Seharian kita bersama. Tati dan Nuri pamit tidur terlebih dahulu setelah salat isya berjamaah. Awalnya mereka tak ingin menginap, hanya saja anak-anak merengek dan bersikeras tinggal. Mau tak mau kedua maduku menuruti, meski dengan dumalan yang tiada henti.
Kami tidur di kamar masing-masing. Kulihat jam dinding. Jarum pendeknya berhenti di angka sembilan, Mas Hendra seharusnya sudah pulang. Kuambil ponsel di atas kasur, memastikan kembali pesan yang dikirim telah terbaca. Nihil.
'Mas, kami sudah sepakat. Mengizinkan kamu menikah lagi.'
'Kapan waktu senggangmu ada, kita lamar Maira sama-sama. Tati dan Nuri juga setuju mau ikut.'
'Pulanglah, sudah malam. Semua keperluan hantaran sudah Nuri siapkan.' Kukirim pesan pada Mas Hendra, berharap kali ini ia akan membalasnya.
Beberapa kemudian ponselku berbunyi. Notif yang aku khususkan jika Mas Hendra berkirim pesan atau menelephone.
'Besok.'
'Baiklah, aku pulang sekarang.' Kubaca balasan pesan Mas Hendra, menutup aplikasi berwarna hijau itu lalu mematikan ponsel.
Tangan ini mulai menata bantal membaringkan diri di peraduan. Aku mengubah posisi, miring ke kiri. Menghadap tempat biasa Mas Hendra berada meski satu minggu sekali. Kuusap lembut bekas tidurnya semalam. Entah apa yang tengah ia lakukan sekarang ini.
Aku bangkit saat mendengar suara bel ditekan, meraih kerudung lalu berlari membuka pintu. Badanku menegang tatkala sosok Mira yang terlihat, ia tengah kepayahan memapah Mas Hendra.
"Allah, kenapa bisa seperti ini, Mir?" Aku menghampiri Mas Hendra yang teler.
"Aku gak tau, Mbak. Tadi emang lagi kumpul sama klien, tau-tau Pak Hendra mabuk." Mira terlihat payah menahan beban tubuh Mas Hendra.
"Awas sini, lepas." Kuambil alih posisi Mira. "Kamu pulang aja, nanti saya pesankan ojol."
"Tapi, Mbak ..."
"Gak ada tapi-tapi. Kamu masuk dulu aja, saya mau bawa masuk Mas Hendra."
Kubiarkan Mira sendiri, memapah Mas Hendra masuk ke kamar. Membaringkannya di kasur, mencopot sepatu dan melepas kemeja yang ia kenakan. Kupandangi wajah teduh itu. Baru pertama kali ia kudapati mabuk seperti ini selama 25 tahun pernikahan kami. Mas ... Mas, bukan hanya main perempuan, tapi mabuk juga sekarang kau lakukan.
Kutemui Mira yang telah duduk di ruang tamu.
"Kamu bisa nyetir?" Ia menggeleng. "Terus ke sini naik apa?" tanyaku heran.
"Naik taksi, Bu."
"Terus taksinya mana? Kamu biarkan pulang? Harusnya suruh nunggu saja."
"Lupa, Bu."
"Ya sudah, saya pesankan ojol saja, ya."
"Eh, gak usah, Bu. Saya takut. Saya boleh nginep di sini saja, ya, Bu. Cuma malam ini," mohonnya.
"Gak, saya pesankan ojol saja ya?"
"Ibu masa tega sama saya, Bu. Nanti kalo saya dirampok gimana? Sekarang banyak modus kejahatan, Bu." Mimik wajahnya terlihat begitu takut.
Enggan merasa bersalah jika terjadi apa-apa pada gadis itu, akhirnya Mira kuizinkan menginap di sini. Ia kusuruh tidur di ruang tamu, dengan meminjamkan gamis milikku sebelumnya.
\=\=\=\=
Pagi-pagi sekali aku telah siap dengan berbagai hidangan di meja makan. Dibantu oleh Nuri dan Tati juga ketiga puteri kami, sarapan telah siap dalam waktu singkat.
Bi Asih dan teman-temannya datang lebih awal dari hari kemarin. Aku mempersilahkan mereka duduk di ruang tengah.
"Silahkan, duduk dulu. Saya akan memperkenalkan satu-satu keluarga besar kami."
Aku berjalan menaiki tangga, memanggil Kedua maduku berserta anak-anak. Mereka mengikuti dari belakang.
"Perkenalkan, ini istri Pak Hendra yang kedua, Tati namanya, lalu ini Nuri istri ketiga. Dan yang kembar itu Hana-Hani, yang paling kecil Maira. Mereka tidak tinggal di sini, hanya saja setiap hari bisa mampir dan menginap tanpa memberitahu. Semohga kalian betah kerja di sini."
"Iya, Bu." Mereka serempak menjawab. Kuantar mereka ke sebuah paviliun yang berada di belakang.
"Pak Ujang udah paham tugasnya?" Lelaki itu mengangguk. "Hamdan, nanti kamu cuci mobil setelah beberes barang-barang, ya. Terus antar kami semua."
"Iya, Bu."
"Maaf, ya. Langsung kerja. Oya, Bi Asih, nanti yang bakal ngajarin kalian kerjaan di sini dan bagaimana pengerjaannya, ya." Baru beberapa langkah aku berhenti, berbalik menatap mereka lalu tersenyum, "di sini tempat perempuan, sebelah sana laki-laki." Kutunjuk bangunan yang berada di sebelah pavilun utama, "di dalam sudah lengkap, tapi karena ini hari pertama kalian kerja saya belum belanja buat dapur belakang. Kalian bisa ambil makanan di dapur utama," jelasku.
Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Terdengar riuh seperti kegaduhan. Sedikit berlari aku bergegas ke sana. Benar saja, Mira yang baru bangun menatap aneh pada semua yang tengah duduk di meja makan. Berbeda dengan calon madu ketigaku itu. Tati dan Nuri justru tengah menahan tawa mereka agar tidak pecah. Kuhampiri Mira yang berdiri mematung melihat pemandangan seperti ini.
"Ayo, ikut kami makan. Oya, kenalin dia Mira. Yang pake kerudung pink itu Nur, yang pake kerudung hitam namanya Tati, dan yang kembar itu Hana, Hani. Terus ... yang kecil dia Maira," terangku pada Mira, ia hanya mengangguk. "Mereka itu is—"
"Ambilkan makananku, Las!" Aku tersentak, Mas Hendra tidak biasanya berkata ketus seperti itu.
"Sebentar, Mas. Aku ma—"
"Cepat!"
Aku bergegas jalan menuju meja makan, berdiri mengambil piring dan menyendok nasi beserta lauk pauknya. Meletakannya tepat di hadapan Mas Hendra.
"Duduk!" Aku duduk di sebelah Nuri, sambil memberi kode agar Mira juga ikut duduk di meja makan, "kamu mau makan pake lauk apa, Yang?"
Hampir aku tersedak ludah sendiri, kami bertiga saling pandang satu sama lain. Berbeda dengan aku yang terkesan kaget, Tati dan Nuri justru tengah menahan tawa agar makanan yang sedang dikunyah tidak menyembur keluar.
Mas Hendra menahan tanganku saat ingin mengambilkan piring untuk Mira. Lelaki berbadan tegap itu dengan cekatan menyiapkan makanan untuk calon madu baruku.
"Mau pakai lauk apa, Yang?" Aku menatap anak-anak. Mereka terlihat bingung dengan situasi ini.
"Mas?" Mas Hendra menoleh, mengedikan dagunya. Dasar tengil! Aku mendengkus sebal, "Maira, Hana, Hani makannya, udah?" Mereka mengangguk, "Ke kamar dulu, ya?" Mereka bangkit dan meninggalkan meja makan.
Aku mengantar ketiganya sampai depan tangga, lalu kembali lagi berkumpul dengan Mas Hendra dan yang lain.
"Mas, setelah makan kita bicara sebentar," pungkasku. Mengambil piring berisi makanan dan gelas untuk minum. Berjalan sendiri menuju ruang tengah. Geram hatiku melihat Mas Hendra, bisa-bisanya ia seperti itu di depan anak-anak.
Semua telah selesai makan. Tati dan Nuri membereskan piring dan gelas kotor. Sedang Mas Hendra dan Mira tengah sibuk berdua, berselfi tanpa memperdulikan kami.
"Mas!" tegurku. Raut wajahnya nampak tidak suka kegiatannya terganggu, "Bisa tinggalkan kami, Mir?" Mira mengangguk, ketika ia berniat bangkit Mas Hendra mencekal tangannya.
"Duduk sini saja," ucap Mas Hendra sembari tersenyum lebar, "dan kamu, bicaralah!"
"Mas, jangan seperti ini di depan anak-anak. Apa kamu gak mikirin mereka yang kebingungan. Kita bisa bicara baik-baik mengenalkan Mira sebagai ibu baru buat mereka. Bukan bermesraan seperti tadi."
"Jadi aku salah?" Ia menjawab tanpa melihat ke arahku.
"Tentu, dan kamu Mira. Kamu akan dijadikan istri—"
"Ayo, Mir. Bersiap. Kita akan pergi ke rumahmu untuk melamar," sela Mas Hendra, "pembicaraan kita sampai di sini," ucapnya berlalu, sambil menggenggam tangan Mira.
Aku berdiri mematung, tubuh ini mendadak lemas. Rasanya kaki sudah tidak mampu menahan beban.
"Ya Allah, Mbak!"
Tati dan Nuri memapahku duduk. Mereka terlihat sibuk sendiri. Sedang aku? Menatap kosong punggung yang kini telah berlalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Kustri
diguna' nih
2023-05-26
0
tika kartika
kasih racun napa itu si hendra 😠😠😠 minta di sunat lagi kali dia
2021-07-06
0
Arnijum
kayaknya diguna guna
2021-04-27
2