Harta duniawi memang diperlukan, tapi harta sesungguhnya adalah keluarga yang damai serta anak-anak saleh, salehah. Begitupun kami, hidup dengan kucuran nikmat dari sana-sini, tidak serta merta membuat kami lupa bahwa kami hanyalah manusia biasa. Tetaplah sama hanya seorang wanita kampung yang memang bernasib beruntung karena kebaikan dari Sang Khalik.
Setelah anak-anak tidur siang, kami membersihkan rumah bersama-sama. Begitu menyenangkan, seperti pertama kali kami serumah dulu. Meskipun, terkadang terjadi perdebatan kecil antara Tati dan Nuri itu lah yang membuat rindu akan suasana seperti ini.
"Mbak, gimana ceritanya mas Hendra mau nikah lagi?" tanya Nuri, aku menoleh meletakan bolpoin di atas buku. Wanita 38 tahun itu berjalan mendekat sembari mengelap tangan dengan kain. Nuri menarik kursi, duduk di hadapanku.
"Nanti aku ceritain. Nunggu Tati selesai, ya." Nuri mengangguk. Tanganku dengan cekatan membuka toples camilan favoritnya, kue kacang. Lalu kembali menulis beberapa hal di catatan.
"Ini sengaja kamu buat sendiri, Mbak?" tanyanya, aku mengangguk mengiyakan, "dari dulu kamu selalu gitu, Mbak. Baik banget sama kita."
Keningku berkerut. Kututup buku menggesernya ke samping, menyangga dagu dengan kedua telapak tangan, "harus berapa kali aku jelasin, Nur?" Kuhela napas dalam, "awalnya memang berat, tapi karena kalian aku jadi kuat."
"Mbak?"
"Hm?"
"Makasih, ya!" Nuri meraih kedua telapak tanganku, menggenggamnya erat. "Makasih banget, mau nerima kami."
Aku mengangguk dan tersenyum lebar. Nuri tersenyum. Dalam posisi seperti ini, kami sama-sama belajar mengerti satu sama lain. Bahkan sedari awal, baik Tati atau pun dirinya sudah kuberitahu jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan hati segera diutarakan. Agar semua yang menjadi ganjalan mendapat solusi terbaik dan tidak berlarut.
Saat itu pernikahanku dengan Mas Hendra memasuki tahun kelima. Usaha percetakan dan pengepul barang bekas maju pesat. Hanya saja, aku belum diberi kepercayaan untuk memiliki momongan. Kami masih baik-baik saja, tetap bahagia meski selama itu belum dikaruniani keturunan. Keluarga Mas Hendra juga tidak pernah mempermasalahkan haal itu. Namun, seketika semua berubah dalam sekejap, saat suamiku menginginkan menikah lagi. Berharap rumah ini tak lagi sepi dengan hadirnya si buah hati. Aku diberi waktu satu bulan untuk memikirkannya.
Satu bulan kujalani dengan terus mencari petunjuk. Sampai pada akhirnya ibu mertua juga ibuku sendiri sama-sama berkata yang sama intinya. Poligami bagian dari syari'at, jika kamu mau, siap, ikhlas harus sepenuhnya jangan setengah-setengah. Jika kamu belum siap, utarakan. Namun, jangan sampai membenci apalagi mencaci. Jangan sampai menyesal, sesulit apa pum keadaan pernikahan, tetaplah bertahan. Karena, setan akan amat seneng ketika anak Adam memutuskan tali pernikahan mereka.
Setelah melalui berbagai pertimbangan. Akhirnya, kuputuskan untuk mengizinkan Mas Hendra menikah lagi.
Aku masih ingat betul, awal-awal harus berbagi suami. Berat untuk dijalani. Berbagai usaha agar jiwa ini tetap waras selalu aku lakukan. Dari mulai berdiam sambil menyemangati diri, mengikuti kajian-kajian di masjid, sampai menyibukan dengan mencoba membuka usaha kecil-kecilan.
Allah memberi hikmah disetiap ujian kepada umatnya. Setelah Tati dinyatakan hamil, Mas Hendra semakin bertambah giat bekerja, usaha percetakannya maju pesat, ia juga membuka rumah konveksi hingga bisa membangun sebuah toko baju dengan brand milik sendiri di kota. Setahun kemudian lelaki yang kini usianya 45 tahun itu membuka usaha sewa tenda, dekorasi pernikahan dan segala perlengkapan lainnya.
Dua tahun kemudian Nuri datang, hatiku yang sudah mulai tertata lebih bisa menerima, terlebih menyadari kekuranganku. Namun, tugas terberat adalah menyakinkan Tati. Agar ia bisa ikhlas dan kita hidup berdampingan. Pernah ia kabur dengan membawa si kecil Ali—anaknya—membuat aku dan Mas Hendra kalang kabut mencari. Dengan berbekal informasi dari salah satu karyawan Mas Hendra, kami menemukannya di sebuah masjid di kota tetangga.
Perubahan sedikit terjadi, Nuri yang masih 20 tahun saat itu membuat Tati mungkin sedikit iri. Ia semakin sibuk di depan cermin, hingga membuat lupa pada putranya sendiri. Aku hanya bisa mengambil sisi positifnya, menjadi semakin dekat dengan Ali hingga sekarang. Pun dengan adik madu keduaku, ia yang pernah bekerja sebagai perias tak keberatan mengajariku dan Tati berdandan. Sejak saat itulah keakraban terjalin antara kami. Meskipun, kadang perdebatan kecil ada, tapi tak jadi sebuah perkara berarti.
≠≠≠≠
Kami duduk bertiga, menghadap toples camilan masing-masing. Nuri dan Tati terlihat lebih serius dari biasanya. Aku mengamati wajah mereka satu persatu. "Kalian itu kenapa?"
"Mbak mergokin mas Hendra di mana?" tanya Tati.
"Jadi, kemaren tuh ada pesanan kue ke sebuah cafe. Kaya cake ulang tahun gitu lah. Karena gak ada anak yang bisa nganter, akhirnya aku sendiri yang nganter ke sana." Aku meminum sisa air dalam gelas sampai habis. Tati dengan cekatan mengisinya lagi, "tau siapa yang pesan? mas Hendra!" Mulut kedua maduku mengangga, "masa iya, gak tau kalau toko yang ia pesani itu punyaku?"
"Sengaja kali yak, Mbak?" Nuri berasumsi.
"Terus mas Hendranya kaget gak, Mbak?"
Aku terkekeh, "bukan kaget lagi, tapi hampir pingsan. Dia pucat pasi. Lagi enak-enakan berdua, suap-suapan. Eh, ada aku nganter roti."
"Jadi, dia beneran gak tau kalo itu roti pesannya di tokomu dong, Mbak," terka Tati.
"Kayaknya sih, iya. Ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin dia tahu cuma masa iya ownernya yang bakalan nganter. Kedua, gak tau sama sekali kalo aku punya toko roti." Nuri dan Tati tertawa renyah.
"Ya ampun, Mbak. Toko kue terlaris masa sampai gak tau," ucap Tati diikuti dengan semburan tawa.
"Ish, kamu ini." Aku mencebik, membuat Tati semakin tertawa sampai terpingkal.
"Aku heran sama kamu, Mbak. Kok malah nyuruh mas Hendra nikah lagi?" Nuri menyusul bertanya.
"Ya, gimana lagi. Sudah kebablasan. Gimana, kalian gak setuju?" Mereka saling manatap satu sama lain.
"Usianya berapa, Mbak?" tanya Tati.
"Ish, Mbak Tati. Kemarin kan dibilang 25. Dasar pelupa, faktor U sih," timpal Nuri sembar terkekeh. Tati memelototkan matanya.
"Udah, udah. Jadi, menurut kalian gimana?"
"Dia tau gak jadi istri keempat, Mbak?" tanya Nuri. Aku mengedikan bahu, lalu menggeleng.
"Lah, mas Hendra apa gak bilang, ya!" Tati meninggikan nada bicaranya, "dia orang mana, Mbak?"
"Kampung Pe, Ti. Jauh, ya? Di sini dia merantau gitulah."
"Ho'oh," jawab Tati.
"Cuman ..." Aku mencondongkan badan ke d
Depan. Tati dan Nuri mengikuti, "ada yang aneh sama mas Hendra." Kuembuskan napas pelan, menyandarkan punggung di kursi.
"Aneh kenapa, Mbak?" tanya mereka bersamaan.
"Aku masih inget betul waktu mas Hendra bawa kalian ke rumah ini. Duduk deketan aja enggak. Ini malah dempet-dempetan," kesalku. "Terus, kaya gak wajar gitu, lah. Sekarang juga mas Hendra jarang solat."
"Kalo dipikir-pikir sih, iya," sahut Tati.
"Iya, Mbak. Bener. Tiap kali ke rumah juga kalo diajak solat berjamaah atau disuruh pergi ke masjid dia gak mau," terang Nuri.
"Hm, ada yang aneh rupanya," gumamku. Diangguki oleh Nuri dan Tati bersamaan.
Setelah kami berdiskusi panjang lebar, akhirnya kesepakatan yang didapatkan adalah mengizinkan Mas Hendra untuk menikah lagi. Besok atau lusa, waktu yang telah kami tentukan untuk pergi melamar ke rumah Mira. Sekarang, tinggal bagaimana kami memberi pengertian terhadap anak-anak. Semoga saja mereka memahami.
"Gimana usaha konveksimu, Ti?" tanyaku pada Tati. Ia memegang usaha konveksi dan percetakan. Bahkan, sudah kupatenkan namanya sebagai pemilik usaha.
"Alhamdulilah, Mbak. Semua berkat doa dan usaha kita. Gamis yang Mbak rancang juga laris banget di pasaran. Katanya simpel tapi elegan. Udah nambah cabang toko juga."
"Terus gimana usaha WO dan distributor gas milikmu, Nur?"
"Alhamdulilah, gak jauh beda sama Mbak Tati, Mbak. Malah sekarang aku sibuk juga bikin kelas rias manten."
"Alhamdulilah," ucapku bersyukur. Aku juga memiliki sendiri, mengelola beberapa toko kue. Selain ikut mengelola gudang buah segar milik suamiku. Membangun toko buah murah dari kota sampai pelosok, agar masyarakat bisa membeli untuk kebutuhan mereka.
Aku membiarkan usaha milik Mas Hendra dikelola Tati dan Nuri, tentu dengan persetujuan suami kami. Mengajari mereka, juga menjadikan nama mereka sebagai pemilik usaha. Hanya satu usaha milik Mas Hendra yang masih atas namanya, sebuah perusahaan kontraktor yang tengah berkembang saat ini dan beberapa saham yang ia masukan atas nama Ali dan si kembar Hasan, Husen di perusahaan properti juga waralaba.
"Jaga baik-baik apa yang telah kalian perjuangkan. Nasib orang gak ada yang tahu. Kita cuma bisa mempersiapkan sedari dini. Kalian nabung emas kan?"
"Iya, Mbak," jawab Nuri.
"Semua yang Mbak Lastri nasehatkan, kami lakukan. Termasuk nabung emas itu." Tati tersenyum lebar, "terus, Mbak lastri gimana?"
"Alhamdulilah, toko lagi laris-larisnya. Aku juga beli sawah sama ladang. Bayar orang buat pengerjaannya. Semoga bisa jadi supleyer sayuran organik sebentar lagi," ucapku sembari terkekeh pelan.
"Aamiin," ucap kami bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Saiyah Salim
subhanallah calon bidadari" syurga. tapi kalo aku pribadi kayanya g akan sanggup berbagi suami 😭😭😭 bisa" nangis terus tiap hari makan hati ooohh ngebayanginnya z tidak sanggup
2021-06-15
1
Alif Binti Abdullah
berat jika setengah hati tp klo dah ikhlas jd lancar,tp sy blm siap thor🙏
2021-05-26
0
erna sutiyana
ya allah mana ada istri yg begini di dunia nyata..
istri ustad sxpun kaya ny gak sanggup berbgai suami apalg harta wkwkwkwkwk
2021-04-28
1