"Dokter kenapa?" tegur Mika.
"Ti-tidak apa-apa ... ayo bawa pasien masuk," ucap Luna. Ia dan semua orang yang ada disana membawa Adrian ke UGD untuk mendapatkan pertolongan pertama, Joni terlihat sangat khwatir, ia tak pernah melepaskan tangan sang sahabat, meski tak ada luka yang sampai mengeluarkan darah.
~
Setelah selesai melakukan CT scan, Luna keluar dari ruangan untuk menemui Joni. sesampainya di luar ruangan, ia bisa melihat Joni duduk tertunduk di kursi tunggu. Saat menyadari kedatangan Dokter, buru-buru ia beranjak dari tempat duduknya dan melangkah mendekati Luna.
"Bagaimana kondisi teman saya Dok?" tanya Joni dengan raut wajah khawatirnya.
"Kondisinya baik-baik saja, pasien hanya mengalami geger otak ringan," ucap Luna lalu terdiam sesaat, rasanya begitu sulit untuk menanyakan satu hal tersebut, namun sebagai seorang dokter ia harus bersikap profesional, "Apa anda sudah menghubungi pihak keluarga?"
"Be-belum Dok ... Adrian pasti akan membunuh saya, jika saya memberitahu keluarganya, saya sendiri yang akan merawat dan menjaganya Dok, lagi pula semua keluarganya tinggal di luar kota," ujar Joni.
Entah kenapa Luna merasa lega. Rasanya ia belum siap untuk bertemu dengan keluarga mantan suaminya. Lalu apa dia akan siap untuk beradu pandang dengan sang mantan setelah sekian lama?
"Baiklah kalau begitu, mohon urus administrasinya karena pasien akan segera di pindahkan ke ruang perawatan."
"Baik Dok."
Luna melangkah pergi. Sesaat setelah berbalik, senyum yang tadinya terpancar kini berangsur pudar. Hatinya gelisah, pikirannya kacau saat secara tiba-tiba takdir membawanya kembali bertemu dengan seseorang yang pernah melewati mahligai rumah tangga selama seratus hari bersamanya.
Pernikahan yang hanya di dasari rasa cinta dan ego untuk saling memiliki. Hingga pada akhirnya kelabilan menghacurkan segalanya. Mereka belum siap, belum memahami apa itu rumah tangga. Lalu setelah sembilan tahun, apa rasa itu masih sama atau telah terkubur dalam kenangan pahit yang tak ingin terulang.
~
Sesampainya di ruangan, Luna mengunci pintu dari dalam. Ia melangkah duduk di kursi kebesarannya. Sesaat ia terdiam kemudian membuka laci di sisi kanan meja. Sebuah kotak kecil menjadi tujuan utama, ia mengeluarkan kotak itu dan langsung mengeluarkan isinya. Matanya fokus menatap sebuah cincin emas yang terlihat usang.
Cincin itu adalah cincin pernikahannya. Entah kenapa ia masih menyimpannya, kadang ia juga bertanya pada diri sendiri namun tak menemukan jawaban apapun. Saat kembali mengingat masa kelam, dadanya terasa begitu sesak, matanya mulai memanas. Meski berusaha mencari, ia tak menemukan satu celah untuk berdamai dengan masa lalu.
Kenapa takdir mempertemukan kita lagi, jika hanya untuk membuka luka lama maka aku harap ini untuk terakhir kalinya kita bertemu, batin Luna.
...***...
Setelah lima jam berlalu. Akhirnya Adrian sadar, ia duduk bersandar di atas ranjang rumah sakit. Joni masih disana dengan setia menemani meski mulutnya tak mau berhenti mengunyah sejak tadi. Serangan panik membuat Joni sangat lapar. Makanan yang tadinya untuk pasien kini malah dimakan olehnya.
Adrian hanya diam, dengan wajah pucat ia menatap keluar jendela yang menyuguhkan pemandangan malam di kota asing yang ternyata tak kalah indahnya saat malam hari. Sebagai seorang pencinta seni dan desain arsitektur, ia sangat menyukai pemandangan malam ketika lampu-lampu gedung pencakar langit menghiasi gelapnya malam.
"Kamu tahu, dokter yang menangani mu tadi sangat cantik, sayang kamu tidak melihatnya tadi," ujar Joni dengan mulut penuh makanan.
Perlahan Adrian menoleh kearah sahabatnya itu, "Habiskan dulu makanan yang ada di mulut mu baru bicara."
Klek.
Pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka. Joni terlihat sangat antusias, ia sampai berdiri dari tempat duduknya namun ia kembali duduk saat mengetahui jika yang datang adalah seorang perawat dan bukan Dokter yang ia harapkan.
"Selamat malam, saya datang untuk mengganti infus dan memberi beberapa obat yang harus Anda konsumsi sekarang," ucap perawat itu kepada Adrian.
"Iya terimakasih," ucap Adrian yang masih terdengar lemah.
"Sus, Dokter yang tadi kenapa tidak datang kesini?" tanya Joni tiba-tiba.
Perawat itu nampak berpikir sesaat sampai akhirnya ia menyadari jika yang dimaksud oleh Joni adalah dokter Luna, "Oh maksudnya Dokter Luna, beliau sedang di ruang operasi sekarang."
"Oh begitu, sayang sekali," ucap Joni yang terdengar lemas.
Lagi-lagi indra pendengaran Adrian terganggu saat mendengar perawat itu menyebutkan nama Luna. Ia menoleh kedepan, melihat sang perawat dengan tatapan penuh selidik.
"Luna ... nama dokter itu Luna?" tanya Adrian memastikan.
"Iya Tuan, Dokter Luna adalah dokter spesialis bedah syaraf terbaik di rumah sakit kami, besok Dokter akan memeriksa kondisi Anda," ujar perawat itu.
Adrian hanya terdiam, kemudian kembali menatap keluar jendela. Hatinya tiba-tiba saja menjadi gundah, karena sebuah nama. Tatapan matanya terlihat kosong namun pikirannya di hujani sejuta pertanyaan saat firasat mulai berbicara, jika mungkin saja Luna yang dimaksud oleh perawat itu adalah Luna yang dulu pernah menjadi miliknya.
~
Mentari kembali menyinari saat Joni dengan sengaja membuka tirai agar Adrian terbangun dari tidurnya. Perlahan ia mengerjapkan mata saat merasakan silau menembus kelopak matanya. Pelahan Adrian bangkit dan duduk di atas ranjang rumah sakit, ia merasa kepalanya sedikit sakit, mungkin karena efek benturan kemarin.
Joni meletakkan nampan berisi sarapan untuk Adrian, "Makanlah, setelah kamu selesai, aku mau pulang ke Apartement untuk mengambil beberapa baju ganti dan membeli makanan yang banyak, aku tersiksa karena kekurangan pasokan makanan."
Adrian memandangi Joni dari ujung kaki hingga ujung kepala, perlahan ia menggeleng karena melihat badan tambun sang sahabat yang selalu merasa kelaparan, "Pergilah, aku bisa makan sendiri ... aku tidak mau kamu mati kelaparan karena terlalu lama disini."
"Baiklah kalau begitu aku pergi dulu, sebentar saja," ucap Joni lalu buru-buru meraih jaketnya dan melangkah keluar dari ruangan.
Bertepatan dengan itu, seorang perawat masuk. Adrian mengerutkan keningnya heran, karena sejak kemarin ia tak pernah bertemu dokter dan sampai pagi ini, yang memeriksa kondisinya hanyalah seorang perawat.
"Selamat pagi Tuan, saya akan melepaskan infus Anda karena sore ini Anda sudah boleh pulang," ujar Mika saat berdiri di samping ranjang rumah sakit.
"Sejak kemarin hanya perawat yang memeriksa kondisi saya, apa Dokter itu sangat sibuk?" tanya Adrian dengan tatapan penuh selidik.
Mika menelan salivanya dengan sekuat tenaga. Seharusnya memang Luna yang datang untuk memeriksa kondisi pasien, tapi dengan alasan yang tidak masuk akal, Luna malah menyuruh Mika untuk pergi, Mika pun bingung harus menjawab apa.
Flashback on.
"Saya Dok ... sendiri?" tanya Mika saat Luna memberikan data pasien kepadanya.
"Iya Mika, tolong ya kaki ku sangat pegal sekali," ucap Luna dengan ekspresi kesakitan yang di buat-buat.
Mika terlihat bingung karena saat datang tadi kaki atasannya itu baik-baik saja dan berjalan dengan normal, namun rasanya begitu lancang jika terlalu banyak bertanya, "I-iya baik Dok."
"Terimakasih Mika, siang ini makan siang saya yang traktir."
Flashback off.
"Oh itu, Dokter Luna memang sangat sibuk Tuan, tapi tenang saja bukan berarti Dokter Luna menelantarkan pasien," tutur Mika.
Adrian tertunduk sesaat, ia menjadi semakin curiga dan merasa bahwa Dokter itu sengaja menghindarinya. Melihat Adrian yang hanya diam, Mika segera mencopot jarum infus yang menancap di punggung tangan Adrian. Setelah selesai Mika buru-buru keluar dari ruangan itu, entah kenapa tatapan Adrian begitu menakutkan baginya.
~
Menjelang sore, Adrian mengganti pakaian rumah sakit dengan pakain yang di bawakan oleh Joni. Ia berdiri di depan jendela, memadang kebawah dimana kendaraan dan orang berlalu lalang. Entah kenapa ia tak ingin pergi, ia masih penasaran dengan sosok Dokter yang bernama Luna itu.
"Sampai kapan kamu mau berdiri di situ, ayo kita pulang. Kertas, pensil dan penggaris sudah sangat merindukan mu," ucap Joni lalu terkekeh sendiri.
Di tengah kebisuannya tiba-tiba saja ia membulatkan mata saat melihat dari jendela lantai lima ruang rawat, seorang wanita yang sedang berjalan di halaman rumah sakit. Ia mencengkram erat kedua tangan, entah kenapa dadanya terasa sesak.
Ada rasa yang tak bisa di jelaskan setelah menemukan kembali kepingan hati yang telah terbuang. Tanpa pikir panjang, Adrian berjalan dengan cepat keluar dari ruangan rawat, meninggalkan Joni yang terlihat kebingungan.
"Ada apa dengannya? ... Jangan-jangan otaknya bergeser karena tertimpa batu, sejak kemarin tingkahnya aneh sekali," gumam Joni sendiri.
~
Adrian melangkah keluar menuju tempat dimana ia melihat Luna. Nafasnya tersengal-sengal, namun ia tidak perduli, ia tetap berjalan setengah berlari seraya menggedarkan pandangan ke sekeliling. Ia tak tahu kenapa ia begitu ingin bertemu sang mantan, namun saat rasa penasaran mendominasi, ia hanya bisa terus mencari dengan mengikuti arahan hatinya.
"Itu dia," ucap Adrian saat apa yang di cari akhirnya ia temukan juga. Ia mencoba mengatur nafas sejenak kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
Terlihat Luna sedang berbicara dengan seseorang di parkiran. Setelah orang itu pergi, ia berbalik hendak kembali masuk ke gedung rumah sakit. Namun langkahnya tertahan saat tubuh tinggi menghadang hingga mau tidak mau ia harus berhenti.
Perlahan ia mengangkat kepala untuk melihat seorang yang ada di hadapannya. Luna terlihat terkejut, matanya membulat dan mendadak ia melangkah mundur beberapa langkah untuk menjauh dari seorang laki-laki yang ia hindari sejak kemarin.
"Long time no see, Luna," ucap Adrian dengan nada suara datar dan tatapan mata yang tak bisa di jelaskan. Sementara Luna hanya diam terpaku, sekujur tubuhnya terasa lemas hingga suara itu seolah menusuk ke relung hati yang paling dalam, dimana sebuah nama telah terkubur bersama kenangan.
Setelah perpisahan yang dramatis. Akhirnya takdir kembali mempertemukan mereka, seolah semua telah di rancang sedemikian rupa. Hingga mereka bertemu lagi dengan situasi dan kondisi yang sudah berbeda. Mereka sudah sama-sama dewasa tak lagi labil seperti saat remaja. Lalu apa maksud dari pertemuan itu? Biarkan takdir mengambil alih perannya.
Bersambung 💓
Jangan lupa tinggalkan komen dan like di setiap bab Jika suka dengan ceritanya silahkan tinggalkan hadiah dan Vote ya readers, Terimakasih 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Ririn Nursisminingsih
klau masih cinta balikan aja deh
2024-09-10
0
dewi
takdir tergantung author
2023-06-28
1
dewi
praduganya Bikin ngakak 🤣🤣🤣
2023-06-28
0