Setelah aku mandi, kami pergi ke dapur untuk memasak nasi goreng. Pipit mulai membuat bumbunya.
"Mana sosisnya?" tanyaku pada Pipit setelah mencari keberadaan sosis di kantong plastik tapi tidak ketemu.
"Aku lupa tidak membelinya. Kita pakai telur saja ya?" jawabanya.
"Yaudah deh, nggak papa."
"Wah, ada apa nih kok rame-rame di dapur?"
Cowok penghuni baru itu tiba-tiba muncul. Eh, maksudku Andri. Tadi dia sudah memberitahukan namanya padaku kan.
"Kita lagi buat nasi goreng. Kamu mau juga nggak?" tawar Pipit.
Aku menoleh terkejut ke Pipit.
Apa? Kenapa dia main nawarin aja?
"Boleh! Aku mau."
Aku berganti menoleh ke Andri.
"Kalau gitu, tolong beliin sosis di warung ya. Tisa ingin nasi gorengnya dicampur sama sosis, tapi aku lupa beli," ucap Pipit.
Andri mengangguk tersenyum. "Oke."
Kemudian dia berlalu meninggalkan kami.
Aku mendekat ke Pipit. "Kenapa kamu nawarin dia nasi goreng?" bisikku.
"Nggak papa lah Tis, lagian nasinya juga banyak kok," jawabnya.
"Nggak sekalian aja kamu buka warung nasi goreng?" Aku sedikit menekan suaraku.
"Maaf, aku lupa!" Tiba-tiba kepala Andri nongol di pintu dapur. "Aku masih belum tahu warungnya dimana."
Aduh! Apa yang Pipit harapkan dari orang itu? Dia bahkan tidak tahu di mana letak warungnya.
Aku menghela napas. "Biar aku aja yang beli!" Kuhempas langkahku keluar dapur.
Aku menoleh ke belakang. "Ngapain kamu ikut?" Ternyata Andri mengikutiku.
"Aku harus ikut, supaya tahu letak warungnya. Jadi kalau mau beli apa-apa enak," jawabnya.
"Kan ada Indomaret. Kenapa harus ribet?"
"Indomaretnya jauh tahu dari sini," sahutnya.
Dia mensejajarkan langkahnya dengan langkah kakiku. Kini kami jalan beriringan.
"Oh iya, kalau mau laundry di sini di mana ya?" tanya Andri.
Bau-baunya orang kaya nih. Nyuci baju aja laundry.
"Kalau mau laundry, ke Ibu kos aja. Ibu kos juga buka laundry kok."
"Oh, enak deh kalau gitu."
Kami sampai di sebuah warung kecil.
"Ini warungnya, deket kan," ucapku.
"Wah, Neng Tisa. Tumben ke sini sama pacarnya? Biasanya sendiri."
Aku membulatkan mata mendengar ucapan ibu pemilik warung. Kulirik Andri. Dia malah hanya tersenyum menanggapi ucapan barusan.
"Bukan Bu! Dia bukan pacar saya. Dia ini penghuni baru di kos," terangku. "Dia nggak tahu letak warungnya, makanya dia ikut aku."
"Oh, bukan pacar tho ...." Ibu warung itu manggut-manggut. "Tapi kalian kelihatan serasi tahu!" lanjutnya.
Aku hanya bisa mendelik mendengar itu. Sebelum dia mengatakan yang aneh-aneh lagi, aku segera membeli sosisnya dan langsung bergegas pulang ke kosan.
________
Setelah nasi goreng sudah jadi, kami makan bersama di dapur.
"Wah, ada acara apa nih? Kok pada makan bareng di sini? Kenapa aku nggak diajak?" tanya Mbak Lina yang tiba-tiba muncul.
"Kami masak nasi goreng Mbak. Kalau Mbak Lina mau, masih banyak kok Mbak," ucapku.
"Wah, kebetulan nih lagi laper." Mbak Lina mengambil nasi goreng ke piring.
"Enak!" ucapnya lagi. "Aku minta dua piring ya, buat temanku yang ada di kamar."
Kami hanya mengangguk. Dia kemudian berlalu meninggalkan kami. Tiba-tiba Pipit mendekatkan wajahnya padaku.
"Tis, kamu lihat nggak barusan?"
Aku mengernyit bingung. "Lihat apa?"
"Lehernya Mbak Lina merah-merah!"
Aku membulatkan mata. Apa itu perlu dipertanyakan? Siapapun bisa melihat itu. Tanda itu bahkan memenuhi seluruh lehernya.
"Mungkin bekas gigitan nyamuk. Positif thinking aja," ucapku.
"Emang di sini ada yang ternak nyamuk ya? Nyamuknya pasti gede banget! Sampek gigitannya besar kaya gitu!" sahutnya. Pipit terlihat gemas menatapku. "Heeghh, Tisa! Jelas sekali itu bukan gigitan nyamuk tahu!"
Aku juga tahu itu. Hanya saja, aku tidak ingin membicarakannya.
"Kurasa kau perlu membeli kacamata Tis!"
"Itu tidak perlu! Kau itu yang harus membeli saringan!"
"Hah? Saringan? Buat apa?" Pipit terlihat bingung.
"Untuk menyaring mulutmu sebelum berbicara!" jawabku. Andri malah tertawa mendengar ucapanku.
Setelah acara makan-makan selesai, kami kembali ke kamar masing-masing. Tadi Pipit benar-benar seperti HRD di perusahaan. Bagaimana tidak. Dia terus saja menanyakan sesuatu pada Andri.
Mulai dari menanyakan namanya, hobinya apa, umur berapa, dan masih banyak lagi.
Dia tidak pernah kehilangan kata-kata untuk bertanya. Seakan-akan, dia sedang membaca teks di depannya. Pertanyaan terus meluncur dari bibir tipisnya.
Dan aku? Aku hanya menyimak saja. Tidak ikut nimbrung dalam pertanyaannya.
"Tisa, kelihatannya Andri tertarik denganmu deh!"
Aku mendongak dari layar hp mendengar perkataan Pipit.
Omong kosong apa lagi itu?
"Kalau aku perhatikan, Andri selalu melihat ke arahmu!" lanjutnya.
"Jangan ngomong yang aneh-aneh!" Kembali aku menatap layar hp.
"Tapi Tis, kok kamar sebelah dari tadi sepi terus ya?" Pipit menunjuk tembok sebelah kanan, kamar Mbak Lina.
Perlahan dia menggeser tubuhnya ke tembok. Lalu menempelkan telinganya di tembok itu.
Astaga! Apa yang dia lakukan? Dia menguping kamar Mbak Lina!
"Pit! Apa yang kamu lakukan?" kataku dengan suara sedikit kencang, sambil melotot ke arahnya.
"Ssst! Diamlah! Jangan ribut!" Pipit menempelkan jari telunjuknya di bibir.
"Sepertinya hari ini mereka tidak melakukannya. Kamarnya sepi sekali. Tidak kedengaran suara apapun!"
"Astaga! Apa yang kamu harapkan, dasar mesum!" Kutimpuk Pipit dengan bantal. "Ngeres banget sih otakmu!"
Pipit hanya meringis mendapati lemparan bantal itu.
"Tapi kalau denger rintihan dia yang kayak kesakitan banget gitu, aku jadi takut buat nikah Tis!"
"Heeghh! Kenapa masih ngomongin gituan sih?!" Kudorong muka Pipit dengan bantal. "Udah! Ngomongin yang lain aja!!"
BRAK BRAK BRAK!
"LINA! BUKA PINTUNYA!"
Aku dan Pipit saling pandang mendengar suara pintu yang di gebrak seseorang dengan begitu keras.
Terdengar Mbak Lina membuka pintu.
Aku dan Pipit segera mengintip dari jendela. Jendela kamarku sedikit terbuka. Untung ada kordennya, jadi kami berdua sembunyi di balik korden.
Terlihat diluar ada om-om berbadan besar. Aku ingat om itu pernah ke kos ini sebelumnya.
Mbak Lina keluar kamar dengan seorang cowok bertubuh jangkung.
"Kurang ajar kamu ya! Berani-beraninya kamu selingkuh dariku!"
BUAKK!!
Om itu meninju cowok jangkung tadi. Melawan pun percuma. Dia kalah fisik dari om itu.
"Mas! Hentikan!" teriak Mbak Lina. "Aku bisa jelasin semuanya!"
Om itu tidak menggubris teriakan Mbak Lina dan terus memukuli si cowok jangkung.
Aku deg-degan melihat perkelahian itu. Kulirik Pipit di sampingku. Sepertinya dia juga sama denganku. Terlihat dari raut wajahnya.
"Mas, cukup Mas!" teriak Mbak Lina lagi.
Sepertinya cowok jangkung itu sudah tidak sadarkan diri. Dia terkapar dan tidak bergerak sama sekali.
"Mas, aku bisa jelasin semuanya!" Wajah Mbak Lina terlihat memelas.
Plakk!
Tamparan keras mendarat di pipi putih Mbak Lina. Membuatnya jatuh tersungkur. Aku dan Pipit yang mengintip pun sangat kaget melihatnya.
"Dasar jal*ng! Setelah menghabiskan uangku, kau main di belakangku hah?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
nuna_ruu
huss, jangan nguping woi 😂
2022-01-03
1
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
mbak Lina rakus amad 🤭
2021-12-18
1
Inayah Widi Asih
hadeuuh mb lina.. gimana nih.. pilih yg mana..
2021-11-16
1