2

Mas Hendra berangkat pagi-pagi sekali. Paling juga menemui Mira, terserahlah. Aku tidak peduli. Sesuai kesepakatan semalam di chat grup WA khusus, kedua maduku akan bertandang ke rumah setelah anak-anak pulang sekolah. Kusiapkan segala sesuatunya, dari mulai makanan dan camilan. Tidak lupa memberitahu Bi Asih agar datang lebih awal dan membawa beberapa teman untuk membantu membersihkan rumah. Sangat berharap jika mereka mau untuk menginap.

Kulihat satu persatu kamar yang pernah Tati dan Nuri tempati dulu bergantian. Memastikan jika memang sudah benar-benar bersih. Aku khawatir jika masih ada hal yang berdebu bisa membuat asma anak Nuri kambuh. Di masing-masing kamar tak banyak perubahan. Hanya dekorasi kamar yang disesuaikan dengan keinginan anak-anak.

Aku menuruni tangga. Mengedarkan pandangan kesekeliling. Rumah dengan delapan kamar utama dan dua kamar tamu, begitu mewah juga megah. Hanya ditinggali oleh aku bersama Mas Hendra semenjak 15 tahun terakhir. Tati memutuskan untuk memilih terpisah setelah setahun Nuri tinggal bersama. Kemudian Nuri juga meminta dibangunkan rumah, mungkin saja ia iri kala itu atau karena mereka merasa tidak akan pernah nyaman jika bersama. Rumah ini ramai hanya sesekali saat anak-anak pulang dari pondok pesantren, atau jika anak-anak yang lain lama tak bersua denganku. Maka ia akan merengek meminta ibu mereka untuk mengantarkan, lalu anehnya semuanya bebarengan. Membuat Tati dan Nuri sedikit bersinggungan dan berujung dengan perdebatan.

Aku terkekeh mengingat hal itu. Kaki ini berhenti tepat di depan potret figura keluarga besar kami, yang diambil lebaran tahun lalu. Aku duduk di tengah diapit oleh Tati dan Nuri, sedang Mas Hendra bersama ketiga anak lelakinya berada di bagian belakang, lalu di depan duduklah tiga anak perempuan kami.

"Semua sudah, Bu."

Aku menoleh, mengangguk dan tersenyum, "makananya udah, Bi?"

"Sudah, Bu."

"Yang lain mana? Saya tunggu di meja makan."

Aku berjalan terlebih dahulu, Bi Asih memanggil teman-temannya. Kutarik kursi perlahan, lalu dusuk di atasnya. Bi Asih berserta yang lain berderet di samping meja.

"Saya mau nanya, kalian punya pekerjaan pokok?" Mereka saling melirik. Mungkin bingung dengan pertanyaanku, "maksudnya, selain menerima kerja panggilan apa kalian punya kerjaan lain selain ini?" Mereka serempak mengangguk. "Coba perkenalkan diri kalian satu-satu, beserta usia kalian."

Sati persatu dari mereka memperkenalkan diri. Dimulai dari pria yang tepat berada di sebelah Bi Asih.

"Nama saya Ujang, Bu. Usia saya 30 tahun, pekerjaan sehari-hari membersihkan kebun jika ada panggilan. Cukup, Bu."

"Nama saya Rati, usai saya 32 tahun. Saya hanya buruh cuci, Bu."

"Nama saya Nita, Bu. Usia baru 20 tahun. Saya bisanya jaga anak tetangga, Bu."

"Nama saya Ijah, usia saya 38 tahun. Bekerja sebagai juru masak di warteg depan rumah."

"Nama saya Hamdan, Bu. Usia saya 34 tahun. Saya pengangguran saat ini, dulu pernah bekerja sebagai sopir proyek."

"Jadi kamu bisa nyetir mobil?" Ia mengangguk, "Punya sim?"

"Punya, Bu." Aku mengangguk paham.

"Nama saya Lela, usia saya 35 tahun. Hanya ibu rumah tangga biasa, Bu."

"Kamu sudah punya anak?" Dia mengangguk, "berapa usianya?"

"20 tahun."

"Jika saya pekerjakan kalian di rumah ini, apa kalian mau?" Mereka tersenyum, saling melihat satu sama lain.

"Mau, Bu," ucap mereka serempak.

"Pak Ujang bisa ngerawat kebun, Hamdan jadi supir pribadi saya, Rati, Nita, Ijah, Lela nanti tanya Bi Asih apa yang harus kalian lakukan. Kalian bisa bekerja mulai besok." Aku bangkit, "Oia, makanlah. Jangan sungkan membawa pulang, ya." Kutinggalkan mereka di meja makan, takut sungkan jika masih ada aku di sana.

Aku kembali berkeliling, dulu rumah ini tak sebesar ini. Terlebih saat awal pernikahan kami. Hanya ada dua kamar utama, satu kamar tamu dan satu untuk pembantu. Bi Asih yang setia menemani dari awal di sini, seseorang yang dipercaya ibu mertua untuk menjagaku.

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumussalam." Kubuka pintu, si Kembar yang berusia 10 tahun itu menghambur dalam pelukanku, disusul dengan si Bungsu yang tampak sedikit mencebikan bibir.

"Awassi, Kak. Ini ibu dedek loh," ucapnya menyingkirkan tubuh kedua kakak kembarnya, "Assalamu'alaikum, Bu." Ia menjabat tanganku lalu menciumnya dengan takdzim.

"Wa'alaikumussalam." Kuciumi wajah mereka satu persatu, "ayo masuk. Ibu kalian mana?"

Mereka kompak menunjuk ke arah parkir mobil, terlihat di sana Tati dan Nuri tengah berdiskusi, "biasa, Bu. Kalau ketemu ya gitu. Kalo gak ada kabar aja nanyain mulu," sloroh si Kembar Hana.

"Kalian masuk dulu, ya. Di dalam ada Bi Asih sama temen-temennya," ucapku pada ketiganya, bergegas jalan menuju parkiran sebelum terjadi baku hantam. Meski selama ini tak pernah sampai hati mereka berkelahi.

"Kalian ini, anak-anak sudah masuk malah ribut di sini," kataku mengagetkan keduanya, sontak mereka serempak menoleh.

"Assalamu'alaikum, Mbak." Mereka menyalamiku bergantian. Aku maju selangkah, berbalik lalu mengapit lengan keduanya. Mengajak mereka berjalan agar secepatnya pergi dari sini.

"Tadi kalian ngapain di sana?"

"Ini loh, Mbak. Mbak Tati, gak hati-hati mobilku baret."

"Heleh, kan bisa dibawa bengkel, Nur," elak Tati.

"Tapi, tetap aja, Mbak!"

"Sudah, sudah. Kita kumpul kok malah ribut. Ayo masuk."

Kami sampai di depan pintu, Bi Asih keluar bersama teman-temannya. Tati dan Nuri masuk lebih dulu. Bi Asih berpamitan dan memberitahu bahwa semuanya telah siap dihidangkan. Sebelum pulang tak lupa kuucapkan terima kasih dan memberi uang upah beserta ongkos pulang.

"Mereka tadi siapa, Mbak?" tanya Tati saat aku baru masuk ke dalam rumah

"Oh, mereka yang akan bekerja di sini mulai besok, Ti." Tati mengangguk-anggukan kepala.

"Sebanyak itu, Mbak?" Nuri menimpali.

"Iya, Nur. Lebih banyak lebih baik, 'kan?"

Mereka tertawa bersama-sama, "nyindir kita, Nur," canda Tati, diiyakan oleh Nuri.

"Apaan sih kalian. Aku malah seneng, karena kalian rumah gak sepi. Ayo makan, pasti kalian lapar, 'kan?"

"Bu, siapa yang masak?" ucap Maira—putri Nuri—gadis kecil delapan tahun itu terlihat berbinar saar melihat ayam goreng kremes kesukaannya.

"Ibu, dong! Spesial buat kalian semua!" ucapku penuh semangat.

Kami makan bersama-sama. Semua menu favorit masing-masing terhidang di meja. Kupandangi wajah mereka satu persatu. Senyuman itu, semoga akan selalu terukir di bibir manis bidadari ini. Semoga kebahagiaan selalu menghampiri keluarga besar kami. Karena merekalah aku bertahan sampai saat ini.

≠≠≠≠

"Mbak, gimana ceritanya mas Hendra mau nikah lagi?" tanya Nuri, aku menoleh meletakan bolpoin di atas buku. Wanita 38 tahun itu berjalan mendekat sembari mengelap tangan dengan kain. Nuri menarik kursi, duduk di hadapanku.

Terpopuler

Comments

💞Erra Tarmizi💞

💞Erra Tarmizi💞

mulia sekali hati ibu lastri, berhubung baik dengan adik madunya

2023-05-07

0

tika kartika

tika kartika

bengek baca nya sampe istri ke 4 🥴 laki kurang ajar 👊👊👊

2021-07-06

0

Arnijum

Arnijum

lastri calon penghuni surga betul

2021-04-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!