“Tante Nin…..” Teriak Hanna memanggil Nindi yang ada di kamar mandi.
“Tante……, ada tamu.” Hanna menyapa tetangga yang datang berkunjung.
“Tunggu sebentar ya tante, tante Nin sedang di kamar mandi.”
“Hanna yah namanya?” Hanna mengangguk. “Tante ini mamah nya Lula, temen sekolah Hanna.”
“Ohhhh…..masuk tante.” Mendengar Nama Lula yang tidak asing, Hanna membukakan pintu. “Tante tau darimana aku pin…”
“Halo Hanna” Lula muncul di balik pintu. “Aku beli jajanan sebelum ke sini.” Plastik besar penuh dengan makanan ringan.
Hanna masih menjaga gensi tidak menyentuh jajanan di depan matanya sebelum Nindi keluar. Hanna menyiapkan minuman untuk dua tamunya. Hanna memang meceritakan kepindahannya pada ketiga sahabatnya, Lula salah satunya. Rumah Lula dekat dengan kontrakannya saat ini. mungkin itu alasan mereka datang.
“Maaf menunggu lama.” Suara Nindi memecah keheningan. “Saya Nindi Tante.” Nindi menyalami tamunya dan tersenyum ramah.
“Iya, saya Ira Mamah nya Lula.”
“Oh iya, Hanna sering cerita tentang Lula.” Mata Hanna menyipit, seingatnya Hanna jarang membicarakan teman-temannya. Nindi yang menyadari pandangan mata Hanna memberikan kode agar Hanna diam saja.
“Iya Mbak Nindi, saya turut berduka ya Mbak. Lula cerita kalau Hanna sekarang sering diam sendiri di dalam kelas.” Ujung bibir Hanna dan Lula terangkat tidak percaya. “Kasihan Hanna.” Mamah Lula mengusap kepala Hanna yang duduk di sebelahnya.
Pembicaraan orang dewasa banyak tidak masuk akal dan di buat-buat. Hanna memilih mengajak Lula duduk di teras rumah kontrakan kecilnya membawa jajanan yang Lula bawa.
“Kenapa beli banyak sekali?” Padahal senang dalam hati.
“Mumpung boleh.” Jawab Lula singkat.
“Apa ini enak?” Lula mengangguk.
“Ambil semuanya, aku nanti minta Mamah belikan lagi.”
Yeayyyy…..
Hanna bersorak senang. Dapat jajanan gratis tanpa harus merogoh koceknya sendiri. Tidak lama Lula dan Mamah nya pamit pulang. Hanna kembali membantu Nindi yang sedang mebereskan barang-barang bawaan mereka.
“Tante, kita belum makan siang. Aku lapar.” Nindi menengok jam dinding yang masih tergeletak di lantai.
“Benar, ayo kita cari makan siang dulu.”
Hanna dan Nindi bergegas menuju rumah makan padang terdekat. Ada paket serba Rp.10.000,- disana. Mata kedunya beredar memilih menu apa yang mereka makan hari ini.
“Aku ayam bakar.”
“Tante makan ikan kembung saja.” Segera pelayan membungkus pesanan Nindi dan Hanna.
“Tante, apa boleh aku kentut si sini?” Bisik Hanna. Hanna tidak bisa menahan angin yang mondar-mandir di perutnya.
“Boleh. Asal jangan bersuara.” Bisik Nindi.
Hanna tidak yakin suara kentutnya kecil, tapi sudah melilit di ujung tidak bisa di tahan.
Duttt…tiittt…dutt…
“Hahahaa….” Nindi tertawa dan segera menarik Hanna ke belakang barisan.
“Maaf.” Nindi menahan malu, banyak wajah-wajah tersenyum di sana.
“Aku kira tidak bunyi, karena sudah terlanjur aku sekalian saja lepaskan semuanya.” Menjelaskan sebelum Nindi bertanya. Dengan polos Hanna tersenyum tanpa rasa bersalah.
Nasi padang berhasil memenuhi perut dua insan yang kelaparan. Istirahat sebentar sebelum melanjutkan pekerjaannya.
“Han…memang benar Hanna suka melamun di dalam kelas?” Penasaran.
“Tidak. Itu bisa-bisanya Mamah Lula saja supaya ada bahan pembicaraan.” Nindi kaget. Dia duduk tepat di depan Hanna dengan matanya yang membulat.
“Kanapa punya pikiran seperti itu? Mamah nya Lula sudah baik memperhatikan kita. Hanna tidak boleh punya pemikiran seperti itu.” Nindi memeluk Hanna dengan erat.
Nindi menasehati Hanna agar punya pikiran yang baik terhadap orang lain. Lebih baik berfikir positif agar isi kepalanya dipenuhi energi-energi positif. Keduanya terlelap dengan perut kenyang setelah bicara cukup lama.
***
Sore yang sedikit mendung, di Mabes Polri sedang berkumpul anggota kepolisian yang mendiskusikan kasus demi kasus. Termasuk kasus kecelakaan Cakra yang ada unsur sabotase. Sore ini anggota yang mendalami kasus akan melakukan kunjungan ke rumah keluarga korban.
“Sedang apa kau di sini Var?” Ezra kaget melihat Ivar ada di dalam mobilnya.
“Aku ikut kalian.”
“Bilang saja kau tidak ada kerjaan Var….Var.” ledek Abrar yang sudah kenal betul siapa Ivar.
Sesampainya di lokasi, ketiga anggota kepolisan dengan pakaian bebas dikejutkan plang selebar 2 meter bertuliskan “Rumah Disita”
“Aku Tanya warga sekitar.” Ezra cepat mengambil langkah.
Beberapa orang yang Ezra tanyai tidak tau dimana keluarga Cakra berada. Mereka bertiga memutuskan makan siang di warung padang dekat perumahan. Ezra dan Abrar makan dengan lahap kecuali Ivar yang hanya minum teh manis hangat.
“Tuan-tuan ini bukan warga sini yah?” Tanya pemilik warung kepo.
“Bukan Pak, kita sedang mencari alamat tapi orangnya sudah pindah.” Jawab Abrar ramah.
“Ohhh begitu. Silahkan dilanjutkan Tuan-tuan.”
“Pak, apa mungkin bapak tau dimana keluarga Bapak Cakra pindah?” Pemilik warung yang sudah hendak pergi kembali berbalik.
“Oh Pak Cakra yang sudah meninggal?” Aduh, jangan-jangan mereka mau menagih hutang. “Saya kurang ta..tau Tuan.” Pemilik warung bergegas meningalkan ketiga pemuda yang menanyainya.
“Sepertinya dia tau, wajah mu seram Brar jadi Bapaknya kabur. Hahahaha” Ledek Ivar.
Akhirnya Ezra memutuskan menanyakan dengan ramah pada pemilik rumah makan yang benar saja tau keberadaan keluarga Cakra berada.
“Aku dapat alamatnya.” Ezra dengan bangga meletakkan alamat yang sudah dia catat di atas kertas.
“Itu bukan alamat, itu seperti peta jalanan.”
“Hahhaha, bapaknya tidak tau alamatnya dimana. Tapi dia tau jalannya, jadi dia memberiku petunjuk jalan.”
“Sudah-sudah, ikuti saja petunjuknya.” Ivar malas berdebat, membuang-buang waktu.
Jalanan setapak mereka telusuri perlahan, sesekali bertanya rumah gadis bernama Nindi yang sedang mereka cari. Tujuan tepat berada di depan mereka sekarang.
Tok…tok…tok…
Ezra mengetuk pintu perlahan, ketukan kedua sedikit kencang karena sang pemilik rumah tidak kunjung datang. Baru saja Ezra akan mengetuk, muncul wajah gadis kecil di kaca rumah. Abrar sampai melompat kea rah Ivar, dia pikir ada hantu di sana.
“Tuan cari siapa?” Hanna membuka pintu kecil, hanya wajahnya saja yang muncul di sana. Matanya menelusuri wajah ketiga pria yang berdiri di hadapannya.
“Apa ini rumah keluarga Tuan Cakra?” Hanna masih belum menjawab. “Adik manis, tolong panggilkan orang dewasa yang tinggal bersama dengan mu.” Ezra habis kesabaran.
“Tante….!!!!” Suara Hanna mengejutkan ketiganya dan Nindi yang masih terlelap.
“Ada apa Han…” Nindi yang baru bangun terkejut, ada tiga pemuda tampan di depan rumahnya. “Selamat sore Tuan-tuan.” Nindi merapihkan rambutnya yang berarakan.
Ezra memamerkan lencananya.
Hanna langsung merentangkan tangannya lebar melindungi Nindi. “Jangan tangkap Tante Nindi.” Dengan wajah ketakutan tapi pura-pura berani.
“Hahahaha…Hanna, tante tidak melakukan kejahatan.” Nindi menurunkan tangan Hanna.
“Oh…” Wajahnya berubah datar lagi.
“Tentu saja kami datang bukan untuk menangkap Tante Nindi.” Celetuk Ivar. “Apa kami tidak dipersilahkan masuk? Kaki ku pegal.”
“Oh iya, silahkan masuk. Maaf rumah kami masih berantakan.” Nindi menggeser meja membuat ruang untuk duduk yang lebih besar.
“Langsung saja.” Abrar menatap tidak tega gadis cilik yang duduk di pangkuan Nindi. “Han..na. Bisa tolong belikan Om coklat?” Hanna menatap mata Nindi.
Tentu saja Nindi mengangguk. Sebaiknya Hanna tidak mendengar percakapan mereka. “Tolong belikan 5 coklat.” Abrar menyodorkan uang pecahan Rp.50.000,- dua lembar.
“Hanna, beli saja dua.” Nindi menyerahkan kembali uang yang Abrar kasih. “Yang satu Hanna bagi yah sama teman Hanna.” Gadis cerdas yang tau betul sedang di suruh pergi secara halus menurut saja. Pembicarannya pasti tidak akan bisa dirinya pahami juga.
“Kami bertiga yang akan mengawasi perkembangan kasus kecelakaan Tuan Cakra. Saya Abrar, ini Ezra dan ini Ivar.”
“Nindi.” Nindi menjawab dengan ramah. Dia sedikit risih dengan tatapan mata Ivar.
“Dengan berat hati harus saya sampaikan bahwa kecelakaan yang menimpa Tuan Cakra bukan murni kecelakaan. Kami masih mendalami kasusnya.” Abrar menjelaskan dengan detail. Memberikan pengertian agar Nindi menyetujui kasus Kakanya di ungap. Sesekali Nindi mengusap air matanya yang mentes.
Meski senyum terulas di bibir manisnya, kepedihan menyelimuti jiwa Nindi. Ivar sedikit tertegun, Nindi terlihat sangat tegar. Jantungnya juga berdegub cukup kencang saat Ivar menatap manik mata Nindi yang basah.
“Kenapa rumah Tuan Cakra yang lama di sita Bank?” Tanya Ezra mengulik sedikit demi sedikit sumber masalah.
“Aku tidak tau banyak, Kak Cakra tidak pernah banyak bercerita.” Nindi menyerahkan surat penyitaan yang pihak bank serahkan padanya.
“Tante….apa aku masih belum boleh masuk?” Tanya Hanna yang menunggu di luar sejak tadi.
“Kok sudah pulang Han.” Nindi mengusap sisa air mata.
“Iya, semuanya lagi pergi ikut Mamah nya arisan. Aku kan tidak punya Mamah, jadi aku gak ikut arisan.”
Semua dibuat tertawa oleh Hanna, gadis cantik yang polos dan cerdas.
“Ya sudah Nona, kami pamit pulang. Kami akan segera menghubungi Nona jika ada kabar terbaru.” Nindi mengangguk.
Ivar berjalan belakangan bersama Hanna, Ivar menjatuhkan ponselnya sengaja di tempatnya duduk. Hanna menatap wajah Ivar yang memberinya kode agar tutup mulut. Hanna tidak perduli. Orang dewasa memang suka aneh menurut Hanna.
“Loh….ponselnya Tuan tadi ada yang ketinggalan.” Teriak Nindi saat melihat ponsel teronggok di pojokan. Hanna yang sudah tau cuek saja. Memang sengaja di tinggalkan, bukannya ketinggalan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments