Harapan Ambrosia

Ambrosia menutup pintu apartemennya dengan perasaan lega yang begitu luar biasa. Perasaan yang selalu ia rasakan setiap kali dirinya terbebas dari kungkungan para direktur yang tidak kompeten dan berotak mesum.

Ia bersandar sejenak di pintu sambil menghembuskan napas panjang. Sampai kapan? Ambrosia bertanya dalam hatinya. Apakah hanya nasibnya yang sedang sial, atau memang sudah takdir dirinya harus selalu bertemu dengan atasan yang karakternya nyaris sama, sama-sama mesum.

"Menjijikkan," gumamnya jengah.

Ambrosia melepas sepatunya lalu memasuki apartemennya lebih dalam, sambil terus bertanya-tanya di dalam pikirannya. Dan apakah ia harus resign dengan alasan yang juga selalu sama?

Tidak! Putus Ambrosia cepat. Ia harus tetap optimis dan percaya, bahwa suatu saat nanti dirinya akan dipertemukan dengan atasan yang mampu menghargai kinerjanya tanpa maksud tertentu, apalagi dengan niat yang terselubung seperti sebelum-sebelumnya.

"Yup, tidak semua orang yang berkedudukan tinggi mempunyai pikiran kotor seperti Hans Trigger," katanya sambil meletakkan sepatu ke dalam rak, "atau... seperti bos-bosku sebelumnya," lanjutnya bermonolog.

Ketika melewati cermin yang berdiri memanjang di samping rak sepatu, Ambrosia berhenti sejenak. Ia menatap pantulan dirinya dengan seksama. Ada kalanya Ambrosia merasa penampilannya yang sedikit lebih memesona daripada wanita kebanyakan membuatnya kerepotan. Bukan bermaksud untuk tidak mensyukuri apa yang telah ia miliki sejak lahir, hanya saja sampai saat ini ia belum bisa merasa nyaman dengan kelebihannya yang satu itu.

"Hanya karena rupaku yang sedikit lebih enak dilihat bukan berarti aku menggunakannya untuk mendapatkan posisiku selama ini, " gerutu Ambrosia, "mereka pikir aku sama tidak kompetennya seperti mereka? Aku lebih bangga pada otakku ketimbang pada penampilanku tau." Ambrosia jadi kesal jika mengingat akan hal itu.

Diletakkannya tas kerja ke atas meja, sebelum akhirnya menghempaskan tubuh rampingnya ke dalam sofa tunggalnya yang lembut, mungil, namun nyaman—satu-satunya furniture yang Ambrosia bawa dari rumah keluarganya di New South Wales, agar apartemen kecilnya ini memiliki sentuhan 'rumah' baginya.

Sambil menyelonjorkan kedua kakinya, Ambrosia mendongak menatap langit-langit apartemen. Meskipun hari ini terasa lebih berat dan lebih panjang daripada biasanya, Ambrosia bersyukur bahwa besok dirinya tidak perlu lagi berhadapan dengan mantan bosnya, si Mesum kesekian, Hans Trigger.

Ya, hari ini adalah hari terakhirnya bekerja di Trigger Corp. Itu artinya saat ini dirinya lagi-lagi menjadi pengangguran. Namun ini bukan waktunya meratapi nasib yang berada di luar kuasanya sebagai manusia biasa.

Ambrosia pun buru-buru mengingatkan diri bahwa jika ia tidak segera mencari pekerjaan baru, maka tabungannya akan terkuras untuk biaya hidup. Apalagi biaya hidup di kota besar seperti Melbourne ini tidaklah murah. Hal semacam itu tidak boleh terjadi karena akan merusak rencana besarnya.

Demi mewujudkan harapan terakhir mendiang orang tuanya, Ambrosia berencana untuk merenovasi besar-besaran rumah peninggalan orang tuanya di desa Central Tilba, New South Wales.

Masih segar dalam ingatannya bagaimana sang ayah mendeskripsikan rancangannya untuk merombak rumah mungil mereka menjadi villa keluarga yang besar dan indah. Pemandangan alam sekitar yang sangat memesona, dan kesejukan udaranya, memotivasi orang tua Ambrosia untuk merenovasi rumah mereka menjadi villa keluarga.

Bagaimana kami bisa menyambut suami dan anak-anakmu kelak jika rumahnya masih sesempit ini, ucap sang ayah kala itu.

Jika rumahnya besar, kalian pasti betah berlama-lama liburan di sini walaupun hanya untuk mengunjungi kami yang sudah tua nanti, tambah sang ibu.

Ayah janji, ayah akan bekerja dengan giat agar tabungan kita cukup untuk membuat rancangan ini menjadi nyata, Ana. Teo—ayah Ambrosia—kala itu berkata sambil membentangkan cetak biru yang dibuatnya sendiri di hadapan Ambrosia yang masih belia.

Bergantung pada kenangan itu, Ambrosia memutuskan untuk mencari nafkah di kota-kota besar, yang memiliki standar gaji yang cukup tinggi bahkan untuk para karyawan biasa, agar dapat menabung dengan cepat dan segera merealisasikan harapan mendiang kedua orang tuanya.

"Ayah dan ibu di atas sana... karena kalian sudah lebih dekat denganNya, tolong mintakan pada Tuhan agar bosku yang berikutnya lebih 'normal' dan manusiawi," gumam Ambrosia sedikit geli dengan keinginannya sendiri "mungkin... seorang pria setengah baya yang famili man, yang tidak berniat merayuku, atau seorang direktur wanita yang kompeten namun keibuan, yang bisa aku hormati sebagaimana mestinya. So please, dad... mom..., bantulah putrimu ini."

Ambrosia tidak bisa tidak terkekeh mendengar harapannya sendiri, sambil membayangkan wajah kedua orang tuanya yang kebingungan di surga sana.

"Well, sebaiknya aku mandi dulu sebelum mulai membuka situs lowongan pekerjaan di internet," gumamnya sambil mengangkat kedua bahunya dengan pasrah lalu beranjak dari sofa dan berjalan ke dalam kamar tidur.

Bunyi notifikasi ponsel mengusik Ambrosia saat ia tengah melepaskan blazernya. Ia merogoh ke dalam saku depan blazer favoritnya untuk mengambil benda kecil yang canggih itu. Jemari lentiknya yang kapalan di beberapa tempat—akibat terlalu sering mengetik dan menulis laporan—mengusap sekilas layar ponsel hingga muncul pop up notifikasi dari aplikasi email.

Kedua mata Ambrosia mengerjap tak percaya. Ia memicingkan mata. Menekan satu kali pada pop up untuk membuka email yang baru masuk itu. Tak lupa ia menaikkan fitur cahaya pada layar agar lebih terang sehingga tulisan-tulisan kecil yang tertera di dalamnya lebih mudah terbaca.

Ambrosia membaca dengan seksama. Tak cukup satu kali, Ambrosia mengulang membaca isi email hingga dua kali untuk memastikan agar dirinya tidak keliru menafsirkan tujuan yang ingin disampaikan pengirim email, ke dalam surat elektrik tersebut.

Tak lama, sudut-sudut bibir Ambrosia tampak terangkat membentuk senyuman lebar. Sebuah email balasan atas lamaran kerjanya pada perusahaan terkemuka di Sydney baru saja ia terima. Dalam email tersebut, Ambrosia dinyatakan lulus seleksi tahap administrasi, pada perusahaan yang sedang membuka lowongan kerja Sekretaris, Levine Enterprise.

Ambrosia juga diundang untuk dapat mengikuti seleksi tahap berikutnya, yaitu tes wawancara yang berlokasi di kantor pusat Levine Enterprise di Sydney, pada hari dan jam yang telah ditentukan—tertulis dalam email.

"Yes!" seru Ambrosia sambil melompat ke atas kasurnya.

Ia sama sekali tak menyangka Tuhan begitu baik padanya dengan tidak membiarkannya terlalu lama dalam ketidakpastian. Walaupun lamaran kerjanya kali ini pun juga bisa dibilang belum pasti berhasil, tetapi setidaknya sudah ada sedikit harapan. Dan Ambrosia selalu bisa bergantung pada secuil harapan sekalipun.

Sambil merebahkan tubuhnya ke belakang hingga telentang, Ambrosia kembali bergumam sendiri. Namun kali ini, dengan rona wajah yang jauh lebih cerah ketimbang sebelumnya.

"Dear, orang tuaku tersayang... satu lagi kesempatan baik telah datang pada putri kesayangan kalian. Terima kasih karena selalu melindungi dan membantuku dari atas sana. Love you both."

...****************...

Terpopuler

Comments

Sri Astuti

Sri Astuti

mantap Ana

2023-11-02

2

Aily Nursehati

Aily Nursehati

Lanjut
semangat Thor 💪😍

2023-09-26

1

Comelciripa

Comelciripa

🤲

2023-09-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!