Kesehatan Anjani, semakin membaik. Dia sudah bisa berjalan dengan mengunakan bantuan tongkat. Begitu juga dengan luka di wajahnya, sudah mulai mengering, meskipun masih terlihat buruk karena rusak parah.
"Lebih baik, Aku pulang Mas. Aku sudah bisa melakukan aktivitas seperti biasanya meskipun perlahan-lahan. Kasihan Kamu Mas, harus bolak-balik dari rumah, kantor dan ke rumah sakit. Nanti, bisa-bisa Kamu malah sakit. Kita pulang ya Mas?" Anjani, meminta kepada Elang, untuk membawanya pulang saja, dari rumah sakit ini.
"Kita tunggu Dokter saja. Jika Dokter mengijinkan Kamu pulang, besok kita pulang. Tapi jika Dokter masih belum mengijinkan, Kamu harus tetap menurut," jawab Elang, tidak mau dibantah lagi.
Tadi, sekitar jam setengah delapan malam, Elang baru saja sampai di rumah sakit. Dia biasanya datang tidak semalam ini, karena langsung berangkat ke rumah sakit ini dari kantor.
Berbeda dengan tadi, dia harus pulang terlebih dahulu, sebelum berangkat ke rumah sakit karena Adhisti, istrinya di rumah, yang sedang mengidam, memintanya membawakan asinan Bogor yang biasa mereka beli berdua.
"Kasihan Mbak Adhis. Dia sedang hamil muda Mas, butuh perhatian dari Kamu. Jika Aku sudah pulang, Kamu tidak perlu kerepotan membagi waktu antara rumah sakit dengan rumah."
Anjani, mencoba menjelaskan pada suaminya, agar tidak kelelahan. Dia takut, jika Elang sampai jatuh sakit, dan itu pasti akan lebih repot lagi.
"Iya. Kita tunggu Dokter nanti ya," jawab Elang datar.
Elang, menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa yang ada di ruangan tersebut. Dia menghela nafas panjang, membuang rasa lelahnya yang baru terasa jika sedang diam tanpa beraktifitas.
Anjani, memandang Elang, dengan rasa bersalah, karena merasa jika dialah yang menyebabkan kebingungan dan kelelahan Elang selama ini.
"Mas. Sudah makan belum? jangan sampai lupa untuk makan," kata Anjani, mengingatkan suaminya.
"Belum. Aku tidak berselera makan," jawab Elang, dengan mata terpejam, masih dengan posisi duduk menyandar.
"Mas."
Anjani memangil, setelah beberapa saat terdiam, dan tidak ada yang bisa dia lakukan, untuk membuat suasana menjadi tidak kaku dan hening. "Ini sama saja seperti malam-malam sebelumnya, waktu Mas tidak datang. Sepi, dan tidak ada yang bisa Aku ajak bicara."
Elang tidak menyahuti perkataan Anjani. Sepertinya, Elang sudah tertidur.
"Hah..."
Anjani, membuang nafas panjang, menyadari jika Elang memang benar-benar sudah tertidur.
*****
Sebenarnya, Elang tidak tidur dengan baik. Dia masih bisa mendengar semua perkataan Anjani. Dia hanya tidak ingin, menambah pikiran pada Anjani maupun dirinya sendiri.
Hatinya kacau. Dia tidak tahu apa semua ini akan menjadi seperti ini selamanya. Dia tidak mungkin mencerikan Anjani, meskipun dia hanya istri siri, tapi itu juga amanat dari ayah Anjani. Karena dia juga, semuanya ini bisa terjadi.
Di lain sisi, dia juga merasa kasihan pada istrinya di rumah. Adhisti.
Adhisti, sedang hamil muda. Pasti membutuhkan perhatian dan menginginkan dirinya selalu ada di dekatnya. Meskipun, Adhisti tidak pernah mengatakannya, tapi Elang sadar akan hal itu.
Elang, juga tidak bisa berbuat apa-apa karena tangung jawab ini sudah dia ambil dan putuskan sendiri. Dia tidak tahu, apakah ke depannya nanti, masih akan tetap sanggup untuk menjadi seorang suami dengan dua istri yang sama-sama tidak ingin memiliki madu.
*****
Di rumahnya, Adhisti, sedang melamun. Dia tidak bisa memejamkan matanya dengan cepat, karena banyaknya pikiran yang sedang menganggu hatinya.
Tadi siang, Adhisti sengaja meminta kepada suaminya, untuk membawakan asinan Bogor kalau sudah waktunya pulang kantor. Itu semua hanya untuk alasan saja. Dia tahu, jika hari ini, jadwalnya Elang untuk berkunjung ke rumah sakit. Menemani Anjani, istri pertama Elang. Istri siri dari suaminya itu.
"Kenapa masih saja merepotkan? katanya sudah bisa melakukan semua hal, meskipun belum baik benar. Kenapa tidak pulang saja. Kan lebih baik di rumah, tidak membuat Mas Elang capek, karena harus riwa-riwi hanya untuk menemani dia di rumah sakit."
Adhisti mengerutu, karena waktu bersama dengan suaminya jadi terganggu. Seharusnya, dia yang sedang hamil muda, bisa mendapatkan perhatian yang lebih dari suaminya sendiri, tapi ini malah sudah mendapat madu, sebelum pesta pernikahannya di gelar.
"Kenapa Aku harus mendapatkan nasib seperti ini? sedari kecil, Aku hidup di panti asuhan, dengan segala keterbatasan. Saat Aku ingin berbahagia dengan cara menikah dengan cintaku, dan orang yang bisa melindungi diriku, justru dia harus menjadi suami dari orang lain, yang tidak pernah Aku kenal juga. Apa Aku, tidak berhak untuk merasakan kebahagiaan?"
Adhisti, terus menerus mengeluhkan tentang nasibnya sendiri, yang merasa tidak berbahagia setelah pernikahannya.
"Sayang, jika nanti Mama sampai berpisah dengan papa Kamu, jangan pernah menyalahkan Mama. Ini karena Mama tidak nyaman, dan merasa tidak kuat, jika harus menjalani kehidupan seperti ini selamanya," kata Adhisti pelan, dengan mengelus-elus perutnya yang sudah sedikit terlihat membuncit.
"Kita bisa hidup berdua saja nanti. Mama pasti akan menjadi mama yang baik dan tidak akan menelantarkan dirimu Sayang. Mama tidak mau, Kamu mengalami hal yang sama seperti Mama waktu kecil dulu."
Adhisti, terus saja mengajak anaknya, yang masih ada di dalam perut, berbicara seperti sedang berbicara dengan orang yang benar-benar ada di dekatnya sekarang ini.
"Kamu tidak mau kan, jika melihat Mama sedih, hanya untuk meminta waktu dan perhatian dari papa Kamu itu? Mama tidak bisa, jika ini akan berlangsung selamanya. Mama ingin berpisah dengan papa Kamu, nanti jika Kamu sudah lahir."
*****
"Tidak. Tidak, tidak!"
Sayup-sayup, Anjani mendengar suara orang yang sedang berbicara. Dia mencoba membuka matanya dan mengedarkan pandangan.
"Mas. Mas Elang!"
Anjani, memangil Elang untuk bangun. Ternyata tadi adalah suara Elang. Sepertinya, dia sedang bermimpi, atau mengigau dengan mengatakan 'tidak' dan Anjani tidak tahu, apa maksudnya tadi.
"Mas. Mas Elang?"
Sekali lagi, Anjani mencoba membangunkan suaminya itu, dari tempat tidurnya. Tapi Elang tidak menyahut, dan sepertinya elang sudah kembali tertidur lagi.
"Dia mimpi apa ya?" tanya Anjani dengan melihat ke arah sofa, dimana suaminya itu sedang tertidur.
"Apa yang sedang dia pikirkan?" tanya Anjani lagi. Tapi tentu tidak ada yang bisa menjawabnya.
Jam di dinding kamar pasien, tempat Anjani di rawat, sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
"Mas. Jika kamu merasa semua ini berat, lepaskan Aku. Aku tidak mau, jika Kamu menderita hanya karena merasa bersalah, dan harus bertanggung jawab, dengan cara seperti ini, selamanya. Ini tidak adil buatmu."
Waktu, akan membawa garis takdir dan kehidupan manusia pada jalan yang seharusnya. Tidak akan terganti, dan keliru antara satu dengan yang lainnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 443 Episodes
Comments
🐾Ocheng🐾
✍️✍️👍🤗
2022-08-21
0
Kar Genjreng
Ak sedih tinin loro ati ku... koyo Adhisty mungkin kondo ge pas kedadian... nanging lidah kui ga enek tulange.. iso ae rubah yo... Anjani ugo ga mekso.. nanging gilang.. wis kadung janji.. moso iyo meh blenjani.. Adhis wis urip susah awit cilik... ahhh Author Pella Novel Mu.. nlongso.. 😞😞😞😞😭😭😭😭
2022-08-06
0
None
ntah knapa aku lebih milih Anjani krn dia istri pertama walaupun dinikahi krn paksaan tanggung jawab..
namanya takdir siapa yg bisa menolak..
kalo tdk mau dipoligami seharusnya Adhis mundur aja saat Elang menikahi Anjani toh kecelakaan itu terjadi karena dia juga..
tapi kalo sdh begini Adhis harusnya legowo si elang bersikap adil..
2022-05-28
1