Aku menarik napas panjang, mengembuskan perlahan. Hati ini tak lupa untuk terus beristigfar agar diberi kelapangan seluas samudera. Mas Hendra jauh berbeda sekarang. Sama sekali aku tak terlihat di matanya. Benar-benar mengesalkan.
Tati berjalan mondar-mandir. Menggendong sebelah tangannya dan memegang dagu satunya lagi.
"Kamu bikin aku pusing, Ti," ucapku sembari memijit pelipis pelan.
"Daebak, Mbak. Mas Hendra bisa lengket begitu, yak!" Aku mengangkat wajah. Nuri memukulnya dengan majalah yang tengah ia baca.
"Kamu ini, Mbak. Serius dikit kenapa?"
Aku mengangguk. Tati terlihat kembali berpikir, entah kalimat apa yang akan meluncur dari mulutnya kali ini.
"Padahal dia jauh banget dari kita, yak. Kurus kering begitu, mana pake dipagerin tuh gigi."
"Dia itu cantik loh, Ti."
"Heleh, Mbak. Cantik dilihat dari sedotan air kemasan?"
"Iya, Mbak Las. Kalo dilihat secara fisik emang jauh dari kita. Dandanannya saja gak meyakinkan kalo dia seorang sekertaris."
Mendadak kepalaku pening, banyak yang terpikirkan di sini. Berbagai macam asumsi yang bermain di otakku.
"Ah, sudahlah. Bahas dia nanti saja. Kamu sudah siapkan yang akan dibawa ke rumah Mira, Nur?"
"Sudah, Mbak. Sesuai yang Mbak minta. Bentar lagi orang nyampe," jawab Nuri.
"Kita ke sana naik apa, Mbak? Gak mungkin nyetir sendiri 'kan?" tanya Tati.
"Kita naik mini bus saja. Bisa muat banyak."
Aku sudah memikirkan banyak hal. Pergi ke rumah Mira dengan mini bus saja. Lebih efisien. Mana mungkin kita akan pergi membawa mobil masing-masing, berjalan beriringan selama 4 jam, bukan?
"Terus si Mira sama Mas Hendra naik apa?"
"Mas Hendra naik mobil sama anak-anak. Mira sama kita!" tegasku.
"Bagoos!" ucap mereka serempak.
Mobil pembawa seserahan telah sampai di rumah. Nuri terlihat berbicara serius dengan anak buahnya. Satu truk besar dan mobil untuk membawa semua keperluan lamaran kami. Aku kembali ke belakang. Mencari Hamdan yang belum terlihat di depan.
"Kalian lihat Hamdan?"
"Dia ke belakang tadi, Bu, sama perempuan kurus." Perempuan kurus? Mira kah yang dia maksud?
"Namamu siapa?"
"Nita, Bu."
Aku mengangguk, kemudian menyuruh teman di sebelah Nita untuk memanggil Bi Asih ke sini. Wanita yang masih cantik di usianya yang memasuki 65 tahun berjalan dengan edikit tergopoh.
"Bi, nanti semua karyawan dikasih name tag, ya. Biar saya gak bingung," ucapku diikuti gelak tawa, "oiya, Hamdan ke sana ya?" Kutunjuk tempat yang Nita maksud, ia mengangguk.
Langkahku percepat agar segera menemukan Hamdan. Selangkah lagi aku melewati ambang pintu. Sebelum suara Mira menghentikan langkahku mencari mereka.
"Awas aja sampe buka mulut. Cerita gak-gak sama mbak Lastri. Aku pastiin kamu dipecat. Sebentar lagi aku bakal jadi nyonya di sini."
"Iya, Mbak. Saya janji gak akan cerita apapun sama bu Lastri. Tapi, saya mohon, Mbak. Jangan pecat saya," ujar Hamdan mengiba.
"Aku sih bisa aja gak pecat kamu. Asal tutup mulut dan anggap kita gak saling kenal sebelumnya."
"I—ya, Mbak."
Aku segera bersembunyi di balik pintu. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Aku harus mengoreknya dari Hamdan. Setelah melihat Mira pergi, aku segera menghampiri Hamdan.
"Hamdan?" Hamdan tergagap. Wajahnya berupah pucat. Sesekali ia tersenyum canggung, "Kamu sakit?" Dia menggeleng, "ayo, sebentar lagi kita pergi. Kita naaik mini bus saja."
"I-ya, Bu."
Aku biarkan Hamdan berjalan lebih dulu. Sesekali ia menoleh ke belakang menatapku. Aneh sekali. Langkahku berhenti tatkala melihat Mas Hendra turun dengan membawa koper besar. Apa dia mau pindah? Sesaat kemudian diikuti Mira di belakangnya
"Mas?"
"Aku mau nikah dipercepat. Kalau bisa besok saja."
"Tapi, bagaimana dengan surat-surat numpang nikah yang belum kita urus, Mas?"
Aku berkata jujur. Karena ini hanya sebuah lamaran biasa. Sama sekali tak terpikirkan Mas Hendra akan meminta pernikahannya dipercepat.
"Aku sudah urus semuanya. Surat-surat sudah siap di koperku." Mas Hendra berjalan begitu saja di hadapanku.
"Kamu semobil sama kita, Mir. Mas Hendra sama anak-anak." Aku menoleh, Tati dan Nuri tengah berjalan ke arahku. Kedua sejoli itu menghentikan langkahnya. Mira merengek memegangi lengan calon suaminya.
"Biar dia—" Belum sempat aku menjawab ucapan mereka, Nuri lebih dulu memberi isyarat agar aku diam saja.
"Gak, dia tetep semobil sama aku," ujar mas Hendra keukeuh.
"Iya, Mbak. Aku sama Mas Hendra saja. Kan mobil Mbak penuh," jelas Mira.
"Gak, kamu tetep ikut kita!" Nuri meninggikan nada bicaranya.
"Gak bisa gitu, Nuri!"
Aku menoleh, melihat Tati yang terlihat begitu geram. Layaknya singa yang kelaparan tengah mengintai mangsanya.
"Kenapa gak bisa, Mas?" tanya Tati pada akhirnya.
"Karena aku maunya sama Mira!"
"Gak, Mas! Jika dia semobil sama kamu. Aku batalkan pernikahan kalian!" gretak Tati. Kakinya melangkah dengan cepat merampas koper dari tangan Mas Hendra, "biar kurobek-robek saja surat-suratnya!" murka Tati. Mira nampak ketakutan.
"Iya, Mas. Gak papa aku sama Mbak Lastri," ucap Mira mencoba menenangkan situasi. Aku masih diam. Nuri dan Tati tersenyum yang tidak dapat diartikan.
Di dalam mobil, Mira duduk di sampingku. Sedang Tati dan Nuri mereka duduk di bagian belakang. Gadis bergigi gingsul itu nampak tak nyaman, seringkali mengeser ke kanan dan kiri mengubah posisi. Kadang juga menatap ke arah supir. Hamdan juga terlihat tidak jaub berbeda. Sering kudapati ia mengintip dari kaca di balik kemudi.
"Kamu kenapa, Mir?" tanyaku memastikan.
"Aku gak papa, Mbak. Cuma gerah aja." Mira mengibaskan tangannya. Menatao ke depan lalu mengedarkan pandangannya entah ke mana. Salting?
Kunyalakan AC. Mobil yang kami tumpangi memang sengaja Mas Hendra rancang untuk pergi bersama-sama seperti ini. Agar perjalanan terasa nyaman dan aman kala itu. Untung saja minggu lalu telah diservis. Jadi, tidak begitu khawatir tentang performanya.
"Tau gak, Mir, kamu itu istri ke berapa?" Tati mulai bertanya.
"Tau dong, Mbak."
"Coba istri ke berapa?" Nuri menimpali.
Mira berdecak. "Aku istri kedua Mas Hendra." Aku menutup mulut. Suasana berubah hening sesaat, kemudian tawa Tati dan Nuri tumpah ruah. Aku menoleh ke belakang, mendapati Tati tengah mengguncang bahu Nuri tanpa berhenti. Sesekali ia memegangi perutnya.
"Allah, perutku kram, Nur. Astagfirulloh," ucap Tati disela gelak tawanya.
"Robbi, a—ku yang salah denger apa kamu yang kepedean, Mir?" ejek Nuri.
"Emang bener, 'kan?" terang Mira. Ia mengibaskan rambutnya. "Liat aja, setelah aku jadi istri mas Hendra, gak akan bisa kalian ngetawain aku begini!" sungutnya.
Kembali tawa menggema. Aku hanya bisa menutup mulut sembari menahan agar tidak terbahak melihat tingkah konyol Tati dan Nuri.
"Yakin sekali kamu, Mir," ujar Tati sinis.
"Yakin dong." Mira kembali ke posis semula. Menghadap lurus ke depan, "kita liat saja nanti."
"Kamu ini, Mir. Mereka juga istri mas Hendra," ucapku sambil menatap Mira tajam.
"Gak lucu!" Mira terlihat berang. Wajahnya berubah merah, menatap kami secara bergantian. "Halunya ketinggian kalian." Jemarinya menunjuk pada Tati dan Nuri. Membuat kami tergelak bersama.
"Kamu itu istri keempatnya mas Hendra, Mir!" seru Nuri. Kemudian mereka kembali tertawa.
"Dengerin baik-baik, ya, Cah Ayu." Tati menahan tawanya, menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan, "kamu itu istri ke-em-pat, emm—pat. Aku istri kedua, dan Nuri istri ketiga."
Gemuruh tawa saling menyahut antar kedua maduku yang lepas begitu saja. Meskipun ini bukan hal baik, menertawakan seseorang yang dalam keadaan bingung. Namun memberikan efek begitu besar di dalam sini. Seakan pengganjal itu hilang setelah mengatakan hal tersebut. Kami kembali dibuat geli dengan ekspresi diamnya Mira. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang. Mungkin ada perasaan ingin pernikahannya dibatalkan saja?
Aku mengambil ponsel, diam-diam mengabadikannya. Kutaruh di file tersendiri dalam kartu SD. Astagfirulloh, sekali-kali iseng boleh, 'kan? Toh buat file pribadi, tak disebarkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
tika kartika
gampar aja itu si mira 🤣🤣 blm apa" udah ketus bngtt
2021-07-06
0
Alif Binti Abdullah
baru mulai baca udah bagus,,,lanjut bacanya... semoga sesuai expextasi
2021-05-27
0
erna sutiyana
good tati nuri
klo lastri lemah ya mereka yg strooonggg
2021-04-28
0