Setelah merasa cukup dengan pembicaraan tersebut, Riana memilih pergi bekerja. Mungkin saja dengan bekerja ia bisa melupakan masalahnya sejenak.
"Ma, Pa, Om, saya berangkat dulu ya. Takut terlambat," pamit Riana.
Saat Riana akan mencium punggung tangan pria paruh baya yang baru ditemuinya itu, pria itu memberikan senyum hangat dan tulus. Bahkan, ia menawarkan diri untuk mengantar Riana.
"Biar Om, antar," ucapnya seraya bangkit berdiri.
"Eh, tidak usah, Om. Riana bisa sendiri kok. Gak apa apa." Tolak Riana yang bergegas pergi setelah mengucap salam.
Riana tak menunggu reaksi orang itu lagi. Mendengar dirinya dijodohkan saja, ia sudah bergidik ngeri. Bagaimana jika mereka satu mobil dan pria itu mulai meracau bahkan memintanya untuk menikahi putra beliau secepatnya?
"Aku kan masih muda, masih ingin bermain-main. Masa iya aku disuruh menikah. Yang ada aku gak bebas dong." Riana bersungut-sungut seraya melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia tak ingin pria tadi kembali menawarkan bantuan.
💦💦💦💦💦
Riana baru saja menginjakkan kakinya di depan mall tempatnya bekerja, ketika pria yang beberapa hari ini selalu bertemu dengannya.
Riana memilih melalui pintu lobby bagian lain daripada bertemu dengan pria itu. Sungguh, dirinya tidak ingin lagi berurusan dengannya.
Sialnya, Edy melihat dirinya dan memanggilnya.
"Ri," teriak Edy.
Riana berpura-pura tak mendengar panggilan Edy. Ia berusaha terus melangkah menjauhi lobby utama. Edy yang melihatnya pun mengejar dirinya.
"Hei!" Edy menepuk pundak Riana.
"Koko, bisa gak sih pelan? Sakit tahu!" sungut Riana.
Edy terkekeh melihat reaksi Riana. "Sakit ya, sini aku usap-usap," Edy mengusap pundak Riana lembut.
"Gak usah, Ko. Ayo, kita ke atas!" Riana menarik lengan Edy menuju lift.
Sepanjang perjalanan, mereka selalu melemparkan candaan.
💦💦💦💦💦
Hari yang di tunggu Riana pun tiba. Ya, setelah bertukar off dengan karyawan lain. kini Riana akan merencanakan tidur dan bermain dengan kucing kesayangan miliknya.
Baru saja Riana kembali merebahkan tubuhnya, terdengar suara pintunya yang digedor cukup kencang.
"Kak..."
Riana mengusap wajahnya kesal. Pada akhirnya, Riana membukakan pintu. Melihat wajah adiknya, membuat Riana memutar bola mata malas.
"Bisa gak sih, Lo kalau manggil itu yang sopan? Kasihan pintu kamar gua. Bisa rusak nanti kalau Lo gedornya kencang-kencang," ucap Riana dengan nada meninggi.
"Astaga, kakak gua lagi belajar gila kayaknya. Itu, mama panggil kakak!" seru sang adik seraya berjalan menjauh dari kamar sang kakak.
Riana menghembuskan nafas lelah kala mendengar, jika sang ibulah yang memanggilnya.
Setelah menutup pintu kamarnya, ia melangkah menuju ruang tamu. Saat dirinya, tak melihat keberadaan sang ibu, ia berbalik arah ke dapur. Rupanya sang ibu tengah menyiapkan berbagai hidangan yang membuat air liur Riana menetes.
"Tumben, Ma masak banyak?" tanya Riana.
"Makanya, kamu bantuin mama dong. Mentang-mentang libur, keluar kamar untuk makan sama minum aja. Selebihnya, kamu diam saja di kamar," protes ibunya.
Riana tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Ia mendekap ibunya dari belakang.
"Lepas, Kak. Sudah besar kok masih manja?"
Bukannya melepaskan, Riana justru mempererat pelukannya dan menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu.
"Mama, kapan kelarnya kalau kamu begini kak?" kembali protes sang ibu terdengar.
Riana mengecup pipi sang ibu dan melepasnya. "Ya sudah sini, Kakak bantuin."
Riana segera mengambil alih pisau dari tangan sang ibu dan meneruskan pekerjaan itu.
Hampir dua jam dirinya dan sang ibu berkutat di dapur. Riana memperhatikan setiap gerakan ibunya yang luwes dalam mengolah setiap bahan menjadi makanan yang sangat sayang bila di lewatkan.
Setelah selesai menata semuanya, Riana mulai penasaran. "Ma, mau ada tamu ya?" tanya Riana.
"Iya. Sudah, mandi sana. Siap-siap." ucap sang ibu seraya mendorong Riana ke kamarnya.
"Tamu, Mama kan? Kakak, gak perlu ikutan berarti," tolak Riana.
"Bukan, tamu kakak!"
Riana menghentikan langkahnya dan memandang ibunya dengan dahi berkerut. Rasanya, tidak ada yang menghubunginya beberapa hari ini. Jika pun ada, hanya sekedar bertukar kabar.
"Siapa?" akhirnya, pertanyaan itu terlontar setelah Riana tak menemukan jawaban.
"Nanti juga, Kakak tahu," ibunya tersenyum manis.
Mau tidak mau, Riana hanya menuruti keinginan ibunya. Tak butuh waktu lama bagi Riana untuk menyelesaikan ritual mandinya. Kini, ia sudah terlihat lebih segar.
Entah mengapa, dirinya merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Namun, ia menepis pikiran itu. Riana mengambil ponselnya dan memutuskan berselancar di dunia Maya.
Baru Lima menit ia berselancar, Riana kembali menutup aplikasi itu. Merasa bosan melihat media sosial yang tadi di bukanya. Kembali Riana meletakkan ponsel itu di atas nakas. Ia beralih menggendong kucing gembul miliknya.
"Ciko, ckckck," panggil Riana pada kucing tersebut.
Merasa tuannya memanggil, Ciko pun mendekat. Ia membelai bulu kucing itu. Tak berapa lama, pintunya kembali di ketuk.
"Ri, Mama tunggu di depan ya," ucap sang ibu.
"Iya, ma," sahut Riana.
"Ayo, Ciko," Riana menggendong Ciko dan membawanya keluar.
Masih asyik dengan kegiatan mengusap sang kucing, Riana tak memperhatikan dua orang pria berbeda generasi yang memperhatikannya.
Tatapan mereka jelas berbeda. Jika pria paruh baya itu melihatnya dengan kasih sayang, lain halnya dengan pria muda di sampingnya.
Jadi, dia orangnya? Oke. Akan ku buat dia menolak pernikahan ini. Gadis ini hanya membuatku sial setiap harinya. batin pria itu.
"Ri," panggil sang ibu seraya berbisik.
"Apa, Ma?" tanya Riana yang masih terfokus dengan kegiatannya.
Ibu Riana tersenyum canggung pada tamunya. Riana mendudukkan diri di samping sang adik.
"Geser dong!" pintanya.
Adiknya justru menatap kesal pada Riana. Dengan gerakan mata, sang adik mencoba memberi isyarat pada Riana.
"Lo, kenapa? Sakit?" tanya Riana.
Ekor matanya menangkap pandangan janggal dihadapannya. Riana menoleh dan membelalakkan mata terkejut.
Sedetik kemudian, ia tersenyum kaku. Mati, gua. Kenapa dia ke sini? Sama-sama om yang kemarin lagi?
"Siang, Om," Riana bangkit berdiri dan menyalami pria itu.
"Ini adalah calon suami kamu." ucap pria itu seraya menepuk pundak pria itu.
Riana meneguk salivanya kasar. Riana mendekati dan menyalaminya juga. Meski dengan alasan tidak enak pada pria paruh baya itu.
Setelahnya, Riana kembali duduk di samping sang adik. Oh my God! Jadi, dia orangnya? Mimpi apa aku semalam? batin nya.
"Tidak perlu terburu-buru, kalian bisa saling mengenalkan diri lebih dulu," ucap pria paruh baya itu.
"Sudah mau kawin, Kak. Kurangin dikit gila, Lo." Riana mendelik mendengar bisikan adiknya itu.
"Arkan, kamu tidak bisa menolak perjodohan ini. Dan akan Papi pastikan, kau akan menikahinya," ucap sang Papi tegas.
"Iya, Pi, Arkan tahu," lirihnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Paulina H. Alamsyah Asir
Semangat beib.. first komen..
2022-01-18
1