaya, Bapak tidak bisa seenaknya bilang kos - kosan saya kumuh." Kos-kosan Bianca tidak kumuh, hanya saja halaman depan itu tidak terawat. Di tambah lagi cat rumahnya sudah sedikit luntur.
Melihat raut kesal di wajah Bianca, Arsen membuka mulutnya ingin membalas perkataan mahasiswi bandelnya namun ia kembali mengatupkan mulutnya.
"Terima kasih tumpangannya, Pak Arsen. Saya pastikan makalahnya sudah ada di meja Bapak tepat waktu." Setelah mengatakan itu, Bianca turun dari mobil tanpa menunggu balasan Arsen.
Arsen bungkam, ia melihat Bianca yang berjalan memasuki pekarangan kos dengan raut kesal. Dirinya termenung, apa ucapannya keterlaluan?
Arsen mengedikkan bahunya, lalu mulai melajukan mobilnya. Di tengah perjalanan, ponselnya itu berdering. Ia merogoh benda pipih itu di saku celananya, dirinya menepikan mobilnya sebelum menerima panggilan telepon.
Arsen menatap ponselnya yang berkedip, ia menatap caller id-nya. Mengetahui jika Mamanya yang meneleponnya, Arsen kontan berdecak sebal. Pasti Mamanya itu akan menjodohkan dirinya dengan teman wanita paruh baya itu.
"Halo, Ma," sapa Arsen.
"Halo, Sayang. Kamu bisa pulang kan hari ini. Mama sama Papa kangen, jangan di apartemen terus," ucap Karin—Mama Arsen— dari seberang.
"Mama kangen atau Mama mau jodohin Arsen sama teman Mama?" tanya Arsen kemudian menghela napas panjang.
"Ini demi kebaikan kamu, Sen. Mama ingin kamu segera menikah," terang Karin.
Nah, kan. Arsen sudah menduganya jika Mamanya itu akan menjodohkan dirinya dengan anak teman wanita paruh baya itu lagi. Mamanya tidak pernah menyerah menjodohkan dirinya, padahal Arsen sudah berkali - kali menolak. Entah ini sudah ke berapa kalinya Karin menjodohkannya. Maka dari itu, ia memilih tinggal di apartemen menghindari Mamanya. Tetapi rasanya percuma ia tinggal di apartemen, wanita paruh baya itu tetap mendesaknya untuk segera menikah.
"Sen," panggil Karin.
Arsen mendengus, percuma dirinya menolak untuk pulang. Pasti Mamanya akan terus memaksanya. "Oke, Arsen pulang," putusnya final.
"Oke, Mama tunggu di rumah." Arsen bisa mendengar nada bahagia di perkataan Mamanya. Setelah sambungan telepon terputus, ia kembali melajukan mobilnya membelah jalanan. Arsen mulai memikirkan cara untuk menolak perempuan yang akan di kenalkan Mamanya. Intinya dirinya masih belum ingin menikah.
Demi Tuhan, dirinya masih berusia dua puluh delapan tahun. Tetapi kata Mamanya itu usia ideal untuk menikah, wanita paruh baya itu tidak ingin dirinya terlambat menikah. Namun bukankah lebih baik terlambat menikah, dari pada salah pilih pendamping?
Lagi pula Arsen masih takut mejalin asmara apa lagi sampai ke jenjang serius, dirinya masih takut di tinggalkan seperti wanita itu yang meninggalkan dirinya beberapa tahun yang lalu. Rasa traumanya di tinggal seseorang masih sangat membekas di hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Dedeck AZza
semangat ya
2020-10-08
1