Setelah melihat photo dari ponsel Karina, Veren nampak berbeda. Tatapan mata wanita cantik itu seolah menyimpan kebencian yang teramat dalam. Dahi yang mengeryit itu seolah tengah menelusur sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu.
" Veren, kau apa baik-baik saja? " Tanya Karina dengan tatapan penuh tanya. Sungguh Karina tahu ada yang tidak biasa dari Veren saat melihat pria yang ia tunjukkan melalui layar ponselnya.
" Veren? " Tanya lagi Karina karena tak mendapatkan jawaban apapun dari Veren. Wanita cantik itu justru semakin fokus menatap layar ponselnya. Mendengar Karina memanggil namanya, Veren menoleh sembari mengerahkan ponsel Karina.
" Ada apa? " Veren terdiam sesaat. Sungguh dia ingin sekali mengatakan kepada Karina. Tapi adanya Denzo membuatnya harus menahan dulu.
" Tidak apa-apa. " Veren tersenyum lalu mengajak Karina dan Denzo untuk memulai sarapan. Setelah selesai, seperti jadwal harian, Veren akan mengantar anaknya ke sekolah dan menyiapkan beberapa keperluan karena Denzo akan segera pindah sekolah.
" Semoga ini pilihan terbaik. " Veren tersenyum memandangi selembar surat untuk Denzo pindah ke sekolah yang sudah di tentukan. Mulanya memang masih agak ragu, tapi karena masukan dari Erick, dia menjadi yakin akan keputusan ini. Pindah sekolah dan pindah rumah lalu berada di lingkungan baru yang terbatas akan gosip pasti akan membuat mereka hidup nyaman nantinya. Memang benar sih, orang-orang yang tinggal di apartemen pasti tidak akan memiliki kebiasaan seperti tetangga di rumahnya. Batin Veren. Setelah beberapa jam menunggu Denzo keluar dari sekolah, barulah dia kembali ke sana untuk menjemputnya.
" Ibu! " Denzo melambaikan tangan dari sebrang jalan.
" Sayang! tunggu disana! " Veren tersenyum menatap Denzo yang juga tersenyum setelah mengangguk mendengar ucapan Ibunya. Butuh beberapa saat untuk mendapati lampu merah dan menyebarang jalan, jadi Veren hanya bisa mengajak berbicara putranya dengan bahasa tubuh. Sungguh, ini adalah hal yang menyenangkan. Veren dan Denzo tersenyum karena merasa lucu tentang apa yang sedang mereka lakukan hingga seorang pria berkaca mata hitam menghampiri Denzo.
" Hei, bocah tampan? kenapa kau berdiri di sini? " Tanya Pria itu lalu melepas kaca mata hitamnya. Wanita cantik yang menggandeng lengan pria itu juga tersenyum ramah.
" Aku sedang menunggu lampu merah agar Ibuku bisa menyebrang jalan, dan menghampiri ku. " Jawab Denzo.
" Oh, baiklah. Paman kira tidak ada yang menjemput mu. " Dari seberang Jalan Veren tercengang lalu dengan cepat dia menunduk menyembunyikan wajahnya.
" Sayang, anak ini mirip dengan mu ya? " Ujar wanita yang sedari tadi menggandeng lengan si pria.
" Benarkah? " Tanyanya lalu kembali menatap Denzo dengan lebih teliti. Pria itu tersenyum karena memang ada beberapa kesamaan di antara mereka. Mulai dari bentuk matanya, alisnya, bibirnya, bentuk rahangnya, bahkan tanda lahir yang ada di pergelangan juga sama.
" Aku rasa, salah satu orang tuamu pasti mirip dengan paman. "
Denzo terdiam tanpa mau menjawab. Iya, dia sama sekali tidak pernah melihat bagaimana wajah Ayahnya. Memang dulu dia dan juga adik kembarnya sering menanyakan perihal Ayahnya karena merasa iri dengan teman-teman sebayanya. Tapi semua berubah seiring berjalannya waktu. Apalagi Ibunya selalu terlihat marah dan sedih saat dia menanyakan tentang Ayahnya. Maka mulai dari situlah dia tidak lagi memikirkan soal Ayah atau menginginkan Ayahnya lagi. Bagi Denzo, Ibunya sudah lebih dari cukup.
" Tidak. Aku mirip dengan Ibuku. " Setelah memikirkanya, maka dia menganggap bahwa ini adalah jawaban yang paling tepat.
" Benarkah? " Entah mengapa pria itu terlihat sedikit kecewa.
" Oh iya, paman adalah pemilik baru sekolah ini. Sepertinya kita akan sering bertemu ya, ana tampan. " Pria itu tersenyum lalu mengacak rambut Denzo lembut.
" Mulai besok aku akan segera pindah sekolah. Jadi pasti kita tidak akan pernah bertemu lagi, paman. " Jawab Denzo tanpa ekspresi.
" Sayang sekali. " Ucap Pria itu setelah menghela nafas nya.
Lampu merah tiba. Untunglah, Veren membawa kaca mata hitam di tasnya. Tanpa menunggu lama, Veren memakai kaca mata hitamnya lalu dengan segera menyebrang jalan.
" Sayang? " Veren mengulurkan tangannya. Denzo yang paham langsung saja menyambut tangan Ibunya dan menggenggamnya erat. Senyumnya dengan cepat terlihat Mmmanis di bibir Denzo.
" Ibu, aku mau makan burger. " Pinta Denzo.
" As you want, sayang. " Jawab Veren lalu tersenyum tanpa mau melepas kaca mata hitamnya. Mereka berjalan meninggalkan pria itu dan wanitanya di sana. Sebenarnya, saat ini jantung Veren benar-benar berdetak degan sangat cepat hingga tubuhnya sedikit gemetar.
" Ibu, tangan Ibu kenapa dingin? " Tanya Denzo yang dengan jelas bisa merasakan suhu di tangan Ibunya. Sebenarnya Veren juga tidak tahu kenapa justru dia yang merasakan ketakutan ini. Tapi saat matanya menatap ke arah Denzo, dia baru menyadari jika ketakutannya adalah kehilangan Denzo. Semua perasaan luka karena kehilangan benar-benar membuat jiwanya terguncang. Tapi adanya Denzo benar-benar adalah sebuah alasan terbesar untuknya bertahan sampai di titik ini.
" Mungkin karena Ibu merasa sedikit pusing, sayang. " Denzo mendongakkan pandangan menatap bola mata Ibunya yang terlihat tidak sinkron dengan ucapannya. Tapi Denzo adalah anak yang sudah memiliki jiwa dewasa di usianya yang baru tujuh tahun maka berpura-pura mempercayai Ibunya adalah pilihan yang benar.
" Baiklah, Ibu. Kita tidak usah beli burger. Kita langsung pulang dan istirahat saja ya? " Veren menghentikan langkah kakinya lalu menyeimbangkan tinggi badannya dengan tinggi Denzo. Dia mengusap lembut wajah anaknya lalu memberikan kecupan sayang di dahinya.
" Sayang, hari ini kita akan pindah ke apartemen. Jadi, sembari menunggu barang-barang kita do kirim kesana, kita bisa berjalan-jalan dulu sebentar dan makan. " Denzo tersenyum lalu mengangguk.
Setelah beberapa saat, sampailah mereka ke sebuah tempat yang menjual Burger dan makanan lainya. Veren dan Denzo menikmati makan siang mereka disana dengan wajah bahagia meski sebenarnya, mereka berdua tengah berpura-pura bahagia. Veren yang masih memikirkan wajah pria tadi, Denzo yang memikirkan alasan apa yang membuat Ibunya begitu aneh. Rasanya ingin sekali bertanya, tapi mengingat bagaimana Ibunya saat tertekan, Denzo memutuskan untuk menyimpan saja pertanyaan itu di dalan hati.
" Sayang, setelah ini kita langsung ke apartemen saja ya? barang-barang kita sudah akan sampai di apartemen. " Ucap veren setelah membaca pesan yang masuk ke ponselnya.
" Baik Ibu. "
Setelah selesai dengan kegiatan mereka, Veren dan Denzo langsung menuju apartemen yang akan mereka tinggali. Satu jam menghabiskan perjalanan menuju apartemen baru mereka, akhirnya sampailah mereka di apartemen yang akan mereka tinggali.
" Karina? "
" Hei? " Karina tersenyum setelah melambaikan tangan.
" Kau ada disini? bukankah kau bekerja? " Tanya Veren.
" Sahabat ku pindah rumah, jadi mana mungkin aku akan tenang saat bekerja? " Veren memeluk Karina karena dia benar-benar bahagia memiliki sahabat yang begitu pengertian seperti dirinya.
" Hah! " Karina dan Veren membanting tubuhnya ke tempat tidur karena merasa begitu lelah. Padahal, barangnya tidak terlalu banyak, tapi kenapa lelah sekali? gerutu keduanya.
" Veren, besok aku diharuskan datang ke restauran untuk membahas perjodohan dengan laki-laki kemarin. " Ucap Karina yang terlihat malas.
" Karina, bolehkah aku saja yang datang? "
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Evy
Masa lalu yang belum usai...
2024-10-26
0
Anonymous
lanjutt
2022-02-11
0
Annie
itukah ayahnya denzo
2021-12-28
2