Akira mengedipkan mata melihat alat-alat medis dalam ruangan itu. Ruangan itu terbagi atas dua bagian dengan tiga tempat tidur terpisah. Seorang perawat memandang Akira sekilas
“Nyonya Abraham?”
Akira mengangguk, terlalu rumit jika harus memprotes perawat itu salah menyebut namanya.
“Suami anda adalah satu-satunya pasien kami diruang ICU malam ini. Kami memonitor detak jantung dan paru-parunya. Mari lewat sini Nyonya.” ucap perawat itu dengan ramah.
“Seseorang ingin menemui anda Tuan Dimas.”
Akira menguatkan dirinya. Dia memejamkan mata dan bernafas dengan tenang.
Ayo semangat Akira.
Akira membuka mata, memaksakan diri untuk tersenyum, dan melangkah mendekati Dimas.
“Dimas. Apa yang sedang dilakukan laki-laki kuat sepertimu ditempat ini?’ ucap Akira canggung.
Dimas sedang dalam posisi terduduk, dengan kepala disangga oleh tempat tidur yang ditinggikan, terlihat tidak nyaman karena tidak sesuai dengan tinggi tubuhnya, ada piringan putih kecil yang penuh dengan kabel-kabel kecil melekat di dada nya.
Akira menatap dagu Dimas, pipinya terlihat menghitam karena mulai ditumbuhi jenggot. Tubuh Akira merasa geli mengingat kenangan masa lalu dimana kulitnya seringkali lecet akibat kumis tipis Akira saat menciuminya.
Setelah tiga tahun, dan dalam keadaan yang begitu terpuruk, kehadiran Dimas tetap membuat Akira menjadi lembek.
Akira memegang ujung tempat tidur Dimas untuk menunjukan dukungannya terhadap Dimas.
“Kira? Apa yang…?” Dimas memindahkan lengan kirinya dengan perlahan dan mencoba meraih selimut. Dimas menarik selimut dengan canggung, ia mencoba menutupi tubuhnya.
Akira tidak tahu harus berbuat apa.
Apa aku harus membantunya? Atau membiarkannya melakukan sendiri.
Ajaibnya Akira dapat menemukan kembali suaranya setelah membisu beberapa saat.
“Apa yang ingin kau sembunyikan Dim? Masih ingat aku kan? Aku sudah pernah melihat seluruh tubuhmu kan sebelumnya” Akira mencoba mencairkan suasana yang canggung.
“Kenapa kau bisa ada disini? Apa yang kau inginkan?” Dimas menjawab dengan cepat.
Terlihat raut ketakutan dari wajah Dimas.
“Terima kasih seperti biasanya, bukan begitu Dimas? Aku adalah malaikat penolong yang kau panggil ditengah malam seperti ini.”
“Memanggilmu? Kau? Untuk apa aku melakukannya?” ucap Dimas sambil menarik selimutnya dengan sembrono.
Akira mencoba membantu.
“Tidak! Jangan!" teriak Dimas sambil mengalihkan pandangannya kearah lain. “Perawat…! Bisakah kau perbaiki selimut sialan ini. Disini dingin.” teriaknya lagi.
Terkejut karena teriakan Dimas, Akira beringsut mundur. Menunggu dengan tenang sambil melihat perawat memperbaiki selimut Dimas.
Saat perawat pergi, Akira kembali bicara.
"Dimas, seorang perawat meneleponku semalam dan mencari Akira Abraham. Butuh beberapa menit untuk menyadari bahwa itu adalah aku. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia tahu nomor teleponku. Dia bilang bahwa kau ingin menemui ku. Untuk itu aku datang. Mungkin ini hanya ada kesalahpahaman.”
Sesaat Akira diam, kemudian dengan tenang berkata “Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggumu. Mungkin sebaiknya aku pergi.”
Cegah aku untuk pergi Dimas! Pinta Akira dalam hati.
Tapi apa pentingnya berada disini, dan kenapa aku berharap agar Dimas memintaku untuk tetap berada disampingnya?
“Jangan pergi! Tolong,” imbuh Dimas dengan lembut. “Aku tidak ingat memberikan nama dan nomor telepon mu, tapi aku pikir aku memang melakukannya—terima kasih sudah datang.” lanjut Dimas.
“Bagaimana aku bisa menolak saat kau mengatakan ‘tolong’ dan’terima kasih’ dalam satu paragraf? Apakah kau mulai menjadi lunak karena usia Dimas?" Akira mencoba mencairkan suasana yang agak canggung.
“Menjadi lunak karena bosan, mungkin. Tidak ada yang bisa aku lakukan disini.” Dimas menghela napas dan terlihat ketakutan dari raut wajahnya.
Di tahun-tahun mereka hidup bersama, Akira tidak pernah melihat Dimas ketakutan. Dimas hidup dengan mengontrol emosinya yang tidak pernah diperlihatkan karenanya sulit untuk ditebak oleh siapapun- kecuali saat mereka bercinta.
Dimas akan sangat menunjukkan hangatnya, kuatnya, dengan perasaan yang meledak-ledak.
Akira kembali mengenang masa lalu. Fokus mengingat malam terakhir sebelum dia pergi meninggalkan Dimas. Ketika Dimas bekerja hingga larut malam, lalu pulang dan langsung masuk ke ruang kerja meninggalkan Akira sendiri di meja makan yang sudah menunggunya beberapa jam yang lalu.
Andai saja Dimas sedikit saja lebih memperhatikannya, mungkin Akira tidak akan memutuskan untuk pergi…
Jarum jam menunjukkan waktu sudah menjelang dini hari. Tapi dua insan yang pernah hidup bersama memadu kasih itu, larut dalam obrolan nan hangat hingga tidak menyadari matahari sudah mulai muncul dari persembunyiannya.
“Apakah kau mau menceritakan padaku tentang Gullian-Bare syndrome ini?” tanya Akira.
“Tidak, kumohon, jangan sekarang. Bicarakan tentang hal yang lain saja yang kau mau. Alihkan saja perhatianku dari penyakit ini.” jawab Dimas.
“Apakah kau sudah menghubungi Sofia?” tanya Akira lagi.
“Tidak.”
“Bagaimana kabar kakak ipar ku? Aku belum pernah mendengar kabar darinya sejak dia berhenti menulis tentang tuntutan aturan untuk menjadi istri seorang Dimas Abraham.”
“Dia disibukkan dengan urusannya sebagai seorang istri, jadi dia tidak punya waktu untuk mengganggu ku. Tapi akhir-akhir ini dia sibuk mencari pengganti dirimu. Kau harus melihat beberapa kandidatnya dan bantu aku untuk memilih yang sama persis denganmu.” jawab Dimas.
Akira tertawa mendengar nada humor yang dilakukan Dimas.
“Beberapa dari mereka mungkin akan jauh lebih baik dariku.” Dimas tidak menggubris, lalu Akira kembali bicara. “Apakah kau ingin aku menghubungi Sofia?” lanjutnya.
“Boleh saja, tapi katakan padanya aku disini hanya untuk check-up.” ucap Dimas.
“Kenapa?” tanya Akira heran.
“Dia pasti datang hanya untuk menangis melihatku, tapi dia tidak akan bisa membantu.” Dimas mengangkat bahu dan kembali menghela nafasnya.
Akira mengganti topik pembicaraan, menanyakan Dimas tentang beberapa teman yang tidak pernah dia temui lagi sejak perpisahan mereka. Keduanya sama sekali tidak membicarakan tentang pernikahan mereka, tidak juga perpisahan mereka.
Perawat masuk membawakan sarapan untuk Dimas di atas sebuah nampan, Dimas berusaha mengambil sebuah sendok besar bubur, tapi terjatuh kedalam mangkuk bubur. Akira mencoba membantunya.
“Tidak, jangan! Pergilah cari menu sarapan mu sendiri,” ucap Dimas dengan kasar. “Kau pasti lapar Kira”
Akira berjalan keluar tanpa menoleh.
Kau masih saja seperti dulu.
Akira kemudian berjalan perlahan di lorong rumah sakit. Pikiran Akira berkecamuk, satu sisi ia memikirkan rencana fashion show yang beberapa hari lagi harus terlaksana. Namun, biaya yang menjadi kendala.
Di sisi lain, kini Akira juga memikirkan kondisi Dimas.
Sampai kapan ia akan begini?
Apa aku harus terus selalu menemaninya?
Apa aku sanggup?
Ya Tuhan, bantu aku.
Sejenak Akira berhenti, menatap ada seorang pasien yang tengah menggunakan kursi roda di taman. Lelaki itu terlihat memutar roda kursinya sendiri agar bisa bergerak maju.
Apa Dimas akan seperti itu juga?
Dengan cepat Akira menggeleng.
"Nggak mungkin, semoga saja tidak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Teruterubuzu
Akira kamu harus menolong ya & berharap dgn kehadiranmu disisinya membuat Dimas semakin bersemangat & optimis untuk hidup, sembuh & bangkit dari keterpurukannya ini. & cinta akhirnya menyatukan mereka kembali.
2021-12-28
0
Berdo'a saja
emmmm
2021-10-29
0
Novianti Ratnasari
kaya nya cerita nya bgs.
2021-10-07
0