Di Perusahaan Kaana
"Waah... Jadi ini perusahaan Kaana, gedungnya tinggi sekali, megah lagi," Adinda bergumam kagum saat kedua kakinya telah menginjak halaman gedung mewah perusahaan milik keluarga Kaana.
Dia mengalihkan pandangannya ke arah Shalimar yang baru saja keluar dari dalam mobil yang membawa keduanya.
"Adinda! Mommy minta maaf, baru saja mommy mendapat telepon bahwa ternyata pagi ini mommy ada pertemuan dengan klien. Jadi Adinda saja yah, yang antar itu untuk Salman! Mommy harus pergi sekarang. Tolong ya sayang." Shalimar berucap sambil mengelus lembut pipi Adinda.
"Ta-tapi mom—"
"Selamat pagi Nyonya - Nona" suara sapaan bariton mengalihkan pandangan keduanya dan menghentikan ucapan Adinda seketika.
"Mommy sudah minta tolong Bimo, dia yang akan mengantarmu ke ruangan Salman." tanpa menjawab sapaan Bimo, Shalimar kembali menatap lekat wajah gadis cantik dengan senyum mengembang.
"Oh iya, kau harus memastikan Salman memakan sarapannya dengan baik yah, jangan biarkan dia bekerja sebelum sarapan. Mommy pergi dulu yah. Makasih ya sayang"
Belum sempat Adinda membuka suara, Shalimar sudah langsung masuk ke dalam mobil yang telah di bukakan pintunya oleh Bimo.
Adinda memandang ragu laptop dan tas bekal yang memenuhi kedua tangannya. Dia menatap pias mobil yang telah berlalu dari hadapannya.
"Mari nona" ajak Bimo yang terus melihat Adinda diam mematung.
Adinda sedang berpikir, agar ia tidak perlu bertemu dengan Salman. Ucapan teledornya waktu itu benar-benar membuat ia merasa malu setiap kali melihat Salman, belum lagi adegan memalukan versinya di tangga pagi ini. Yang entah mengapa setiap kali mengingat saat itu dan tatapan Salman membuat sesuatu dalam hatinya merasa berbeda, ada kenyamanan yang dia rasakan.
Dia melebarkan matanya, saat sebuah alasan masuk ke otaknya. "Aku harus kuliah, jadi kak Bimo saja yang berikan ini untuk kak Salman" ucapnya pasti sambil mengulurkan kedua tangannya dengan senyum semringah.
Bimo melihat jam di pergelangan tangannya. "Saya masih menyimpan jadwal Anda dengan sangat baik, saya tahu kapan waktu kuliah dan pulang Anda."
"Mari nona! Kita sudah setengah jam berdiri di sini,"
Setelah mengatur nafas untuk menghalau kegugupan yang tiba-tiba melanda, ia mengangguk dan mengayun langkah mengikuti langkah Bimo.
Sapaan ramah di sertai senyum dari para pegawai kantor yang di lewati Adinda membuat gadis itu semakin merasa iri dan ingin segera menekuni dunia kerja yang selalu di dambakan nya.
"Memiliki kakak ipar dengan sifat posesif akut seperti memasung kakiku. Duniaku hanya Mansion dan kampus. Huhft. " lirih Adinda menghembuskan nafas kasar sambil menyenderkan punggungnya pada dinding setelah pintu lift khusus yang di masuki nya tertutup sempurna.
"Bukankah Tuan muda tidak memaksa Anda. Anda sendiri yang memaksa untuk tinggal di Mansion"
Adinda mendengkus kesal. "Aku memang memaksa ingin tinggal di Mansion, tapi aku juga ingin bekerja di sini, bukan menjadi pengasuh Gisela."
"Tuan Gio tidak pernah menganggap Anda pengasuh nona, Tuan meminta Anda menemani nona selama Tuan dan Nyonya Amanda berbulan madu. Sepertinya Anda keberatan menjaga keponakan Anda sendiri,"
"Gisela buk—" Adinda memutus ucapan dan menunduk lemah.
"Bukan keponakan sedarah Anda begitu?" Bimo menolehkan kepalanya untuk melihat sekilas wajah Adinda dan kembali menatap lurus ke depan.
Adinda mengangkat wajahnya perlahan dan menatap punggung pria di hadapannya.
"Maaf, bukan begitu maksudku" sesal Adinda.
"Kak Gio memang baik. Pria yang jahat itu adalah pria yang tidak mau bertanggungjawab pada bayi mba Anda!" geram Adinda dengan begitu lirih sambil mengeratkan gigi-giginya.
TRIING
"Anda mengatakan sesuatu nona?" tanya Bimo yang tak jelas mendengar ucapan Adinda.
"Tidak kak"
Pintu lift terbuka setelah terlihat angka 25 tertera di atas pintu tersebut. Bimo memundurkan langkah dan meminta Adinda keluar lebih dulu barulah setelah itu ia keluar dan kembali memimpin jalan lalu berhenti di depan pintu sebuah ruangan. Setelah mengetuk pintu pelan ia menekan handle untuk membuka pintu itu dan masuk lebih dulu.
"Ada tamu yang datang untuk Anda. Tuan" seru Bimo setelah masuk lebih dalam ke ruangan tersebut.
Kursi kosong dengan beberapa map bertumpuk di atas meja menyapa pandangan Adinda.
Salman yang sedang duduk di sofa dengan ponsel di tangan, segera menjauhkan layar ponselnya tanpa mengakhiri panggilan yang sedang berlangsung ia menoleh sambil mengerutkan kening.
"Silahkan masuk , nona" Bimo mempersilahkan dengan anggukan kepala lalu mengambil langkah mundur dan memberikan jalan yang leluasa bagi Adinda melangkah masuk.
"Adinda!" kejut Salman dengan kedua mata yang membulat sempurna, dia mengangkat tubuhnya perlahan seiring langkah Adinda yang semakin menghampiri.
"Ada apa denganku, kenapa jantungku jadi tambah deg-deg an sih" Adinda terus berusaha mengontrol detakkan jantungnya dengan menarik nafas dan menampilkan sedikit senyumnya.
"Heh ... Sepagi ini kau sudah keluyuran ke kantorku, kau sudah bosan tinggal di Mansion ku. Akan ku kirim kau kembali ke pedalaman kalau begitu."
Adinda menghentikan langkah seketika dan memutar leher serta tubuhnya untuk mencari pemilik suara itu.
"Tidak ada kak Gio di sini, tapi kenapa tadi aku jelas sekali mendengar suaranya. Kak Gio belum menjadi hantu gentayangan 'kan?" lirih Adinda sambil mengelus tengkuknya merinding.
"Berani sekali kau mengatai ku hantu. Aku tidak akan mengizinkanmu menginjakkan kaki di Mansion ku lagi. Lihat saja apa yang akan aku lakukan saat aku kembali nanti."
Salman sedikit terkekeh melihat ekspresi Adinda yang semakin ketakutan dan terus memutar tubuhnya untuk menyapu pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Salman mengangkat ponselnya dan mengarahkan layar ponsel yang masih menyala ke hadapan Adinda . "Dia ada di sini. Dia yang kau cari?" tanya Salman.
Adinda terperanjat kaget saat melihat layar ponsel itu menampilkan wajah seram sang kakak ipar dengan tatapan begitu mematikan .
"Kak-Kak Gio," pekik Adinda.
Saat Gio akan membuka suaranya. Salman lebih dulu menarik ponselnya dan memutuskan sambungan panggilan video itu sepihak dan memasukkan ponsel mahalnya ke saku jas.
"Duduklah! " Salman menggiring langkah Adinda ke sofa.
"Minum dulu. Wajahmu pucat sekali. Jangan di pikirkan Sergio hanya bercanda" ucap Salman mencoba menenangkan dan menyerahkan sebotol air dingin yang telah di buka segelnya. Dan segera di raih Adinda setelah ia meletakan kedua barang bawaannya di atas meja dan mulai meneguknya.
"Kau mengantar laptopku?" tanya Salman saat ia menyadari tas laptop yang di bawa Adinda seperti miliknya.
"Iya, sebenarnya aku datang bersama mommy, beliau menyiapkan sarapan juga untuk kakak, ini bekal sarapan untuk kakak" terang Adinda meletakan botol yang sudah tinggal separo.
Saat Salman akan mengambil laptop miliknya, Adinda juga akan meraih bekal sarapan itu. Tangan keduanya sama-sama terulur di atas meja. Salman menolehkan wajahnya dan wajah Adinda yang juga sedang menghadapnya membuat netra keduanya saling menatap dengan jarak yang sangat dekat, nafas keduanya bahkan saling menyapa kulit wajah mereka secara bergantian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments