Nindi manaruh beberapa lamaran kerja di butik yang siapa tau saja membutuhkan karyawan paruh waktu. Meski sangat kecil kemungkinan dirinya diterima, apalagi Nindi sambil kuliah. Tapi tidak apa mencoba, banyak hal yang tidak mungkin bisa saja terjadi.
Selesai juga akhirnya menaruh lamaran pekerjaan di tempat terakhir. Nindi meneguk segelas es the manis yang dia beli di warteg dekat kosannya.
Kebanyakan pengunjung warteg makhluk berjakun, Nindi menunduk saja agar tidak ada yang main mata dengannya. Mungkin itu cara mereka melepas penat, menggoda gadis-gadis remaja sebagai hiburan semata. Kadang pemilik warteg menegur jika menggoda Nindi keterlaluan, Nindi hanya tersenyum sekilas sebagai penghormatan pada orang yang lebih tua.
Rata-rata penghuni Warteg kenal dengan Nindi, karena semenjak pindah Nindi sering mampir untuk membeli makanan. Wajah Nindi yang cantik dan murah senyum jadi mudah di ingat oleh para pengunjung warteg.
“Mbak Nindi, ini es jeruk jadi gak asem. Manis kaya senyumnya Mbak Nindi.” Rayu laki-laki berjaket hijau yang sekarang banyak berseliweran di Jakarta.
“Jangan percaya Mbak, dia anaknya sudah 2. Sama saya saja yang masih perjaka.” Balas teman lainnya.
“Jangan mau mbak, ra due duit alias melarat.”
Hahahaahha……
Nindi hanya ikut tertawa mendengar lawakan para lelaki yang sedang beristirahat makan siang. Mereka baik meski sering menggoda Nindi. Hanna yang mereka kenal sebagai adik Nindi sering ditawari pulang bersama jika bertemu di jalan. Nindi memperbolehkan asal Hanna mengenal siapa yang mengajaknya pulang. Tentu saja Hanna hafal betul wajah-wajah kusam yang sering menggoda Tante Nindi.
Ponsel Nindi berdering ditengah ke gaduhan, nomor yang tidak Nindi kenal masuk.
“Selamat siang….baik bu….saya segera kesana.” Wajah Nindi mendung seketika.
“Kenapa Mbak Nin?” Tanya lelaki yang melihat raut wajah Nindi berubah. Nindi tersenyum sekilas.
“Gak papa Pak, saya harus ke sekolah Hanna.” Nindi merapihkan barang-barangnya.
“Saya antar ayo, saya sekalian ada antar paket ke sana.” Tawar Pak Kadin yang akan pergi ke arah yang sama.
“Tidak merepotkan Pak?” Lumayan ongkosnya gratis.
“Tidak, kan sekalian jalan.”
Pak Kadin tinggal tidak jauh dari kosan Nindi. Hanna sering di antarkan Pak Kadin karena putrinya sekolah dekat sekolah Hanna. Nindi merasa tidak enak hati, namun istri Pak Kadin juga sering menyuruh Hanna ikut saja daripada harus naik angkot ke sekolah.
“Tumben Mbak ke sekolah siang-siang?”
“Belum tau Pak, gurunya bilang ada yang ingin di bicarakan Pak.” Jawab Nindi sopan.
“Ya sudah, saya duluan ya mbak.” Nindi menyelipkan ongkos di tangan Pak Kadin.
“Terimakasih ya Pak.”
“Jangan…tidak usah neng. Kan sekalian jalan. Ini buat jajan Hanna saja.” Pak Kadin mengembalikan uang yang Nindi berikan.
Nindi bersyukur punya tetangga yang baik hati seperti Pak Kadin dan Bu Surtini. Mereka sering mebantu Nindi menjaga Hanna jika sedang ada kuliah tambahan dan harus pulang malam. Hidup tanpa sanak saudara tidak mudah di kota besar, harus kuat mental.
Nindi duduk di belakang Hanna yang di sebelahan duduk teman sekelasnya bernama Gebby. Hanna dilaporkan menjambak rambut Gabby sampai rontok. Nindi yang bingung hanya mendengarkan penjelasan wali kelas Hanna, anak kecil bertengkar ya begini. Orang dewasa yang harus menyelesaikannya dengan kepala dingin.
“Han, apa benar Hanna menjambak rambut Gabby?” Hanna tidak menjawab, wajahnya merah padam menahan emosi. “Tante Nindi tau Hanna tidak mungkin melakukanya tanpa sebab. Coba ceritakan.” Bujuk Nindi karena Hanna masih bungkam.
“Kecil saja sudah main tangan mau jadi apa nanti kalau sudah besar.” Ibu Gabby yang emosi bicara sesuka hati.
“Ibu maaf yah, jangan menyalahkan tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi.” Nindi tau betul siapa Hanna. Dia pandi, tidak pernah sekalipun dia menyusahkan apalagi berbuat yang merugikan dirinya dan orang lain. “Coba Gabby, ceritakan apa yang Gabby dan Hanna perdebatkan.” Gabby juga hanya membisu.
“Anak-anak, kalian harus cerita. Supaya permasalahnnya bisa kita selesaikan bersama.” Wali kelas Hanna mencoba bersikap netral. “Ibu tidak mau nanti ada keributan-keributan lagi seperti ini.”
Tiba-tiba saja isak tangis Hanna pecah, Nindi memeluk Hanna dengan erat. Tidak pernah sekalipun Hanna terlihat terpukul seperti sekarang. Nindi tidak bicara apapun, dia hanya memeluk Hanna. Pembicaraan tidak dilanjutkan karena guru menyarankan Nindi membawa Hanna pulang dan mencoba bicara dari hati ke hati.
Sepulang dari sekolah Nindi membawa Hanna ke taman, membeli ice cream kesukaan Hanna agar mengobati sedikit kesedihan yang sedang Hanna rasakan.
“Enak Han?”
“Enak, terimakasih Tante Nin.” Nindi mengangguk, keduanya menjilat ice cream sampai habis.
Nindi mengajak Hanna berjalan kaki pulang ke rumah. Ingin menghabiskan waktu sore bersma melepas penat. Sesekali Hanna dan Nindi mengayunkan tangannya tinggi di selingi tawa Hanna yang garing. Anak kecil jika sedih mudah sekali hilang. Mereka dalam sekejab bisa lupa dengan kesedihannya.
Tinnnn…tinnnn….tinnn…
Kompak Nindi dan Hanna menoleh mencari sumber suara.
“Ayo masuk.” Hanna menatap mata Nindi. Nindi menggeleng membuat Hanna kecewa.
“Tidak usah Tuan, kita jalan kaki saja.” Tolak Nindi dengan sopan.
“Aku tidak pernah di tolak, dan aku tidak mau ada yang menolak.” Nindi ingin sekali rasanya memaki, tidak ada juga yang minta di antar pulang. “Cepat masuk.” Suara klakson bersautan meminta Ivar segera melajukan mobilnya.
“Nona cepat naik, jangan membuat kami marah.” Teriak salah seorang yang merasa terganggu mobil Ivar yang berhenti sembarangan. Nindi mengalah daripada di amuk masa.
“Ayo jalan Tuan, macet panjang di belakang.”
“Kalian pikir aku taksi online! Salah satu duduk di depan.” Perintah Ivar, Nindi segera turun dan menempatkan Hanna di kursi depan.
Kenapalah laki-laki ini selalu muncul akhir-akhir ini. Hidup ku sudah cukup sulit saat ini Tuhan, tolong aku.
“Hanna, kau suka makan Pizza tidak?” Mata Hanna berbinar “Tatap mata ku saja.” Ivar menahan kepaka Hanna yang hendak mencari jawaban pada tantenya yang duduk di bangku belakang. Hanna mengangguk dengan senyum tiga jari di bibirnya.
Nindi senang melihat Hanna bisa tersenyum ceria lagi. Dia rela mengikuti Ivar demi keponakan tersayangnya.
Ivar memesan satu Pizza berukuran besar pilihan Hanna. Wanginya menyeruak sampai Hanna tidak tahan ingin segera melahapnya.
“Eits, Hanna kan belum cuci tangan.” Hanna menepok jidatnya sambil tersenyum. Langkah kakinya secepat kilat menuju tempat cuci piring.
“Hmmmm…..Nin, kau sudah punya pacar?”
Uhukkkk…uhukkkk
Ivar menyodorkan botol air mineral pada Nindi. “Pelan-pelan Nin, memang tidak ada yang pernah bertanya kau punya pacar atau tidak?”
“Pertanyaannya aneh, aku jadi tersedak.” Wajah Nindi memerah seketika.
Terdengar rebut-ribut dari arah belakang. Ivar yang sadar Hanna ada di sana lari kea rah keributan. “Ada apa?” Ivar menggendong Hanna yang bajunya sedikit basah. hanna terlihat menahan air matanya.
“Tuan kenapa tidak menjaganya dengan benar. Baju anak saya jadi basah semua seperti ini.” Lagi-lagi Hanna bertemu dengan Gabby.
“Maaf Nyonya Hanna pasti tidak sengaja melakukanya.” Ivar memilih menghindari wanita yang sedang marah.
“Dasar anak pembawa sial!” Ivar berhenti. Kata-kata tidak pantas untuk gadis kecil seperti Hanna.
Ivar dengan wajahnya yang garang kembali ke meja wanita yang mengatai Hanna. “Katakan sekali lagi.” Ibu Gabby membisu, dia ketakutan melihat Ivar terlihat begitu marah. “Dia teman mu?” Hanna menggeleng, Gabby tidak pernah baik padanya. Yang bersikap baik adalah teman, yang tidak berarti bukan teman, begitu menurut pemahaman Hanna.
“Tuan, sudah Tuan. Jangan di permasalahkan.” Nindi takut Hanna dijauhi teman-temannya di sekolah.
“Wanita tua seperti dia tapi pikirannya tidak lebih baik dari anak berusia 10 tahun. Jangan berani-berani menyentuh Hanna. Atau kalian akan menyesal.”Gertakan Ivar membuat Gabby takut dan menangis.
Melihat Gabby menangis, Hanna tersenyum senang. Sudah lama Gabby sering menganggunya. Dia anak yang tidak di sukai di sekolah karena sering berbuat nakal.
“Habiskan ya adik manis. Jangan takut lagi.” Nindi terharu melihat Ivar seolah tahu kegundahan hati Hanna.
“Apa aku boleh mengadu jika ada yang menganggu ku?” Ivar mengangguk.
“Simpan nomor Hanna di sini. Jika ada yang menganggu Hanna, cepat hubungi Paman.”
“Aku tidak punya ponsel.” Sambil menatap wajah Nindi.
“Hahahahha….Baiklah, berapa nomor Tuan Ivar?” Ivar merasa menang, akhirnya bisa mendapat nomor Nindi tanpa susah payah.
Memang tujuan Ivar datang kali ini ingin berusaha mendapatkan nomor Nindi. Jalannya mulus sekali seperti jalanan Jakarta di hari raya Idul Fitri.
“Hay….”
Nindy melirik ponselnya yang bergetar. Matanya melotot ke arah Ivar yang tersenyum padanya.
“Kenapa senyum mu sangat manis?”
Lagi-lagi pesan yang membuat Nindi tersipu malu, bisa-bisanya Ivar mengirim pesan padahal dia ada di sebelahnya.
“Hanna mau lagi?” Hanna menggeleng, perutnya sudah sangat kenyang sekarang.
Selesai makan Pizza Ivar mengajak Hanna berkeliling Mall sebentar, padahal alasan dia saja ingin berlama-lama dengan Nindi. Beberapa hadian Ivar belikan meski Hanna tidak memintanya. Tentu saja Ivar dengan senang hati memberikannya, Hanna yang membuatnya bisa jauh lebih dekat dengan Nindi sekarang.
“Aduh, Hanna tidur” Nindi sudah tidak kuat menggendong tubuh Hanna yang berat.
“Biar saya yang membawanya ke rumah.” Nindi menolak karena takut merepotkan Ivar.
Ivar membiarkan Nindi yang sedang berusaha mengangkat tubuh Hanna.
“Jangan memaksakan diri jika memang tidak mampu.” Perkataan Ivar seolah menampar hati Nindi. “Percaya saja pada ku.” Nindi menuruti perkataan Ivar.
Perjalanan menuju kos-kosan tidak bisa menggunakan mobil, gang ke kosan terlalu sempit, hanya bisa dilalui sepeda motor atau pejalan kaki. Nindi berjalan dibelakang Ivar yang menggendong Hanna. Pemandangan yang membuat tetangga Nindi mengira Ivar adalah kekasih Nindi.
“Mbak….pacarnya ganteng banget kaya artis Korea kesukaan saya Mbak.” Teriak Ibu Surtini dari teras rumahnya. Nindi hanya tersenyum tidak ingin menanggapi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments