Ponsel yang teronggok di atas meja terus berbunyi. Nindi tidak berani mengangkatnya, Hanna apalagi. Suara berisik membuatnya sedikit terganggu.
“Han, kalau Tante angkat sopan atau tidak yah.” Hanna menjawabnya dengan menaik turunkan pundaknya. “Takut penting.” Masih sama saja jawabannya.
“Tapi ponselnya sangat berisik.”
“Benarkan, takut penting kan Han…” Bicara penuh penekanan. Bukan itu maksud Hanna. Hanna menggeleng tidak percaya Nindi benar-benar bermaksud mengangkat panggilan masuk.
Nindi meraih ponsel, menghembuskan nafasnya panjang sebelum mengangkat ponsel. “Hallo”
“Bukankah ini ponselnya Ivar.” Suara wanita.
“Benar…tadi…”
“Kenapa kau yang mengangkatnya? Siapa ini? Berani sekali kau main-main dengan tunangan ku! Dasar Pelakor!!!!” Nindi menyesal mengangkat ponsel yang tertinggal. Panggilan terputus, Nindi hanya mendengar wanita diseberang telpon memakinya tanpa mau mendengar penjelasan darinya.
Ponsel kembali bordering. Ragu tapi Nindi kembali mengangkatnya. Kali ini Nindi harus menjelaskan kenapa ponsel Ivar ada padanya.
“Nona, Boleh saya jelaskan?” Wanita di seberang telfon berhenti bicara.
“Sebenarnya aku….” Ivar menyambar ponsel dari tangan Nindi yang kaget bukan main sampai mematung.
“Jangan ganggu kekasih ku.” Nindi tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ivar mematikan ponselnya. Senyumnya membuat Nindi ngeri.
“Tuan apa yang kau lakukan? Dia bisa saja salah paham.” Nindi meminta penjelasan.
“Biarkan saja, salah mu kenapa mengangkat ponsel milik orang lain!”
“Aku tidak bermaksud mengangkatnya. Ponsel mu terus berbunyi.” Nindi kesal disalahkan tanpa alasan.
“Kalau begitu terima akibatnya.” Nindi semakin kesal.
Orang dewasa memang selalu rebut tidak jelas, Hanna menutup wajah dengan buku yang sedang dia baca.
“Aku mengangkatnya karena Hanna jadi tidak bisa belajar karena suaranya terlalu berisik.” Hanna menggeleng, lagi-lagi anak kecil jadi tumbal orang dewasa mencari alasan.
“Tolong buatkan aku mie.” Ivar meletakkan kantong belanjaan di tangan Nindi. Setelah mencacinya Ivar memintanya masak mie.
Berani sekali dia menyuruh-yuruh ku. Tapi aku tidak berani marah padanya, bisa-bisa aku ditembak dengan pistol yang ada di pinggangnya.
“Tidak ada kompor, aku tidak bisa memasangnya.” Memang benar Nindi menyerah memasang kompor. Tidak semudah tutorial yang dia tonton di media social.
Ivar berjalan ke belakang melihat kompor yang masih berantakan di atas meja. Pasti sulit mengurus semuanya seorang diri. Tanpa diminta Ivar memasang kompor sampai siap untuk di gunakan.
Baik juga laki-laki ini, sayang sekali dia sangat aneh. Jangan sampai aku punya suami seperti dia, ganteng-ganteng aneh.
Ivar duduk di depan bersama Hanna yang menatapnya tajam. “Apa ada kotoran di wajah ku?” Hanna menggeleng. “Kenapa melihat ku seperti itu?”
“Kenapa Tuan meningg…” Ivar membekap mulut Hanna.
“Jangan keras-keras, Tante Nindi bisa dengar.” Ivar melepaskan tangannya. “Aku ingin mendekati Tante Nindi, apa boleh?”
“Terserah!” Jawaban Hanna datar.
“Apa kau suka pada ku?” Hanna terlihat menimang-nimang jawabannya. “Apa aku tampan?” Kali ini Hanna mengangguk. “Benarkah?” Ivar tersenyum penuh percaya diri.
Hanna tau kriteria laki-laki tampan, dia sudah cukup besar untuk mengerti apa itu hubungan pertemanan special antara laki-laki dan perempuan. Anak-anak jaman sekarang lebih cepat dewasa, apalagi anak perempuan.
“Mie sudah matang…..” Nindi membawa panci yang penuh mie ke ruang tamu. Hanna membantu Nindi menyiapkan mangkuk dan membawa ceret berisi air putih dengan tiga gelas, sesuai dengan orang yang ada saat ini.
Mie terasa enak di situasi apapun. Ivar yang kelaparan menuangkan mie beberapa kali ke mangkuk miliknya tanpa rasa malu.
“Makan sayur juga Tuan, biar bergizi apa yang masuk ke dalam tubuh Tuan.” Ivar tersenyum mendapat perhatian dari Nindi.
“Apa kalian pacaran?”
Uhukkk…uhukkkk…
Nindi dan Ivar terbatuk mendengar pertanyaan Hanna.
“Tentu saja tidak Han, kau ini. Kita kan baru saja kenal.” Pipi Nindi merona menahan malu. Bisa-bisanya Hanna menanyakan hal yang sangat memalukan.
“Apa Hanna mau punya om setampan aku?” Hanna membalas dengan senyum. Awalnya ingin mengangguk, tapi mata Nindi melotot padanya.
“Jangan membuatnya berpikir yang tidak-tidak.” Nindi menekan suaranya. “Hanna cepat habiskan, nanti mie nya jadi lembek.” Hanna kembali melahap mie instan yang sangat enak. Melupakan apa yang baru saja dia pikirkan.
“Hanna, Om pulang yah. Jangan biarkan Tante Nindi di dekati pria lain.” Pesan Ivar dengan senyum mematikan.
“Tuan….tolong jangan memprofokasi otaknya.” Nindi segera masuk setelah Ivar keluar dari rumahnya. Geram sekali, tapi Nindi menahan di depan Hanna. Tapi tetap saja ada rasa senang diperhatikan laki-laki seperti Ivar.
Nindi merasakan jantungnya berdetak kencang, ada-ada saja. Dia hanya orang asing, tidak ada arti apapun untuk dirinya. Nindi menepuk pipinya sendiri. Sadar Nindi sadar….bukan waktu yang tepat memikirkan laki-laki.
Hanna sudah terlelap di bawah selimut tebal, meski keadaan sulit. Hanna tidak mengeluh sedikitpun. Dia melewati hari-harinya dengan penuh kebahagiaan. Nindi memeluk Hanna dalam tidurnya, tidak rela jika Hanna menderita karena dirinya tidak cakap dalam mencari nafkah. Besok harus ada perkembangan, Nindi akan mencari cara memenuhi semua kebutuhannya dan Hanna.
***
“Nak!!! Apa yang sudah kau lakukan?” Teriak Ellie pada putranya yang baru saja masuk. Ivar tidak menanggapi dan masuk ke dalam kamarnya. “Ivar!” Ivar mengunci pintu kamar malas berdebat.
“Nanti saja kita bicara, aku ingin mandi dan istirahat.”
“Lihat putra mu. Dia suka sekali mempermainkan perasaan wanita.”
“Bukankan dia putra mu juga?” Balas Edwin sambil tersenyum. “Sudah biarkan saja, toh mereka masih belum serius.”
“Apa!” Edwin sampai tersentak kaget. “Mereka pasangan yang sangat cocok Pak! Mana boleh bapak bicara seperti itu.” Edwin hanya menelan ludahnya tidak ingin melanjutkan. Argumennya akan di tolak mentah-mentah jika sudah menyangkut hubungan antara Ivar dan Luna.
Sudah sering Ivar mengacuhkan Luna yang sudah sejak lama di jodohkan dengannya. Ivar menganggapnya adik, tidak lebih. Tapi para Ibu-Ibu menginginkan hubungan lebih di antara mereka. Luna sendiri sangat menyukai Ivar dan suka sekali menyebarkan gossip pertunangan di antara mereka. Ivar cuek saja karena menganggap Luna anak kecil yang belum dewasa.
Selesai mandi Ivar menuju dapur mencari air putih karena tenggorokannya terasa kering. Dia tidak terbiasa makan makanan instan karena Ellie tidak pernah membiarkan putranya jajan sembarangan, kecuali jika sedang dinas dan jauh dari keluarganya.
“Nak, kenapa kau melukai hati Luna. Kau kan tahu bagaimana perasaan Luna, dia sangat menyayangi kamu Nak.” Ivar cuek saja menenggak air putih sampai habis satu gelas penuh. “Kau tidak dengar Mamah bicara dengan mu.” Ivar tersenyum menatap wajah wanita tersanyangnya.
“Wanita yang Ivar sayang Cuma Mamah.” Ivar mencium pipi Ibunya. Ellie masih mengikuti Ivar sampai ke kamarnya.
“Jangan terlalu kasar pada perempuan. Orang tuanya sudah sangat baik pada kita.” Ellie berdiri di belakang Ivar. Melihat wajah Ibunya cemberut di cermin Ivar jadi tidak tega. Ivar meraih tangan Ellie dan menciumnya.
“Aku sudah katakan berulang kali Mamah ku Ellie yang sangat cantik. Aku menganggapnya tidak lebih dari adik ku. Aku tidak menganggap nya perempuan.”
“Mana bisa seperti itu, Mamah sudah menjodohkan mu dengan Luna. Dia gadis yang cukup baik. Mamah mau menantu Mamah hanya Luna! Titik.” Ellie meninggalkan Malik dengan amarah. Malik yang sudah biasa mendengarnya tidak terkejut. Baginya Luna tetap adiknya.
“Ivar!” Kaka Ivar Edelweis masuk sambil menggendong putranya yang berusia 6 bulan. “Kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah?” Ivar hanya tersenyum, pasti Mamah mengadukan perbuatannya.
Ivar tidak menanggapi ocehan Kakak perempuannya, dia malah menggoda keponakan yang baru saja tidur. Mengunyel unyel pipinya yang menggemaskan.
“Ivar. Dengarkan aku.” Edel juga tidak bisa marah pada Ivar, sebenarnya bukan dia yang salah. Tapi kedua orang tuanya yang berharap Ivar dan Luna menjalin hubungan. “Apa kau tidak bisa berpura-pura saja menyukai Luna.” Ivar melotot.
“Kau mengajarkan adikmu perbuatan tercela, apa yang akan Kak Ayman katakan.” Edel menjitak kepala Ivar. “Kau seperti Samson.”
“Ivar…..kau selalu saja mengejek Kakak.” Akhirnya bukan ribut keduanya malah bercanda, Edel sangat menyayangi adik semata wayangnya. Baginya Ivar separuh nafasnya.
“Aku sepertinya jatuh cinta pada pandangan pertama.” Edel yang sudah di depan pintu akan keluar berbalik dengan kecepatan super. Wajahnya berbinr-binar.
“Apa aku tidak salah dengar?” Edel duduk di samping Ivar yang terlentang di atas kasurnya. “Siapa? Apa dia cantik?” Ivar hanya tersenyum. “Ihhhh…dasar bucin, kenalkan pada ku.” Edel tidak sabaran sampai merampas paksa ponsel dari tangan Ivar.
Semakin mencari Edel semakin tidak menemukan apapun, jangankan foto, chat nya saja tidak ada. “Kenapa hanya ada foto-foto anak kecil.” Edel bingung, tumben sekali Ivar mau berfoto selfi. “Siapa dia?”
Ivar lagi-lagi tersenyum, dia benar-benar sedang kasmaran. Edel yang melihat wajah Ivar jadi ikut bahagia.
“Kau tau, dia kunci mulusnya perjalanan cintaku.” Edel menoyor kepala Ivar yang ada di pangkuanya.
“Jangan memanfaatkan anak kecil. Kau ini.” Setidaknya adiknya normal, dia tertarik pada perempuan.
“Sudah jangan lama-lama di sini. Kasian Jason.” Ivar tidak berhenti menciumi kepala Jason yang wangi.
Edelweis Kakak perempuan yang selalu menjaga Ivar dan mebelanya apapun keadaannya. Dia sama dengan Bapak yang tidak setuju jaman sekarang masih ada perjodohan antara laki-laki dan perempuan. Sebaiknya berikan kebebasan dan tidak menekan seorang anak agar mau melakukan apapun yang menjadi keinginan orang tuanya.
Edel sering mberikan nasehat pada Ellie, namun nasehatnya di anggap angin lalu. Tekad Ibunya sudah bulat untuk menjodohkan putra semata wayangnya dengan putri sahabatnya. Baginya tidak ada lagi menantu idaman selain Luna. Dia gadis yang cukup baik, tapi sikapnya yang kekanakan membuat Edel terkadang merasa tidak nyaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments