Edgar tertawa pelan mendengar celetukan Arumi. Itulah yang membuatnya begitu tergila-gila kepada gadis dengan lesung pipi itu.
Bagi Edgar, Arumi adalah gadis yang sangat menawan dengan sikap, penampilan, dan gaya bicara yang selalu apa adanya. Meski terkadang menyakitkan, namun Arumi bukan termasuk orang yang suka berpura-pura dan selalu ingin terlihat baik.
"Inilah yang membuatku selalu merindukanmu," ujar pria dengan blazer hitam itu. Sementara Arumi bersikap semakin tidak peduli kepadanya.
"Ah ... satu lagi, Arum. Aku dengar istri kakakmu baru melahirkan. Bagaimana jika kamu temani aku mencari kado? Kebetulan aku sedang di Indonesia, jadi rasanya tidak enak jika aku tidak menengoknya," ucap Edgar lagi.
"Kamu bisa membelinya sendiri tanpa harus kutemani," tolak Arumi dengan ketus.
Edgar kembali tertawa pelan. "Ayolah, Arum! Seorang wanita pasti akan jauh lebih mengetahui hadiah apa yang cocok," bujuk Edgar. Ia berharap agar Arumi bersedia pergi dengannya.
"Lagi pula ... aku lihat kamu jauh lebih kurus dari sebelumnya. Mungkin kamu terlalu lelah dan jarang menghibur diri," Edgar memang pria yang pandai berbicara. Kata-katanya selalu terdengar manis dan sangat sesuai dengan wajahnya.
Arumi menghela napas panjang. Ia lalu mengusap-usap keningnya. Apa yang Edgar katakan memang benar adanya. Setelah semua hal yang terjadi kepada dirinya, ia sudah sangat jarang pergi ke luar meskipun hanya untuk sekedar cuci mata.
"Besok aku tidak ada acara sama sekali," ucap Edgar. "Bisakah kamu menemaniku?" Tanya Edgar dengan penuh harap.
"No!" Jawab Arumi dengan tegas.
Edgar mengangguk-anggukan kepalanya. Ia dapat memahami penolakan Arumi.
"Aku sedang sibuk," ucap Arumi lagi. Ia mengusir Edgar dengan halus. Pria itu pun tersenyum menanggapi sikap Arumi kepadanya. Ia tidak harus merasa sakit hati, karena itu merupakan hal yang sudah biasa bagi dirinya.
"Baiklah, Arum. Aku tidak ingin membuatmu semakin kesal," ucap Edgar dengan tenangnya. "This is for you," ia lalu menyodorkan paper bag yang sedari tadi dipegangnya.
"Apa ini?" Tanya Arumi seraya menerima paper bag yang disodorkan Edgar kepadanya.
"Bukan apa-apa. Itu hanya sebagian kenangan dari Paris, mungkin kamu akan menyukainya," jawab Edgar. "Bye, Arum," Edgar pun membalikan badannya dan berlalu dari hadapan Arumi. Pria itu melangkah keluar dengan cara berjalannya yang seperti seorang peragawan di atas catwalk.
Dengan tatapan nanar, Arumi mengiringi kepergian pria tampan itu, bahkan hingga Edgar melewati pintu kaca yang terbuka lebar dan menghilang di baliknya.
Arumi kemudian melirik paper bag yang dipegangnya. Ia tidak tahu apa yang Edgar bawakan untuknya dari Paris. Sebenarnya ia juga tidak terlalu peduli, apa lagi harus merasa tersanjung. Tidak sama sekali.
Kembali ke dapur, Arumi meletakan paper bag itu di atas meja. Ia masih harus menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Seorang sahabat lamanya, telah memesan lima puluh toples cookies kepadanya. Sedangkan Arumi baru menyelesaikan setengahnya saja dari pesanan itu.
Sesuatu yang sungguh luar biasa. Ia mengerjakan semuanya sendirian. Akan tetapi, Arumi sangat menikmati hal itu. Dengan menyibukan dirinya, setidaknya waktu terasa begitu cepat berlalu dan ia dapat sedikit melupakan segala kesedihan yang melanda hatinya.
Begitu juga dengan Moedya. Pria itu selalu menyibukan dirinya di bengkel. Dari pagi hingga menjelang petang, ia masih terus berkutat dengan pekerjaannya. Jika saja tidak ingat akan keadaan Ranum yang saat itu tengah sakit, maka ia pasti akan berada di bengkelnya hingga larut malam.
Sore itu Moedya sudah bersiap untuk pulang. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi Ranum yang belum juga pulih. Meskipun sudah mempekerjakan seseorang untuk merawatnya, namun hal itu tidak membuat Moedya seketika lepas tangan begitu saja.
"Ibu ingin kubelikan sesuatu?" Tanya Moedya lewat sambungan telepon.
"Belikan saja apel. Ingat pilihkan yang bagus!" Pesan Ranum. Meskipun sedang sakit, namun sikap tegasnya masih belum juga hilang.
Moedya tertawa pelan. Inilah yang akan selalu ia rindukan dari sosok sang ibu. Gaya bicaranya yang tegas dan selalu apa adanya. Sesuatu yang juga selalu mengingatkannya kepada seseorang yang telah lama ia tinggalkan.
Moedya mengakhiri perbincangannya dengan Ranum. Ia kemudian meraih jaket dan helmnya. Hingga saat ini, pria itu masih menikmati jalanan kota dengan motornya saja. Entah kenapa ia tidak terlalu tertarik dengan sebuah mobil.
Ditatapnya langit yang sudah sangat pekat. Gelap menyelimuti hari dan sepertinya hujan akan segera turun. Moedya harus bergegas jika ia tidak ingin tertahan di tengah perjalanan.
Setelah menutup bengkelnya, ia pun segera pergi meninggalkan tempat itu. Memacu motor retro kesayangannya dengan kecepatan yang cukup tinggi, Moedya berharap dapat segera sampai di rumah. Akan tetapi, sebelum itu ia harus mampir dulu ke kios buah langganannya untuk membelikan buah pesanan Ranum.
"Pilihkan yang bagus! Kamu tahu kan ibuku sangat cerewet. Dia tidak akan berhenti berkicau jika ada cacat sedikit saja. Kemarin juga aku diomeli terus menerus hanya karena tangkai apelnya patah," suruh Moedya kepada si penjual buah yang merupakan seorang pemuda yang sudah ia kenal. Ia mengeluhkan sikap Ranum yang terlalu perfeksionis.
"Siap, Bos!" Jawab pemuda dengan apron biru bergaris putih itu. Ia segera memilihkan beberapa buah apel untuk Moedya.
Selagi menunggu, Moedya berdiri di depan kios buah itu. Pandangannya terus ke sana ke mari, memperhatikan kendaran yang lalu lalang di jalan depan kios itu. Sesekali, ia juga memperhatikan para pejalan kaki di trotoar.
Sungguh pemandangan yang membosankan untuknya. Ia pun bermaksud untuk kembali ke dalam kios. Akan tetapi, tanpa sengaja tatapan matanya menangkap seraut wajah cantik yang tengah berjalan sendirian. Moedya pun mengurungkan niatnya.
Pandangannya terus ia layangkan kepada gadis cantik dengan celana jeans 7/9 nya. Gadis yang berjalan dengan sangat tenang dan seakan tidak peduli meskipun saat itu rintik-rintik hujan mulai turun dan tiba-tiba menjadi deras. Gadis yang tiada lain adalah Arumi, segera berlari mencari tempat untuk berteduh. Ia pun tampak berdiri di depan sebuah toko yang sudah tutup.
Moedya terus menatapnya, meskipun Arumi tidak menyadarinya. Gadis itu hanya berdiri menatap derasnya air hujan yang turun diantara beberapa orang yang juga berteduh di sana.
Entah permainan takdir atau apa namanya, namun ini sesuatu yang luar biasa. Moedya tidak mengerti kenapa ia harus kembali dipertemukan dengan cinta lamanya.
Moedya kemudian merogoh ponsel dari dalam jaketnya. Ia lalu mengetik sebuah sebuah pesan yang segera ia kirimkan untuk gadis di seberang jalan sana.
Lamunan Arumi seketika buyar ketika ia merasakan ponselnya bergetar. Ia pun segera merogoh ke dalam tasnya dan mengambil benda itu, lalu memeriksanya. Seketika alisnya berkerut Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Yuyun Yuningsih Yuni
serasa PDKT lagi
2021-12-12
0
IG: Saya_Muchu
udah ku fav ya thor
2021-11-10
1
Dwisya12Aurizra
ayolah balikan...
2021-11-10
2