"Ini sudah waktu sarapan, tapi kenapa meja makannya masih sepi pak Har?"
Shalimar melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan menatap heran meja makan yang masih kosong, biasanya sudah ada Tuan Kaana atau Salman yang selalu siap lebih awal dan menunggu di meja makan.
"Tuan Salman sudah meninggalkan Mansion sejak pagi, tuan juga meninggalkan kopi buatannya dan laptopnya di sini. Sedangkan Tuan besar baru saja berangkat." terang pak Har yang selalu setia berdiri di belakang kursi menunggu semua anggota keluarga Kaana berkumpul untuk sarapan.
"Apa ada masalah di perusahaan, bukankah tadi mereka berbicara di ruang belajar?" tanya Shalimar setelah mendaratkan pantatnya di kursi yang telah di tarik pak Har.
"Sepertinya masalah pribadi, nyonya." Shalimar menolehkan wajahnya untuk menatap penuh selidik ketua pelayan yang telah bekerja puluhan tahun di Mansion itu.
"Apa kau mengetahui sesuatu pak Har?"
Pak Har masih diam tak menjawab pandangannya bahkan ia turunkan untuk menghindari tatapan nyonya besarnya.
"Katakan pak Har, kau lupa siapa aku!" tegas Shalimar semakin menatap tajam.
Setelah menarik nafas, pak Har membuka suaranya. "Ada lamaran yang datang untuk Tuan Salman dari salah satu rekan bisnis Tuan besar. Seperti yang Anda tahu, Jeri dan Jack sahabat Tuan Salman telah menikah—"
"Kak Kaana ingin menjodohkan Salman?" Shalimar bertanya menyela ucapan pak Har.
Pak Har hanya menjawab dengan anggukan kepala pasti.
"Apa Salman pergi karena tidak setuju dengan perjodohan itu?" gumam Shalimar tapi masih dapat di dengar pak Har.
"Apa kau tahu siapa gadis yang akan di jodohkan dengan Salman?" tanya Shalimar dengan suara lantangnya.
"Maaf nyonya, soalnya itu saya tidak tahu,"
Suara sapaan Gisela mengurai rasa penasaran Shalimar akan perjodohan putranya.
"Selamat pagi juga, cucu Grand ma yang cantik," Shalimar membalas sapaan Gisela yang sudah menguap, gadis kecil itu langsung duduk berhadapan dengannya dengan meja persegi panjang menjadi penghalang, ia mengalihkan pandangannya pada gadis cantik yang duduk di sebelah Gisela, dan sedang membantu cucu tersayangnya itu menyiapkan roti selai coklat dengan begitu telaten dan mulut yang terus berkomat-kamit .
"Adinda kau tidak kuliah?" tanya Shalimar yang menyadari Adinda hanya memakai kaos dan bahu yang kosong tanpa sebuah tas melingkar di sana.
Adinda menghentikan aktifitas nya dan menjawab sopan pertanyaan Shalimar. "Jadwal kuliahnya masih nanti siang, nyonya"
"Hei, kenapa masih memanggil nyonya. Panggil Mommy seperti Amanda memanggilku. Coba sekarang, Mommy!" Shalimar menekankan ucapannya.
"Mommy" Dengan ragu Adinda mengulang kata itu.
"Nah seperti itu, Mommy" Adinda tersenyum dan mengangguk pelan.
"Karena kau sudah memanggil Grand ma Mommy, artinya kau sudah siap menikah dengan Uncle" Seloroh Gisela.
Shalimar yang akan memasukkan irisan roti ke mulutnya terhenti, begitu juga Adinda yang sedang memotong roti selai di piringnya bahkan menjatuhkan garpu serta pisau hingga menimbulkan bunyi nyaring yang memecah suasana.
"Menikah?" Shalimar menatap bergantian Gisela yang tetap asik dengan sarapannya dan Adinda yang menjadi gugup dan salah tingkah.
"Iya, Aunty mengajak Uncle menikah. Itu sebabnya Grand ma Harti mengizinkan Aunty tinggal di sini."
"Tidak! itu salah paham, nyonya. Eh Mommy." Sanggah Adinda segera.
"Saya ingin menyelesaikan kuliah dan bekerja untuk membahagiakan ibu lebih dulu. Menikah masih jauh dari angan saya."
"Bukankah kau bilang, kau malu bertemu Uncle karena kau—"
"Kau sudah selesai sarapan 'kan. Ayo aku antar kau ke depan" Adinda segera menyela ucapan Gisela lalu berdiri dan menarik pelan tangan gadis kecil itu. Setelah berpamitan kepada Shalimar ia mulai mengayun langkah menjauh dari meja makan.
"Kau itu benar-benar tidak bisa menyimpan rahasia, menyebalkan." Adinda melipat tangan di dada dan menghentakkan kakinya keras saat melewati pintu utama lalu keluar.
Kejadian memalukan itu selalu terngiang di ingatannya. Ucapannya yang terlontar karena emosi dan sedih bersamaan membuat otaknya tak bisa berpikir jernih, dia begitu menyesali akan keteledorannya berucap. Untunglah Salman bisa mengerti dan memahaminya, pria dewasa itu tidak baper akan ucapan asalnya. Tapi, tidak dengan sang ibu yang masih menganggap ia dan kak Salman memiliki hubungan. Padahal dia bahkan baru bertemu dan mengetahui Salman ternyata adalah kakak iparnya. Dan kesempatan itu coba ia gunakan untuk meminta restu sang ibu untuk tinggal di kota J. Dan begitu terkejut serta bahagia nya ia bu Harti langsung menyetujui kepindahannya begitu saja. Meski ia kini harus menahan rindu pada sang ibu yang lebih memilih tinggal sendirian di kota S dan enggan meninggalkan rumah kenangan bersama almarhum sang ayah itu.
Gisela yang baru akan membela diri, kembali mengatupkan mulutnya yang menganga karena telapak tangan Adinda yang menutup rapat mulutnya hingga ia bahkan kesulitan bernafas.
"Jangan bicara apapun. Aku tidak mau mencurahkan isi hatiku lagi padamu. Kau tidak bisa di percaya. Anak kecil tukang mengadu, menyebalkan."
Buugh! Suara pintu mobil yang di tutup keras oleh Gisela, menutup rutukan yang keluar dari mulut Adinda, dan membuat gadis itu beringsut. Akan sangat berbahaya jika nona kecil itu mengadu pada Daddy nya.
"Nona cantik, bekalnya jangan lupa di makan ya!" Adinda berusaha menampilkan senyum termanisnya sambil mengetuk pelan kaca mobil di depannya.
Lengkungan senyumnya semakin terangkat saat kaca mobil itu perlahan turun dan tatapan lembut Gisela menyapanya.
"Aku pasti akan mengadukan mu pada Daddy. Kau tidak mengurusku dengan baik, aku bahkan memakai pakaian serta sepatu sendiri, dan kau justru sibuk dengan ponselmu." tegas Gisela dan segera menutup kaca mobilnya rapat.
"Kau kan sudah besar, bukan bayi yang harus aku bantu memakai pakaian. Gisela... Jangan menjadi tukang mengadu! Hei Gisela...!" Adinda berusaha mengetuk kaca mobil itu sambil menyeret langkah mengikuti mobil yang mulai melaju, dan tak bisa lagi di raihnya.
"Adinda, kau kenapa ngos-ngos an begitu?" Shalimar yang baru menyembul dari balik pintu utama segera mengambil langkah cepat menghampiri Adinda.
Adinda sedikit terkejut dengan raut cemas yang begitu nampak di wajah Shalimar dan sedang merangkul bahunya dan memapahnya jalan.
"Kau tidak apa-apa?" Shalimar menatap lekat wajah Adinda yang sedang menatapnya.
"Aku tidak apa-apa, Mommy. Tadi hanya sedang bercanda dengan Gisela," terang Adinda yang tak enak hati dan tak menyangka Shalimar akan begitu mengkhawatirkannya.
"Syukurlah, Mommy kira kau terluka" lega Shalimar, mengelus lembut punggung Adinda. Adinda sedikit menengok pergerakan tangan itu di punggungnya, hatinya merasa hangat di perlakukan penuh kasih seperti itu, di saat ia sedang merindukan sang ibu. Ia mendapatkan perlakuan lembut yang membuatnya begitu nyaman.
"Oh iya, kau kan tadi bilang kuliah siang. Jika Mommy memintamu menemani Mommy mengantar sarapan untuk Salman ke kantor, apa kau keberatan?" Shalimar bertanya dengan begitu hati-hati namun penuh harap.
"Baik mom. Aku juga tidak tahu apa yang akan aku lakukan di Mansion"
Wajah berbinar dengan senyum mengembang terpancar di wajah Shalimar mendengar Adinda menerima ajakannya.
'Mommy tahu kau tidak suka di jodohkan, tapi jika seperti ini, kau tidak akan menyadarinya'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Tufa Hans
Wawww... mommy pintar 😂
2022-04-11
0