Malam sudah semakin larut tapi Vivian tak kunjung bisa menutup matanya. Meskipun sudah mulai memberat, tapi kedua matanya masih sulit dan enggan untuk dipejamkan.
Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan lurus menuju jendela besar di samping tempat tidurnya. Langit malam ini terlihat cerah, jutaan manik-manik langit bertaburan menghiasi langit malam.
"Huft,"
Gadis itu mendesah berat. Kenapa rasanya begitu sulit dan menyakitkan. Dia tidak pernah merasakan jatuh cinta pada orang lain, dan sekalinya jatuh cinta pemuda yang dia cintai adalah seorang yang tidak normal. Dan itu membuatnya menjadi lebih sulit.
Vivian ingin sekali bisa memenangkan hati Leon dan membuat dia hanya mencintainya, tapi dia tidak tau bagaimana cara harus melakukannya.
"Ya Tuhan, kenapa kau membuat semuanya menjadi begitu sulit. Bantu aku, Tuhan, bantu aku memenangkan hatinya. Bantu aku membuatnya menjadi normal karena aku ... sungguh-sungguh mencintainya!"
🌹
Leon yang baru saja bangun di buat bingung dengan keadaan rumah yang begitu sepi. Ia tidak melihat batang hidung Vivian di mana pun padahal jam di dinding baru menunjukkan pukul 7 pagi.
Leon berjalan lunglai menuju lemari pendingin yang berada di ruang makan kemudian mengeluarkan sebotol air mineral dan meneguk setengai dari isinya.
Matanya menyapu ke segala penjuru arah dan tanpa sengaja mata abu-abunya melihat memo yang tertempel di papan kecil di atas kulkas. Leon menarik memo itu lalu membacanya.
"Aku ada kuliah pagi, dan aku sudah menyiapkan sarapan untukmu."
Leon meletakkan memo itu di atas kulkas lalu berjalan menuju meja makan. Membuka tudung saji dan mendapati beberapa jenis makanan tersaji rapi di atas meja dengan semangkuk nasi yang di letakkan di samping secangkir kopi pahit kesukaan Leon.
Leon menarik kursi untuk duduk. Meletakkan beberapa lauk berbeda di atas nasinya dan mulai menyantap sarapannya.
Leon menutup matanya seraya mengunyah makanan yang ada dimulutnya, meresapi rasa nikmat dari hidangan special yang memang Vivian siapkan untuknya. Leon tidak tau bagaimana mungkin gadis itu bisa mengetahui semua makanan kesukaannya.
Tapi Leon sangat bersyukur karna memiliki sahabat seperti Vivian yang bisa menerima dirinya apa adanya, bahkan Vivian tidak merasa risih meskipun dia tau bila dirinya adalah seorang...
Ting...!!
Ponsel milik Leon berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Dengan segera Leon mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja dan membuka pesan tersebut lalu membacanya.
"Hei pemalas, apa kau sudah bangun? Aku sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanmu. Makan yang banyak jangan sampai kau menjadi kurus karena kelaparan! Maaf aku pergi tanpa memberitaumu. Aku tidak tega untuk membangunkanmu. Kau terlihat lelah."
Leon tersenyum tipis membaca pesan singkat itu. "Kau memang sahabat terbaikku, Vivian Astoria. Aku beruntung bisa mengenal gadis sebaik dan sehebat dirimu." Meletakkan kembali ponselnya di atas meja dan melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda.
.
.
Leon menghentikan motor besarnya di halaman sebuah bangunan yang terlihat sedikit mengerikan.
Banyak coretan-coretan yang menghiasi dindingnya. Kedatangan Leon di sambut oleh beberapa orang yang tanpa aba-aba langsung melayangkan serangan padanya.
Leon menahan setiap serangan yang datang padanya, memukul mundur beberapa pria yang mencoba menyerangnya.
Leon menghajar orang-orang itu tanpa ampun. Sedikitnya ada 5 pria yang terkapar di tanah setelah di hajar habis-habisan oleh Leon. Leon menarik pakaian salah satu dari kelima pria itu.
"Katakan di mana bos kalian?" tanya Leon tanpa basa basi.
"Bos tidak ada di tempat, di-dia sedang pergi."
"Jangan coba-coba membohongiku jika kau tidak ingin kuhabisi di sini." ancam Leon, pria itu menggeleng.
"Ti...dak, saya tidak berbohong. Bos memang tidak ada di tempat, dia sedang pergi." Leon mendorong tubuh pria itu hingga terhempas ke tanah.
Leon kembali menaiki motor besarnya dan dalam hitungan detik motor sport itu melesat jauh menuju jalan raya. Leon melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, menyalip beberapa kendaraan yang ada di depannya. Tak jarang Leon mendapat cacian dan makian dari pengendara lain.
Di tengah hiruk piruk kota yang di padati kendaraan umum maupun pribadi, tanpa sengaja mata abu-abunya menangkap sebuah pemandangan yang sangat menyakitkan.
Leon melihat siluet seseorang yang sangat ia kenal berdiri di pinggir jalan bersama seorang orang asing. Mereka terlihat dekat dan sangat mesra. Hati Leon seperti terbakar melihat pemandangan menyakitkan itu.
Brakkk...!!!
Karena kehilangan konsentrasinya, motor besar Leon terperosok di jalanan saat mencoba menghindari kendaraan lain.
Tubuh pemuda itu terhempas dan terguling di aspal. Helmnya pecah menjadi dua bagian.
Darah segar terlihat mengalir lengan kiri atas juga dahi sebelah kanannya, dan ada luka lain di tulang pipi kirinya. Seketika orang-orang berkerumun menghampiri pemuda itu yang bersusah payah mencoba untuk berdiri.
Beberapa orang membantu menepikan motor Leon, tidak ada kerusakan yang berarti hanya lecet di bagian sisinya karna bersentuhan dengan aspal.
"Nak, kau terluka. Sebaiknya kau segera pergi kerumah sakit. Aku akan memanggilkan taxi untukmu." Seru seorang paruh baya yang merasa prihatin melihat keadaan Leon.
Pemuda itu mengangkat wajahnya kemudian menggeleng. "Tidak perlu, aku tidak apa-apa dan hanya luka kecil saja," ucapnya meyakinkan.
"Tapi Nak, luka-lukamu cukup parah dan terus mengeluarkan darah. Atau begini saja, bagaimana kalau kau ikut ke rumah Paman. Biar Paman yang mengobati luka-lukamu itu. Kebetulan rumah Paman tidak jauh dari sini."
Leon terdiam beberapa saat. Jika ia pulang dalam keadaan berlumur darah, dan Vivian melihatnya, pasti gadis itu akan histeris kemudian jatuh pingsan.
Karena Leon tau bila Vivian memiliki phobia pada darah selain phobia anehnya pada mentimun family. "Baiklah Paman, aku akan ikut denganmu." setelah berfikir cukup lama. Akhirnya Leon menerima tawaran paruh baya itu dan ikut kerumahnya.
.
.
.
"Nah selesai, Nak."
Luka-luka itu sudah di tutup perban, darah segar menyembul menodai kasa putih yang menandakan jika luka itu masih sangat baru.
Leon melepaskan poninya yang semula ia tarik ke atas menggunakan jari-jarinya, helaian rambut itu menutupi sebagian perban yang melingkari dahinya juga bercak darah yang berada tepat di atas alis kanannya
"Terimakasih, Paman. Maaf jika harus merepotkanmu." sesal Leon.
Paruh baya itu tersenyum simpul lalu menggeleng. "Tidak sama sekali Nak, bukankah sudah selayaknya kita harus saling tolong menolong. Oya jika kau masih merasa pusing sebaiknya istirahat dulu di sini. Ada beberapa kamar kosong, yang salah satunya bisa kau tempati."
Leon menggeleng. "Tidak perlu, Paman, karena aku harus pergi sekarang,"
"Baklah kalau begitu. Kapan pun jika kau ingin datang, jangan merasa sungkan karena pintu rumah ini terbuka lebar untukmu." Leon tersenyum tipis lalu mengangguk.
Setelah berpamitan pada paman baik hati tersebut. Leo bergegas pergi. Ia berniat untuk menjemput Vivian di kampusnya, tapi sebelum pergi menjemput gadis itu.
Ada baiknya ia mengganti pakaiannya terlebih dulu, karena tidak mungkin Leon mendatangi kampus Vivian dengan pakain berlumur darah.
Leon menengok kearah belakang. Setelah di rasa aman, Leon segera menambah kecepatan pada motornya dan dalam hitungan detik motor sport itu melesat jauh meninggalkan keramaian kota.
🌹
Rasa cemas kembali menggerogoti perasaan Vivianl Entah mengapa tiba-tiba ia teringat pada Leon, Vivian berharap semoga pemuda itu baik-baik saja setelah semua yang terjadi.
Sebagai seorang sahabat dan orang yang peduli padanya, Vivian sangat memahami bagaimana perasaan Leon saat ini.
Vivian tidak tau bila perasaan yang Leon pada Adrian bisa sampai sedalam itu. Leon selalu menunjukkan sikap yang wajar di depan semua orang.
Leon selalu menutup rapat-rapat rahasianya dari semua orang, tidak ada satu orang pun yang mengetahui bila ia tidak normal keculi dirinya.
Di depannya, Leon selalu mengatakan jika ia baik-baik saja karena pemuda itu tidak ingin membuat dirinya terus-terusan mencemaskannya.
Vivian tau bila Leon tidaklah baik-baik saja setelah mendengar ceritanya semalam. Vivian semakin yakin bila yang Leon rasakan pada Adrian bukanlah cinta melainkan sebuah obsesi yang terlalu berlebihan.
"Ck, melamun lagi. Sebenarnya ada apa sih denganmu akhir-akhir ini?" rutuk Vania, saat ini mereka berdua sedang berada di kantin kampusnya.
Vivian sendiri tidak terlalu fokus pada apa yang di katakan oleh sahabatnya itu. "Apa hal ini ada hubungannya dengan pemuda yang sering kau ceritakan padaku?"
Vivian mengangkat wajahnya dan menatap Vania tanpa ekspresi. "Van, apakah ini saatnya aku menyerah saja? Sepertinya memang tidak ada harapan untukku bisa mendapatkan hatinya. Hatinya sudah terikat pada orang lain, jujur saja aku mulai lelah." lirih Vivian parau.
Matanya sudah memerah menahan tangis, tapi Vivian tidak mau menangis. Akan sangat konyol jika ia menangis di tempat terbuka seperti ini.
"Hah......???"
"Terus terang aku merasa lelah. Aku sudah bertahan selama bertahun-tahun, tapi apa yang kudapatkan. Hanya luka dan rasa sakit, dia mencintai orang lain. Aku lelah, aku sungguh-sungguh lelah. Katakan padaku, sekarang aku harus bagaimana?"
Vania mengatupkan bibirnya, ia sungguh-sungguh prihatin melihat keadaan sahabatnya itu.
Selama 10 tahun Vivian memendam perasaan pada pemuda yang hanya menganggapnya sebagai sahabat, dan Vania mengerti bagaimana rasa sakitnya cinta sepihak.
Tapi ia sendiri bingung harus melakukan apa untuk membantu sahabatnya itu, Vania menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Sebenarnya--"
"Senior, seseorang mencarimu?"
Vania tidak melanjutkan kalimatnya karna teguran seorang gadis berkaca mata berkepang dua yang saat ini berdiri di samping Vivian.
"Mencariku?" kata Vivian.
Gadis itu mengangguk. "Dan dia menunggumu di depan gerbang."
Vivian terdiam, otaknya terus berfikir. Kira-kira siapa orang yang mencarinya . "Apa kau tau ciri-cirinya atau style pakaiannya mungkin?"
Gadis itu berfikir mencoba mengingat-ingat."Dia memiliki kulit seputih susu, wajah yang tampan dan sorot mata yang tajam. Dia memiliki 5 tindik di telinganya 1 di ujung alis kanannya."
"Eyeliner yang membingkai matanya, terus dia memakai pakaian mirip brandalan. Satu lagi Senior, ada perban yang melingkari dahinya dan menutupi tulang pipinya." tutur gadis itu memaparkan.
"Haaaa! Vi, kenapa aku memiliki firasat buruk tentang orang yang mencarimu itu? Jangan-jangan dia memiliki niat buruk padamu.?" Vivian mendelik tajam pada Vania, rasanya Vivian ingin sekali menyumpal mulut bawelnya itu.
Vivian terdiam untuk beberapa saat. Dari ciri-ciri yang juniornya sebutkan. Vivian berani bersumpah jika orang itu adalah Leon. Tapi yang menjadi pertanyaannya, perban di kening dan di tulang pipinya?
Tak ingin rasa penasaran semakin menggerogoti fikirannya. Vivian beranjak dari duduknya dan berjalan menuju jendela kaca yang ada di belakangnya. "Leon," lirihnya tak percaya.
Orang itu ternyata benar-benar Leon. Mengabaikan Vania dan juniornya, Vivian menyambar tasnya lalu bergegas menghampiri Leon. Bahkan gadis itu tidak menghiraukan teriakan keras Vania.
"Yakkkk...!! Vivian Astoria, kau mau kemana? Lalu siapa yang akan membayar makanan dan minumanmu ini!" Teriak Vani
"BAYARKAN SAJA DULU! AKU UTANG PADAMU, OKE!"
.
.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Riani Ani
Semoga doamu terkabul Vi 🤧🤧
2021-11-18
0
Jessline Wang
Leon kecelakaan setelah lihat Adrian sama kekasihnya. Dia sampai seemosi itu
2021-11-18
0
Lana_Ayu
Biang keroknya Adrian 🤧🤧 Untung Leon gak kenapa-napa
2021-11-18
0