Storia 4 : Air Terjun

Aku tidak tahu apa yang mungkin bisa lebih buruk daripada ini. Tapi seperti yang ku bilang, hidupku tiba-tiba berasa seperti lepas kendali sejak aku sering menghabiskan waktuku bersama Sarah. Hampir semua teman-temanku mulai menjaga jarak, dan sering membicarakanku saat aku di belakang mereka, yang membuatku harus menghindari mereka setiap harinya. Sementara menyikapi kebersamaanku bersama Sarah diam-diam, dan tentu, dengan tetap menjaga perasaannya. Aku masih suka kabur ke luar kota. Dan itu akan tetap jadi hiburan yang paling favorit di antara kami. Meski aku tidak bisa melakukannya bersama teman-temanku lagi. Aku masih membenci tempat ini. Dan selalu berharap untuk bisa keluar dari sana. Meski sampai sekarang aku hanya bisa membayangkannya saja.

Kadang aku berharap bencana yang tiba-tiba terjadi untuk tempat itu. Ku pikir akan lebih lebih baik jika meteor yang melakukannya. Karena yang di sana tidak ada gunung berapi atau kejadian gempa bumi atau sebagainya. Bahkan, aku nyaris bisa membayangkan bagaimana kejadiannya hingga tempat tersebut hancur berkeping-keping. Yang juga turut mengisi berita-berita di surat kabar setempat. Maksudku, dengan begitu kami jadi tidak punya alasan untuk terus menetap bukan? Tapi ku rasa Tuhan mana pun takkan pernah mengabulkan doaku untuk yang satu itu. Sama halnya seperti kebiasaan kami yang suka mendoakan Otto cepat mati. Bagaimanapun juga, Welmina selamanya akan jadi tempat terpencil. Yang bahkan jika dunia sudah sangat berkembang, wilayahnya akan selalu jauh tertinggal di belakang. Namun tetap ada sisi eksotis di tempat itu yang untuk beberapa alasan bisa sedikit dinikmati. Terutama bagi mereka yang sudah terlalu lelah hidup di kota dengan segala hiruk-pikuknya.

Jadi aku pernah dengar dari teman-temanku, tentang suatu pemandangan lain di belakang desa. Yang mungkin letaknya kira-kira setengah hari perjalanan kaki. Yang juga masih masuk ke dalam kawasan hutan nasional. Sebelumnya, pemerintah setempat juga pernah memberi perhatian khusus pada tempat tersebut, mengingat banyaknya satwa liar yang harus dilindungi. Tapi belakangan, perlakukan tersebut sepertinya hanya lebih banyak berupa pembiaran. Meski lokasinya bisa dijadikan tempat wisata yang cukup menarik. Sarah sempat mengatakan padaku bahwa ia ingin sekali pergi ke tempat itu, dan ia pernah berkali-kali menceritakannya saat mampir di depan rumah. Aku tahu ia memang tidak pernah menyinggungku untuk pergi ke sana bersamanya. Tapi ku rasa seperti itulah yang bisa ku tangkap dari ucapannya.

Jadi ke sanalah kami pergi di pertengahan bulan waktu itu.

Sebetulnya, ide tersebut tidak datang dari kami sendiri. Tetapi dari teman-temanku yang lebih dulu mengusulkannya. Meski pun kali ini mereka tidak secara terang-terangan ingin mengajakku. Bahkan ini pertama kalinya aku merasa bukan lagi bagian dari mereka. Yang menjadikan rencana itu terkesan mendadak. Namun masalahnya adalah aku yang tidak punya kendaraan atau yang mungkin bisa dipinjam. Sebelum Sarah yang lagi menjadi penyelamat. Dan di saat ia lalu menyerahkan kendaraannya untukku, ku rasa semua orang tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berpikiran macam-macam lagi. Beruntungnya, mungkin untuk mencegah hal yang lebih buruk terjadi, ia memilih naik kendaraan bersama Randy. Yang seketika membuat Randy jadi lebih bersemangat.

Hampir semua orang bersama pasangan mereka. Frans bersama Cici. Erik berdua Melia. Sementara Eddie memilih waktunya bersama Susie. Jadi hanya aku yang sendirian. Kami melewati jalan sempit, jurang terjal di sejumlah sisi. Dan harus ku akui, perjalanan ke sana memang terasa sangat melelahkan. Tapi semua kelelahan kami segera terbayar setelah sampai di sana.

Jauh dari tangan manusia, pepohonan hijau berdiri sejauh mata memandang. Yang mungkin beberapa di antaranya sudah berusia ratusan tahun. Bahkan dua orang sekali pun takkan bisa memeluknya hingga tangan-tangan mereka bertemu. Sinar matahari yang memancar juga hanya bisa tertahan di atasnya. Yang menjadikan tempat kami berpijak sedikit lebih gelap.

Udara di sana masih terasa sejuk. Bahkan jauh lebih menyegarkan dari udara pagi yang ada di Welmina. Hanya ada suara burung yang terus terdengar. Dan sekawanan suara kera. Hingga kemudian hanya terdengar desiran air. Dari posisiku, aku bisa melihat airnya yang putih jernih, yang mengalir melewati celah bebatuan yang sangat besar. Dari sana, kami meneruskan langkah kami selama beberapa meter lagi. Sebelum pertujukan yang kami cari-cari itu kami temukan.

Dan pemandangannya benar-benar terlihat menakjubkan.

"Itu dia," Erik berseru, di saat ia menoleh ke arah kami. Dia yang posisinya paling depan. Jadi tentu dia yang pertama kali melihatnya lebih dahulu.

Itu adalah air terjun, menjulang dengan ketinggian hampir lima puluh meter atau lebih, dan terdiri dari tiga buah tingkatan. Seakan alam dan waktu tiba-tiba saja berkonspirasi demi tempat ini, membuatnya punya keindahan yang memanjakan mata.

Aku segera merasakan udara yang bercampur titik-titik air di sekujur tubuhku. Bahkan dari sudut-sudut tertentu, kau bisa melihat pelangi di ketinggian yang sangat rendah. Sinar matahari yang datang membuat keindahannya tertata dengan baik. Teman-temanku, mereka bahkan tidak butuh waktu lama lagi untuk menceburkan dirinya ke sana. Aku mengusapkankan air ke seluruh wajahku, membasahinya hingga ke seluruh rambutku, hingga kesegaranku perlahan kembali. Dari posisiku, aku bisa mengawasi teman-temanku dari jauh. Aku bahkan bisa mendengar percakapan mereka secara samar, senyum dan tawa, atau teriakan mereka di kejauhan. Sebelum perhatianku tiba-tiba mulai berpaling.

Sebetulnya, kejadiannya juga tidak berjalan begitu canggung seperti yang sebelumnya ku bayangkan, tapi karena Sarah yang sejak tadi terus berlalu-lalang di hadapanku, mau tidak mau perhatianku tertuju padanya. Sama sepertiku, ia juga ikut memisahkan diri dari yang lain. Dan kali ini tengah sibuk mengambil foto-foto di sana. Aku bisa melihat wajahnya tersenyum damai, sementara kakinya terus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, kemudian mengabadikan sejumlah foto-foto lagi. Tapi yang terlambat ku sadari adalah dia yang tiba-tiba melayangkan pandangan ke sekelilingnya, sebelum menangkapku yang tanpa sadar menatapnya. Mau tidak mau aku otomatis mengalihkan pandanganku. Namun Sarah tahu apa yang ku lakukan. Ia lalu tersenyum lembut padaku, kemudian melangkahkan kakinya ke arahku. Untuk sesaat, aku bahkan tidak tahu bagaimana harusnya bersikap. Sebelum ia yang memulai pembicaraan.

"Kau tidak mandi? Airnya segar." Seketika ujarnya.

"Tidak,"

"Kenapa?"

"... Aku tidak ingin saja."

Ia menatap ke arah lain sebentar sebelum duduk di samping kananku. Bahkan aku sudah merasa was-was membayangkan apa yang kan terjadi.

"Oh...," ujarnya, tanpa serius menjawab. "Kau tidak bisa berenang ya?" Lalu tanyanya lagi. Aku bahkan sedikit terkejut saat ia mengatakan itu.

"Tidak... tentu saja aku bisa."

"Begitukah...? Maksudmu jika airnya dangkal kan?" Kali ini ia tertawa lagi.

"Aku serius... Aku tidak ingin saja. Lalu kau sendiri? Kenapa tidak ikut-ikutan mandi?"

"Aku kan perempuan. Jadi kami butuh lebih banyak privasi."

Lalu aku bergumam. "Maksudmu di alam liar begini?" Sahutku dan aku tertawa. "Ku rasa aku bisa memberimu privasi kalau kau mau." Aku memaksudkannya dengan nada bercanda. Ku kira Sarah juga mengerti maksudku.

"Enak saja! Kau tidak bisa percaya. Kau kelihatan nakal!" Namun balasnya.

"Dan kau sendiri juga bau!" Tentu saja aku masih memaksudkannya untuk bercanda. Bahkan aku masih menunjukkan ketidakseriusanku dengan tawaku. Tapi ku kira Sarah memang menanggapiku berbeda. Seiring dia yang mempertanyakan arah ucapanku. Bahkan ia coba menghirup aroma badannya sendiri.

"Enak saja. Ini bau harum tahu!" Sahutnya ketus. Dan aku hanya menanggapinya lagi dengan tawaku.

Ku rasa sudah pernah ku katakan jika Sarah selalu bisa jadi teman yang baik saat kami bicara. Di mana dia selalu bisa menghidupkan pembicaraan di antara kami. Tapi setelahnya, kesunyian tiba-tiba saja kembali hadir seperti tadi. Kami duduk diam selama beberapa menit lamanya. Dengan pandangan mengarah ke arah yang sama. Kali ini keheningan berisi lebih banyak kedamaian.

"Kamu tidak keberatan jika kita jalan-jalan sebentar?" Sahutku, bahkan aku sama sekali tidak sadar jika aku baru saja mengajaknya.

"Kemana?" Sekarang, aku bisa mendengar semangat dari ucapannya.

"Entahlah. Pergi melihat-lihat saja!"

Ia tersenyum sebentar sebelum menjawabku. "Baiklah," lagi sahutnya.

Aku tahu Sarah sepenuhnya sadar jika ini yang hanya akan melibatkan kami berdua. Ku kira ia juga tengah menantikan sesuatu yang menarik. Sesuatu yang disebut dengan... um... pertualangan mungkin? Bahkan ini kali pertamanya kami pernah menyelinap diam-diam bersama. Tapi aku tidak ingin memikirkannya untuk sesaat. Dan hanya ingin menikmati waktuku saja. Jadi ku rasa tidak ada salahnya jika aku melewatkannya bersama Sarah.

*********

Kami memulainya dari tepian sungai. Kali ini berjalan menjauhi air terjun. Sebelum melewati jalan setapak yang aku tak tahu berakhir di mana. Terkadang, aku harus menyingkirkan ranting-ranting tajam yang jadi penghalang kami. Aku tidak mau saja jika itu sampai melukainya. Ku rasa sebagai seorang pria, aku sudah menjalankan tugasku dengan baik. Namun sesuatu baru saja terasa mengkhawatirkanku. Tempat ini bahkan terlihat lebih membingungkan dari yang ku kira sebelumnya.

"Kau yakin tahu jalannya?" Ia bertanya saat kami berhenti sebentar di tanjakan. "Maksudku jalan kembali?"

"Ku rasa begitu?"

"Ku rasa katamu? Itu berarti kau tidak ingat!" Sahutnya, kali ini sejuta pertanyaan tergambar di wajahnya.

Namun aku coba tertawa. "Tidak apa-apa, lagipula selama kita berada di dekat sungai kan kita masih aman?" Lalu ujarku, dan memaksa diriku untuk memantapkan diri.

Ku harap ia tidak tahu bagaimana perasaanku.

"Sekarang kau berlagak pintar!"

"Ya, aku memang pintar kan!" Sahutku, dan aku tertawa lagi.

Aku kembali menuntunnya menuruni satu bukit kecil lagi di situ. Tapi tidak seperti sebelumnya, rerumputan liar di sana mulai terlihat lebih jarang. Dan hanya dipenuhi oleh pepohonan yang lebat. Bahkan sinar matahari tidak akan mampu menembus dahan-dahannya di bawahnya. Tapi lima puluh meter dari tempat itu, suasananya seketika saja segera berubah.

Aku segera bisa merasakan sengatan matahari sesaat keluar dari hutan di sekeliling kami. Dua tempat itu hanya terpisah oleh garis terang dan gelap karena situasi di sekelilingnya. Bahkan rerumputan di sana berdiri lebih tinggi dari orang dewasa. Kami melangkahkan kaki lagi mengikuti jalan setapak di hadapan kami. Yang sekarang mengarahkan kami ke arah tepian sungai. Sebelum tempat yang ku tuju itu mulai terlihat di depan mata. Dan pemandangannya juga sama terlihat luar biasanya.

"Wah..., ini tempat yang kita lihat dari atas tadi kan?" Kali ini Sarah yang kembali menyahut. Sementara ingatanku kembali pada pemandangan yang kami lihat saat di atas bukit. Saat kami melalui jalan setapak sebelum menemukan air terjun yang kami cari-cari. Ku kira usahaku sama sekali tidak sia-sia.

Kumpulan bebatuan besar terhampar luas di tempat itu. Yang luasnya bahkan hampir sama seperti separuh lapangan sepak bola. Sementara air sungai terus mengikisnya sejak pertama kali mengalir di atasnya.

"Kau menyukainya kan?" Ujarku, dan Sarah kemudian mengangguk.

"Sayang sekali yang lain tidak ikut kemari." Dan ia lalu tertawa lagi di sini.

Kami harus sedikit membasahi kaki kami lagi untuk sampai di atas bebatuan terbesar di tempat itu. Karena tempatnya yang berada di tengah-tengah sungai. Dan aku kembali membiarkan Sarah mengabadikan sejumlah foto-foto lagi di sana. Yang beberapa di antaranya bahkan melibatkan kami berdua. Aku tahu aku masih merasa rikuh saat ia coba mengambil foto-fotoku, namun aku berusaha menikmatinya. Kami lalu duduk bersebelahan lagi, kemudian diam lagi beberapa menit lamanya, membiarkan alam yang berbalik mengawasi kami sejenak. Bahkan suasananya terasa jauh lebih menenangkan sekarang.

"Oh ya Ryan..., jadi kenapa kau selalu menghindar saat berhadapan dengan teman-teman yang lain? Maksudku, akhir-akhir ini?" Aku sedikit tercengang saat ia menanyakan itu, dan segera tahu arah ucapannya. Ku kira caraku menatapnya menunjukkan ekspresiku dengan jelas. Bahkan aku juga tidak menyangka jika itu bisa menggugah rasa ingin tahunya.

Lalu aku bergumam. "Entahlah. Tapi kau tahu kan, mereka mengatakan ... kita sedang dekat?" Sahutku, dan aku mengangkat bahuku.

Mendengar jawabanku, Sarah malah tertawa. Ia lalu mengambil fotoku lagi sebelum menjawab. Membuatku berpaling ke arah yang lain. Aku justru lebih suka tidak melihat ke arah kameranya saat ia melakukan itu. Dan jangan tanyakan padaku kenapa.

"Kita kan memang dekat. Lagipula kita hanya teman. Dan kau tidak perlu terbawa ucapan mereka juga kan? Ku rasa itu yang memperburuk keadaannya."

Aku tahu apa yang dikatakannya benar. Tapi di waktu yang nyaris sama, entah mengapa, aku tiba-tiba merasa seakan ada sesuatu yang hilang saat ia mengatakan itu padaku. Meski aku tidak menyadarinya secara cepat ketika itu terjadi. Untuk sesaat, kami tidak melakukan apa-apa lagi. Sebelum tersadar jika akulah yang seharusnya kembali menanyakannya sesuatu padanya.

"Sepertinya kau suka fotografi?" Ujarku mengisi waktu.

"Hanya sekedar hobi."

"Kau tidak tertarik mempelajarinya? Maksudku ada banyak kursus bukan?"

Kali ini ia kembali tertawa, enteng saja. "Untuk apa?" Sahutnya kemudian. "Kan aku hanya menyalurkan kesenanganku. Hanya sekedar menjadikannya kenangan."

"Ya..., maksudku melihat-lihat pameran juga kan? Mungkin itu bisa memberimu inspirasi?"

"Entahlah. Dan kau sendiri, sepertinya kau tidak suka berhadapan kamera."

Aku menatap ke arah lain sebentar. Ku kira jawabannya jelas sekali karena alasan percaya diri atau semacamnya. Namun aku tidak menganggap itu sebagai jawaban yang bagus.

"Umm... ku rasa aku hanya tidak suka bergaya."

"Ya..., kau kan hanya perlu menatap kamera saja kan? Dan juga tersenyum!" Sahutnya, yang membuatku ikut tersenyum pula.

Kami berada di sana cukup lama. Setidaknya satu jam lebih menurutku. Dan kenyataan bisa berdua dengannya di sana memang tidak terlalu mengecewakan. Aku tahu Sarah tengah memikirkan dunia di sekeliling kami dalam diamnya. Membayangkan keindahan dari semua ini. Aku bahkan bisa melihat itu yang seakan bisa membawakan ketentraman baginya.

Namun aku juga tidak ingin mengganggu pikirannya ketika saat-saat kedamaian itu berlangsung. Tapi waktu tiba-tiba membuatku sadar jika kami harus segera kembali. Di langit sebelah barat, awan hitam perlahan menebal. Dan benar jika hujan takkan turun sekarang, tapi angin sore perlahan akan membawa awan tersebut tepat di atas kepala. Kali ini masih aku yang menuntun Sarah di depan. Dengan langkah yang lebih cepat dan sedikit berbeda dari yang sebelumnya. Sementara di bawah air terjun, teman-temanku telah menunggu dengan raut kesal terukir di wajah mereka.

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!