Aku terus menenggelamkan wajahku di buku menu.
Gimana ini?! Aku nggak bisa makan di sini. Nanti Ayah bisa melihatku!
Tiba-tiba seorang pramusaji datang membawa pesananku.
Aduhh! Mana pesananku sudah jadi lagi!
Pramusaji itu menaruh nasi goreng dan es teh di mejaku.
"Mas, nasi gorengnya dibungkus aja ya. Saya nggak jadi makan di sini," ucapku dengan masih menutup setengah wajahku dengan buku menu.
Pramusaji itu sedikit mengernyit, tapi dia tetap mengangguk. "Ditunggu sebentar ya Mbak." Dia membawa pergi makananku lagi.
"Eh, Mas! Tunggu sebentar!" Aku mencegahnya pergi. "Sekalian es tehnya diplastikin ya Mas."
Pramusaji itu kembali mengangguk dan berlalu dari hadapanku.
Kemudian dia kembali dengan membawa kantong plastik.
"Makasih ya Mas." Aku meraih kantong plastik itu.
"Sama-sama Mbak."
Aku mengecek isi kantong plastik itu. Ada nasi goreng yang sudah dibungkus, plus dengan es teh.
"Eh, Mas! Tunggu sebentar!!" Aku menghentikannya lagi saat dia hendak pergi. "Boleh minta sedotannya nggak?"
"Boleh Mbak."
Dia berlalu dan kembali dengan sebuah sedotan.
"Makasih ya Mas."
Lagi-lagi dia mengangguk. "Iya, sama-sama."
Lah, tapi kan tetep aja aku nggak bisa pergi dari kafe ini. Meja Ayah kan deket sama pintu keluar!
Aku kembali duduk.
Gimana caranya aku bisa pergi dari sini tanpa harus ketahuan?!
Sudah sepuluh menit aku duduk memikirkan cara keluar dari sini tanpa ketahuan.
Padahal niatnya aku mau makan di tempat karena nggak mau pulang ke kosan.
Tiba-tiba Ayah berdiri, berlalu entah kemana. Sepertinya ke toilet.
Kesempatan bagus!
Aku bergegas keluar dari kafe itu.
Haaahh! Akhirnya aku berhasil keluar!
Aku kembali berjalan ke bangku taman di alun-alun.
Ternyata suasana malam hari di alun-alun semakin ramai.
Sebelum nasi gorengku dingin, aku harus segera memakannya.
Aku membuka bungkus nasi goreng.
"Ya ampun, aku lupa tadi nggak minta sendok plastik. Hmmh.."
Aku membasuh tanganku dengan es teh karena tidak menemukan sumber air lagi, selain orang yang diam-diam buang air kecil di sudut taman.
Astaga. Aku langsung membuang muka.
Meskipun aku sudah membuang muka, aku sempat melihat dari sudut mataku. Setelah dia buang air kecil, dia menghampiri seorang perempuan di sebuah kursi.
Kemudian dia duduk di sebelahnya. Aku bergidik melihatnya membelai pipi perempuan itu. Padahal barusan dia buang air kecil tanpa cuci tangan.
Hiihhh!
Aku menaruh nasi goreng di pangkuanku dan mulai melahapnya.
Untung tadi aku sempat minta sedotan. Kalau nggak, gimana caraku minumnya?
Aku tidak menghabiskan es tehnya, karena sisanya aku buat untuk mencuci tanganku lagi.
Kenyang. Itulah yang kurasakan setelah makan. Aku membuang bungkus makananku ke tong sampah.
Saat teringat Iren, aku kembali memijit keningku. Aku nggak tahu lagi harus gimana.
Aku kembali termenung memikirkan sebuah solusi.
Entah sudah berapa lama aku termenung di sini. Aku melihat jam dari hp.
Jam 20.01
Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi. Aku mendongak menatap langit malam yang penuh dengan bintang.
Tiba-tiba saja gerimis. Padahal tidak mendung.
Aku tetap mendongak. Kututup mataku menikmati gerimis di wajahku.
Kini gerimis itu semakin lebat. Aku masih menutup mataku.
Tiba-tiba saja gerimis itu berhenti. Aku tidak merasakan tetesan air di wajahku.
Saat kubuka mataku, ada sebuah payung di atasku. Disertai juga muncul wajah yang tak asing bagiku.
Andri!
Dia berdiri di belakangku, memayungiku dengan payungnya.
"Ngapain hujan-hujanan di sini? Yang lain udah pada neduh tuh!" ucapnya.
Aku masih dengan posisi seperti tadi, mendongak menatapnya.
"Tisa! Jadi pacar kamu itu Andri?!!"
Aku menegakkan tubuhku mendengar suara itu.
Iren berdiri tak jauh dari kami dengan tangan kanan memegang payung untuk memayungi dirinya sendiri, sementara tangan kiri memegang payung yang masih tertutup.
Apa payung di tangan kirinya itu untukku?!
Tunggu! Barusan dia mengatakan kalau aku berpacaran dengan Andri?!
Kutatap Andri yang masih memayungi diriku.
Dia pasti mengira diriku berpacaran dengan Andri karena aku dipayungi oleh Andri!
Belum sempat aku berkata-kata, Iren kembali berbicara.
"Kau tidak perlu lagi menjelaskannya padaku. Sesuai perkataanku, aku tidak akan mengejarmu lagi karena kamu sudah punya pacar!"
Setelah mengucapkan itu, Iren pergi meninggalkanku dan Andri.
Apa ini?! Aku belum melakukan apapun, tapi masalahku sudah selesai!!
Aku menatap Andri. "Makasih ya Ndri!" ucapku dengan nyengir.
Dia menatapku bingung. Dari raut wajahnya, sepertinya dia butuh penjelasan.
Aku pun menjelaskan semuanya ke Andri. Kecuali bagian dimana Iren hampir menciumku.
Tentu saja aku tidak menceritakan itu. Aku hanya menceritakan tentang Iren yang mengatakan suka padaku.
________
Keesokan harinya, aku melihat Iren dengan koper besarnya berdiri di depan pintu kamarnya.
"Iren, kamu mau kemana?" tanyaku.
"Aku mau pindah kosan Tis! Aku harus pindah dari sini, agar bisa melupakanmu," raut wajahnya terlihat patah hati.
Melihat itu, aku jadi merasa kasihan padanya.
Tapi aku segera menepis rasa kasihan itu mengingat apa yang hampir dilakukannya padaku.
"Kamu mau kemana Ren?!" Pipit yang tiba-tiba muncul langsung menghampiri kami.
"Aku mau pindah kosan," jawab Iren.
"Bukankah kamu baru pindah ke sini?! Kenapa pindah lagi?!" tanya Pipit lagi.
Iren melihat ke arahku. Aku melotot ke arahnya agar tidak mengatakan alasan dia pindah ke Pipit.
"Aku hanya ingin mencari suasana baru. Apakah aku boleh mendapatkan pelukan sebagai salam perpisahan?"
Aku mengerutkan alis mendengar permintaan Iren. Setelah aku tahu dia menyukaiku, tentu saja aku tidak mau memeluknya.
"Tentu saja boleh!" Pipit memeluk Iren.
Aku bergeming melihat mereka.
"Kau tidak memelukku Tis?!" Iren menatapku.
Tidak! Aku tidak akan memelukku!!
Pipit juga menoleh menatapku. "Iya. Tisa, kau harus memeluk Iren. Ini hari terakhir dia di sini!"
Aku masih bergeming menatap mereka berdua.
"Loh, Iren mau pindah?"
Andri tiba-tiba muncul mengagetkan kami.
Iren mengangguk. Aku menangkap eskpresi tak suka di wajah Iren. Sepertinya dia merasa cemburu ke Andri.
Syukurlah, karena kedatangan Andri aku jadi tak perlu memeluk Iren.
Sebuah taksi berhenti di depan kos kami.
"Sepertinya taksi yang aku pesan sudah sampai. Aku pamit ya." Iren menarik koper besarnya masuk ke taksi.
"Selamat tinggal semuanya!" Iren melambaikan tangannya. "Selamat tinggal Tisa."
Kami semua membalas lambaian tangan Iren.
Tak selang berapa lama, Ibu kos datang dengan seorang pria di belakangnya.
Sepertinya dia orang yang akan tinggal di kamar bekas Iren.
Pria itu bertubuh tinggi dengan perut sedikit buncit. Melihat cincin di jarinya, sepertinya dia sudah menikah. Mungkin.
"Apa sih ilmunya Ibu kos? Belum sehari kamarnya kosong, udah ada yang masuk aja!" ujarku ke Pipit.
"Tis, ada hot Dady!" Pipit berbisik di telingaku.
Aku menoleh heran ke arahnya. "Siapa hot Dady?!"
"Itu, yang barusan datang sama Ibu kos!"
Astaga. Aku mengusap wajahku mendengar perkataan Pipit.
Ya, meskipun Om itu sedikit buncit, tapi dengan badan besar dan tinggi, dia terlihat sedikit gagah.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
EkaYulianti
🤣🤣🤣🤣 dia pikir higienis
2022-10-10
1
nengrony24
lanjuuuttt dong
2021-12-25
2
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
bye iren
2021-12-18
1