Pagi-pagi Luna sudah merengek pada Ayahnya, meminta secepat mungkin hubungannya dengan Ivar di resmikan. Ayah Luna sangat menyayanginya, tidak pernah sekali pun beliau memarahi atau menolak permintaan Putri semata wayangnya.
“Ayah......Dengarkan aku.” Luna menurunkan koran yang menutup wajah Ayahnya.
“Apa Ayah tidak mau punya cucu secepatnya?”
“Iya....Mau” Tersenyum meledek Luna.
“Ihhhh....Kenapa tidak pernah serius saat aku bicara!” Luna mulai kesal karena sejak tadi hanya iya dan iya saja jawabannya. “Ayah cepat lamar Kak Ivar untuk ku.”
“Loh kok aneh, yang ada itu Nak Ivar yang ke sini melamar kamu.”
“Tapi nunggu Kak Ivar itu mau sampai kapan Ayah!!!!!”
“Loh kok tanya Aaaaayahhhh....” Mata Luna membulat.
“Ayah senang anaknya di gantung oleh pria seperti ini!”
“Hahahaha.....kau ini selalu saja serius. Ayah hanya bercanda sayang.” Prabu memeluk Putrinya yang tidak berhenti merengek padanya. “Kau ini masih terlalu kecil untuk punya suami, kau baru saja lulus SMA dan kuliah. Apa tidak terburu-buru?”
“Ayah, kalau aku sudah menikah kan tetap bisa kuliah, pasti Kak Ivar akan mengijinkan.” Prabu sudah habis akal menghadapi putrinya.
“Ya....ya, tapi harus dengan orang yang benar-benar mau menerima diri mu, bukan hanya kamu yang menyukainya.” Prabu sudah tau jika Ivar tidak bisa menerima Luna. Usia mereka terpaut cukup jauh, apalagi selama ini Ivar menyayanginya seperti seorang adik.
“Pokonya aku tidak mau menikah dengan laki-laki lain. Aku hanya ingin Kak Ivar sebagai suami ku.” Teriak Luna sambil berlalu meninggalkan Prabu.
Luna sudah mendapat informasi tentang keberadaan Nindi, wanita penerima telpon yang membuat Luna cemburu dan uring-uringan satu minggu belakangan.
“Abi....” Luna mencari Abi sang Ajudan yang selalu menjaga dirinya kemanapun dia pergi. Maklum, Luna anak dari menteri perhubungan yang harus di jaga keselamatannya. Luna melangkah ke belakang, tampak Abi yang sedang mencuci mobil bertelanjang dada. “Ihhhh....” Teriak Luna mengagetkan Abi, selang yang Abi pegang hilang kendali dan air menyemprot kemana mana sampai mengenai tubuh Luna. “Abiiiiiii......bajuku basah.”
“Siappp....Maaf saya kaget Nona.”
“Sudah, sudah. Aku ganti baju. Setelah ini kita pergi ke rumah wanita kegatelan.” Tanpa mendengar jawaban Abi, Luna sudah meluncur ke dalam rumah.
“Apa di luar hujan?” Teriak Dwi Ibu Luna yang melihat anaknya basah kuyup sambil melihat ke luar jendela.
“Tidak Mih, ini ulah Abi. Dia pegang selang aja sampai terlepas, lihat saja bajuku basah semua seperti ini.” Dwi hanya tersenyum tidak berani melanjutkan pertanyannya. Abi memang ajudan paling muda yang tinggal di rumah, usianya tidak jauh beda dengan Luna, hanya terpaut 1 tahun dengan putrinya.
Tidak lama Luna turun dengan dress berwarna merah marun, kacamata hitam dan sepatu hills yang melengkapi penampilannya.
“Ada pesta dimana siang-siang bolong begini Nak?” Tanya Dwi heran.
“Mih, memangnya hanya ke pesta aku berdandan cantik begini.” Menuruni tangga dengan hati-hati. “Aku mau menunjukkan siapa Luna, calon istri dari Ivar Samuel Latif.” Mengangkat dagunya tinggi.
“Kau tidak ada jadwal kuliah?” Prabu tidak suka putrinya berpakaian terbuka. Luna menggeleng. “Jika keluar dengan pakaian seperti itu Ayah tidak akan ijinkan, pakai baju yang tertutup.”
“Tapi Yah....” Prabu menggeleng dengan mata tajamnya.
“Iya...iya, aku ganti.” Dengan kecewa Luna mengganti gaunnya dengan celana jeans dan kaos putih, tidak lupa kacamata hitam dan sepatu kets berwarna putih polos merk Adidas.
“Nah begitu kan cantik.” Luna tersenyum hambar. “Ingat! Jangan buat masalah, atau Ayah tidak akan ijinkan Luna keluar selama satu tahun.”
“Iya tenang saja, Ayah ini suka sekali mengancam.” Prabu tersenyum melihat wajah Putrinya yang cantik jelita.
Prabu menggandeng tangan Luna mengantarkannya ke halaman. “Abi.”
“Siap Tuan.” Badan tegak, pandangan mata lurus menatap kedua sepatunya sendiri.
“Jangan pulang terlalu malam, jika Luna melakukan kejahatan segera laporkan.”
“Siap, laksanakan.” Abi masih sangat kaku, dia bersikap seolah sedang bertugas di markas besar.
“Ayah suka sekali curiga pada anaknya sendiri.” Protes Luna tidak terima.
Dengan bermodalkan alamat yang Luna dapat dari orang suruhannya, Luna meluncur ke alamat yang tertera di kertas catatannya. Ini pertama kalinya Luna datang menghampiri wanita yang menjadi saingannya.
“Siap.”
“Ih si Abi ini, kau membuatku jantungan saja. Bicara saja langsung.” Luna tersentak kaget Abi bicara tiba-tiba.
“Maaf Nona, mobil tidak bisa masuk ke dalam.” Luna melihat jalanannya memang cukup sempit.
“Ya sudah, kita jalan kaki saja.” Segera Abi memarkirkan mobilnya di tepi jalan.
Abi berjalan di belakang Luna, pandangan matanya mengedar kesana kemari memastikan keamanan Luna.
Perumahan padat penduduk yang Luna lewati sedang ramai, jam anak sekolah pulang dan para Ibu-Ibu sedang berbicang-bincang dengan para tetangga.
“Abi, cepat tanya di mana ruman wanita bernama Nindi.”
“Siap! Laksanakan.” Abi menghampiri segerombolan Ibu-Ibu.
“Maaf bu.”
“Iya Mas ganteng.....” Jawab Ibu-Ibu serempak sampai membuat Abi tersipu. Senyumnya membuat para Ibu-Ibu terpesona.
“Jangan senyum begitu Mas, Nanti saya jatuh cinta.”
Huuuuuu....
“Ingat Rin, mas Agus Rin.”
“Abi Cepat!” Teriak Luna dengan suara tertahan, Luna tidak tahu Abi juga sedang bingung.
“Ibu Maaf.”
“Iya Mas di maafkan.”
“Gini Bu, saya mau tanya alamat rumah Mbak Nindi.”
“Oh, itu mas yang rumahnya cat warna biru.” Jawab salah seorang yang mengenal Nindi. “Walah itu Hanna kok di luar. Itu Mbak yang ada anak kecil di depan rumah.”
Tanpa menunggu Abi, Luna meluncur menghindari Ibu-Ibu heboh. Gimana kalau mereka melihat ketampanan wajah Ivar, bisa-bisa mereka kena serangan jantung.
“Anak kecil. Dimana Kakak Nindi.” Sapa Luna yang baru saja tiba di depan rumah Nindi.
“Sedang jalan pulang, kata Ibunya Aisyah sebentar lagi sampai.” Jawab Hanna tanpa berpikir panjang. “Tante mau duduk?”
“Tante, enak saja. Panggil aku KAKAK.” Dengan suara pelan namun penuh penekanan. “Memang wajahku seperti tante-tente!” Bicara dengan dirinya sendiri.
“Anak kecil, kau mau minum?” Hanna menggeleng. “Kalau mau aku belikan di warung itu.” Tunjuknya di warung Ibu Surtini yang tidak jauh dari rumahnya.
Hanna menimang, tidak boleh menerima makanan dan minuman sembarangan, takut orang jahat. Pesan Nindi terngiang di kepalanya.
“Mau.” Dahaga mengalahkan pendiriannya. “Apa boleh aku saja yang beli Tuan.”
“Iya boleh.” Abi setuju. Hanna masih berdiri dan tidak bergerak sambil menatap Abi. “Kenapa?”
“Aku menunggu Tuan memberikan uanganya.” Luna menahan tawa karena Abi bertingkah konyol seperti biasanya. Abi merogoh kantong celananya, mengeluarkan lembaran pecahan Rp.20.000,- dan menyerahkannya pada Hanna.
Hanna tidak hanya membli air minum untuk dirinya, tapi juga untuk kedua tamunya. Pasti mereka juga haus sama seperti Hanna.
“Ada siapa itu Han?”
“Gak kenal Bu, katanya mencari Tante Nin.”
“Oh Gitu, Tante Nindi sebentar lagi katanya Han. Kalau tamunya mau duduk suruh tunggu di teras rumah Ibu saja.”
“Nanti Hanna tanya dulu ya Bu.” Jawab Hanna sopan. “Ini Bu uangnya.”
Hanna menyodorkan air mineral pada Luna dan Abi, keduanya menerima. Luna sendiri tidak tega jika harus bersikap tidak baik pada anak kecil seperti Hanna.
“Tan..eh Kakak, kata Ibu Surtini kalau mau duduk boleh di teras rumahnya.”
“Tidak usah, duduk di sini saja.” Menunjuk tempat Hanna tadi duduk. Hanna ikut duduk di sebelah Luna, menunggu Nindi lama mata Hanna tiba-tiba saja mengantuk. Kepalanya perlahan menyender pada tangan Luna yang ada di dekat kepalanya. Luna tidak tega, melihat Hanna seperti ini membuatnya tersentuh.
Luna menempatkan kepala Hanna di pangkuannya.
Nona ternyata baik juga, biasanya kerjaannya hanya marah-marah dan membuat masalah. Abi apa yang kau pikirkan, beraninya kau mengagumi putri atasan mu. Abi menggelengkan kepalanya.
Dari kejauhan suara Ibu-Ibu yang memanggil nama Nindi terdengar bersautan. Luna melihat wanita cantik berjalan setengah berlari menuju ke arahnya.
“Ya Tuhan Hanna” Nindi berusaha mengangkat tubuh Hanna namun tidak berhasil.
“Nona buka saja pintunya, saya bantu angkat adik kecilnya.
“Maaf jadi merepotkan.”
Sebenarnya tujuan utama aku datang kemari untuk apa? Kenapa malah aku jadi kasihan pada mereka ini. Luna menggaruk kepalanya yang gatal karena kepanasan.
“Terimakasih banyak ya Tuan, Nona. Maaf, apa benar mencari saya?” Tanya Nindi dengan sangat lembut.
“Kau wanita yang mengangkat telpon tunangan ku?” Nindi terkejut mendengar wanita yang ada di hadapannya adalah tunangan Ivar yang salah paham.
“I..Iya Nona, aku bisa jelaskan. Aku....”
“Kau tidak bisa memilikinya, kau tidak bisa jadi saingan ku. Kau mengerti!” Nindi mengangguk.
Siapa pula yang mau menjadi saingan, Tuan Ivar yang menjawab dan membuat tunangannya salah paham begini.
“Jangan memaksaku bertindak diluar batas. Kau yang harus menjauh dari Ivar jika perlu. Tolak bagimana pun caranya.”
“Luna!”
Luna dan Nindi terkejut melihat Ivar tiba-tiba saja ada di sana. Wajah Luna memerah menahan amarah. Ivar bahkan muncul di siang bolong bersama dua rekan kerjanya.
“Hay Luna, sudah lama tidak pernah kelihatan di markas.” Sapa Ezra dengan polosnya, Abrar menarik mundur tubuh Ezra. Membisikkan jika suasana tidak baik saat ini, ada cinta segitiga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments