Andri mendekatkan wajahnya untuk melihat luka di sudut bibirku. Wajahnya yang terlalu dekat membuatku sedikit menahan nafas.
"Jangan tegang. Ngapain nahan nafas segala? Ini bukan operasi, cuma luka kecil. Nggak usah ditahan nafasnya, ntar malah kentut lagi!"
Aku mendelik ke Andri mendengar ucapannya. Sementara Pipit malah terkekeh. Kupelototi Pipit agar berhenti terkekeh.
"Kulitmu ini tipis. Lihat pipimu sekarang, sekali tampar saja sudah biru!" ujar Andri.
Jangankan kulit tipis, kulit tebal aja kalau ditampar tangan yang besarnya kayak tadi pasti juga biru.
"Udah belum, lama banget sih!" keluhku. "Aw! Ssh! Kenapa malah ditekan?!" Aku meringis sakit ketika Andri menekan kapasnya.
"Sorry, maaf nggak sengaja!"
"Ada apa nih, kok pada di luar semua?" Mbak Putri, salah satu penghuni kos ini baru pulang kerja. Dia menghampiriku.
"Anu Mbak, tadi ada om-om datang ke sini. Dia ribut sama Mbak Lina. Kami nolongin dia, tapi Tisa malah ditampar sama om itu," terang Pipit.
"Dasar Lina! Selalu buat gara-gara! Kamu harusnya nggak usah nolongin dia Tis. Biar dia kapok! Lagian kenapa Ibu kos terus ngizinin dia tinggal di sini sih?!" Mbak Putri terlihat kesal.
"Aku akan pindah kos aja deh! Nyeremin di sini!" ucap seorang perempuan yang juga tinggal di kos ini. Aku tidak terlalu mengenalnya, sepertinya dia anak kuliahan.
"Aku akan membicarakan ini ke Ibu kos!" ujar Mbak Putri.
________
Setelah perbincangan di luar kamar tadi, aku menyandarkan tubuhku di tembok kamar.
"Kasihan Mbak Lina ya Pit. Dia jadi tidak disukai sama penghuni kos yang lain," ucapku.
"Kok kasihan sama Mbak Lina sih? Kasihan kamulah, lihat tuh pipimu udah berubah warna jadi biru! Kamu harus pindah dari kos ini Tis. Di sini udah nggak aman!"
"Nggak bisa Pit. Aku udah nyaman tinggal di sini. Udah bersih, murah lagi bayarnya," jawabku.
"Kenapa kamu selalu mempermasalahkan biaya sih Tis?! Ayahmu itu bukan orang nggak punya duit. Dia pemilik perusahaan besar. Punya restoran di mana-mana. Kamu tinggal bilang ke Ayahmu, pasti langsung dicarikan apartemen mewah!"
"Stop ya Pit! Jangan bahas itu lagi. Aku itu sudah hidup mandiri. Aku sudah pernah membahasnya denganmu! Jadi jangan dibahas lagi!"
________
Sebenarnya aku kabur dari rumah. Itu semua karena Ayahku. Dia selalu mengatur diriku. Aku paham, orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya.
'Kau harus lakukan ini, lakukan itu. Jangan begini, jangan begitu.' Itu sudah menjadi makananku sehari-hari.
Saat mendapat prestasi di sekolah pun, tidak ada gunanya. Semua temanku mengatakan itu semua berkat posisi Ayahku. Tidak ada yang mengakui kemampuanku.
Semua orang mengatakan bahwa apa yang kucapai adalah karena koneksi dari Ayah. Tidak ada yang benar-benar mengakuiku.
Saat aku mengatakan ingin hidup mandiri, Ayah menentangnya keras.
'Bisa apa kau tanpa Ayah?! Mau jadi gelandangan di luaran sana?!'
Sakit hati aku mendengar perkataannya itu. Bukankah itu artinya dia tidak percaya dengan kemampuan putrinya sendiri?
Aku tidak boleh bekerja di tempat lain. Ayah hanya mengizinkanku bekerja di kantornya. Aku pun mematuhinya.
Di kantor, banyak karyawan yang menggunjingku di belakang. Mereka bilang, aku anak manja yang selalu ada di bawah ketek Ayahnya.
Dan masih banyak lagi perkataan mereka tentangku. Aku diam tidak menggubrisnya.
Semuanya di atur sesuai kehendak Ayah. Sampai-sampai, Ayah juga mengatur perjodohanku dengan putra temannya.
Aku menolaknya dan memberontak. Tapi Ayah malah mencabut semua fasilitasku. Mobil, sepeda, rekening, semuanya dicabut.
Aku bahkan sampai tidak boleh keluar rumah sebelum hari pertemuan untuk perjodohan itu.
Sehari sebelum pertemuan untuk perjodohan itu, aku kabur dari rumah.
Aku hanya meninggalkan surat, yang isinya aku akan hidup mandiri, dan menyuruh mereka untuk tidak khawatir padaku.
Tentu saja Ayah langsung menelfonku. Menyuruhku untuk pulang dan lain sebagainya.
Sebenarnya aku rindu dengan Ayah dan Bunda. Tapi karena setiap Ayah menelfon selalu membahas tentang perjodohanku, aku jadi tidak mau pulang.
________
Hari ini aku shift siang. Aku bisa menikmati beberapa jam untuk santai.
Aku memasak ramen instan di dapur. Sambil menunggu air mendidih, kumainkan hpku.
Tiba-tiba saja ada panggilan masuk dari Ayah. Aku mengangkatnya. Meskipun aku tidak mau pulang, tapi aku akan tetap mengangkat telfon dari orang tuaku.
"Halo Ayah? Kenapa menelfonku?"
[ Apa salah seorang Ayah menelfon putrinya sendiri? ]
"Ya, nggak salah sih."
[ Pulanglah ke rumah! Mau sampai kapan kau jadi gelandangan di luar sana? ]
Kuusap wajahku dengan kasar. Kupikir Ayah menelfonku karena kangen.
"Sudah kubilang aku bukan gelandangan, Ayah! Aku punya pekerjaan!"
[ Oh ya? Kerja apa kau? Berapa uang yang kau dapat dari hasil kerja di luaran sana? Apa kau sudah berhasil membeli rumah? ]
Lagi-lagi Ayah menelfon untuk mengejekku. Setelah mengejek, pasti dia akan membahas tentang perjodohanku.
"Kalau Ayah menelfon hanya untuk mengejekku, lebih baik aku matikan saja telfonnya!"
Klik!
Aku memutus sambungan telfon. Sedetik kemudian, Ayah menelfon lagi. Segera aku menonaktifkan hpku.
Heeghh!
"Nggak sopan sekali, orang tua belum selesai bicara, udah dimatiin telfonnya."
Aku menoleh ke asal suara. Andri berdiri di depan pintu dapur dengan setelan jas rapi. Sepertinya dia baru pulang kerja.
Pekerjaan apa yang dia miliki sampai harus memakai jas rapi segala? Lagi pula ini masih jam 10 kenapa dia sudah pulang kerja?
"Kenapa ngeliatinnya gitu? Aku ganteng ya?" tanyanya.
Aku mendengus dan segera membuang muka.
"Dengan jas serapih itu, kelihatannya kamu punya pekerjaan yang bagus. Kenapa kamu memilih kos-kosan yang sempit seperti ini jika kamu punya banyak uang?" sahutku.
"Ya, terserah aku dong!"
Aku memutar bola mata. Apa yang aku pertanyakan? Jelas sekali dia akan menjawab seperti itu. Dia masuk ke dapur mengambil air minum.
"Bagaimana dengan pipimu? Apa masih sakit?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Lumayan."
"Halo semuanya!" Seorang cewek berkulit putih tiba-tiba muncul di pintu dapur.
"Kenalin, aku Iren. Penghuni baru di sini, aku baru nyampek kesini."
Ternyata anak kuliahan tadi malam itu beneran pindah ya. Kapan pindahnya? Kok tiba-tiba ada penggantinya aja.
"Hai, nama kamu siapa?" dia mendekat ke arahku.
"Tisa, salam kenal!" Aku menjulurkan tanganku untuk bersalaman dengannya.
"Andri," ujar Andri saat Iren berganti menyalaminya.
"Semoga kita bisa menjadi tetangga yang baik," wajahnya selalu tersenyum saat berbicara. Sepertinya dia orang yang periang.
Setelah berbasa-basi sebentar, Iren berlalu meninggalkan aku dan Andri di dapur.
"Kau harus hati-hati dengannya!" ucap Andri tiba-tiba.
Aku menoleh bingung. "Memangnya kenapa?"
"Kau itu benar-benar polos ya! Kau tidak lihat matanya selalu berbinar saat berbicara denganmu tadi?"
Andri lagi ngomongin apaan sih?
"Dia selalu tersenyum saat berbicara denganmu tadi!"
"Itu karena dia orangnya ramah!" sahutku.
"Bukan, dia sepertinya tertarik denganmu!"
Apa?! "Kau gila ya! Dia itu perempuan! Bisa-bisanya kamu bilang dia tertarik sama aku!"
"Ini beneran, aku bisa melihatnya dari cara dia memandangmu tadi!"
"Ah, udahlah! Aku nggak mau dengar kata-kata konyolmu lagi!" Aku menyiramkan air yang sudah mendidih dari tadi ke ramenku. Kemudian aku bergegas keluar dari dapur.
"Sa, aku nggak bohong! Cewek tadi itu beneran kelihatan kayak tertarik sama kamu!"
Sa?
Aku menoleh ke Andri. Ini pertama kalinya seseorang memanggilku dengan sebutan 'Sa' selain orang tuaku.
Andri berdiri di belakangku. Tepat di tengah pintu dapur.
"Tolong kunci pintunya karena kamu yang terakhir keluar dari dapur," ucapku sebelum aku berlalu masuk ke dalam kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Patrish
jangan jangan Andri yang mau dijodohin sama Tissa ya...
2022-10-03
1
Astuti
kayaknya si Andri ya di jodohin ma tisa deh
2022-06-20
0
Astuti
kayaknya si Andri ya di jodohin ma tisa deh
2022-06-20
0