Storia 2 : Api Unggun Malam Tahun Baru

Satu hal yang menarik di Welmina, mungkin suasana tahun barunya. Meski juga tidak bisa dikatakan sangat menarik, tapi sudah cukup baik karena tidak ada hiburan lagi yang bisa dirasakan di sana. Benar saja, aku tidak melewatkan seluruh liburku di tempat itu pada masa-masa tersebut, tapi kami memang sengaja meluangkan waktu merayakannya di sana. Tempat kerjaku, sebetulnya adalah daerah yang bernama Dulin. Dua tempat itu masih satu wilayah dengan Welmina. Yang menjadi satu wilayah kecamatan. Dan jarak keduanya bahkan tidak lebih dari sepuluh kilometer. Namun perlu ku ingatkan pula padamu, jika hampir keseluruhan transportasi di tempat ini hanya bisa dilakukan melalui air. Jadi hal-hal seperti itulah yang membuat perjalanan tidak bisa diselesaikan dalam sehari semalaman.

Waktu baru saja memasuki awal Januari 2013. Di mana musim hujan sudah seharusnya mulai deras-derasnya. Tapi yang berbeda saat itu adalah musim panas yang lebih panjang dari biasanya. Sungai-sungai masih terlihat kering. Anak-anak juga masih bisa menyeberanginya dengan berjalan kaki. Sebetulnya, hujan memang sudah turun sejak satu bulan yang lalu. Tapi karena panas yang masih berasa hingga pergantian musim, bagian-bagian sungai masih banyak yang belum terisi air. Yang sepertinya adalah puncak terpanas selama lima tahun belakangan.

Di Welmina sendiri, tempat yang indah ini terletak di antara pertemuan dua buah sungai. Satu adalah sungai Welna, dan satunya lagi adalah sungai Mara. Di mana sungai Welna yang lebih kecil bermuara langsung ke sungai Mara yang lebih besar. Dan letak Dulin sendiri berada di salah satu tepian sungai Welna. Di sepanjang aliran sungai tersebut, setidaknya ada belasan desa-desa kecil lagi yang berdiri di sana. Yang keadaannya juga sama terlihat menyedihkan. Namun aku akan sangat berbohong jika mengatakan pemandangan di sana tidak ada yang menarik. Seperti wilayah di sekitaran muara misalnya. Meski keindahan geografis itu hanya bisa dinikmati jika suasananya benar-benar tepat.

Jadi kami berencana membuat acara kecil di tempat itu. Yang acaranya akan dilaksanakan pada malam hari. Sebelum mengisi sisa malam dengan makan malam di tempat terbuka. Sepertinya akan jadi acara yang menarik. Aku tidak tahu apakah Otto akan ikut serta atau tidak. Tapi jika melihat kebiasaannya, ia memang tidak pernah terlibat untuk acara-acara yang seperti ini. Jadi yang jadi pertanyaan sekarang adalah tentu saja tentang Sarah.

Jadi kami berencana membuat acara kecil di tempat itu. Yang acaranya akan dilaksanakan pada malam hari. Sebelum mengisi sisa malam dengan makan malam di tempat terbuka. Sepertinya akan jadi acara yang menarik. Aku tidak tahu apakah Otto akan ikut serta atau tidak. Tapi jika melihat kebiasaannya, ia memang tidak pernah terlibat untuk acara-acara yang seperti ini. Jadi yang jadi pertanyaan sekarang adalah tentu saja tentang Sarah.

Semua teman-temanku segera menjauh. Dan menyerahkan tugas itu untukku seorang diri. Yang tiba-tiba saja kelihatan bodoh hanya karena tidak bisa menyalakan api. Aku sudah sangat berusaha, sungguh. Satu-satunya usaha yang bisa ku lakukan. Aku menghalau udara dingin agar tidak mengganggu, menjadikan daun-daun kering sebagai bahan apinya, tapi apapun yang ku lakukan sepertinya hanya membuatnya menyala sebentar. Ditambah lagi teman-temanku yang bahkan tidak terlihat peduli. Mereka malah asik berbicara dengan para gadis, bercanda tawa, seakan lupa tujuannya kemari. Tapi yang membuatku terkejut adalah Sarah yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Aku bahkan tidak pernah tahu jika ia datang kemari.

"Kesulitan?" Tanyanya tiba-tiba. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya bersikap di detik pertama kedatangannya. Sebelum ia duduk di dekatku.

Sejujurnya, aku juga cukup senang dengan kedatangannya. Meski aku tidak berharap ia akan datang di saat seperti ini. Tapi karena ia yang sudah berada di dekatku, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja bukan? Aku lalu mengusap keringatku. Dan entah kenapa di saat kami mulai duduk sebentar di sana, waktu tiba-tiba berjalan seperti lambat sekali.

Ia menata kayu keringnya kembali, menyatukan ranting-ranting yang patah, kemudian membakarnya dengan hati-hati. Bahkan perlu beberapa kali percobaan agar ia benar-benar berhasil. Meski pada akhirnya api tetap membara. Ia lalu memasukkan kayu-kayu yang tak terbakar lagi ke dalam perapian. Dan menjaganya agar terus menyala stabil. Sementara aku duduk diam menyaksikan. Mencermatikan cara kami yang mungkin berbeda.

"Kamu pendiam sekali?" Tanyanya tiba-tiba lagi. Hal itu segera saja membuat perhatianku berbalik ke arahnya.

"Uh..., tidak."

"Kamu tahu, kata orang tua dulu, kalau belum bisa menyalakan api sendiri, berarti dia belum pantas berkeluarga," Ujarnya lagi. Dan ia tersenyum pada dirinya sendiri.

"Oh..., aku tidak tahu itu?"

"Ya, orang-orang di sini percaya begitu."

Kali ini ia menatapku. Sebelum aku bisa memahami ucapannya. "Dan kau sendiri, berapa umurmu sekarang? Dua puluh lima kan...? Kau juga belum menikah?" Lalu balasku. Dan jelas, aku sama sekali tidak bermaksud memojokkannya.

Tapi mendengar jawabanku, Sarah malah sedikit terkejut. Ia lalu menyahut, "Aku tidak tahu kalau kau tahu umurku? Ku kira selama ini kau selalu bersikap sinis?" Lalu balasnya. Dan aku bisa melihat senyumnya kemudian. Membuatku tahu jika aku telah mengucap kalimat yang salah.

"Tidak..., ku kira semua orang bisa mengetahuinya dengan mudah kan? Lagi pula siapa saja bisa melihat identitasmu di dinding kantor." Sahutku. Terpaksa mencari pengalihan lain. Dan berusaha mengatakannya sesantai mungkin. Tapi Sarah hanya mentertawakannya. Beruntungnya ia memang tidak menanggapiku lagi setelah itu. Hingga percakapan tanpa sadar berakhir.

Bulan baru saja mengintip dari balik rerimbunan hutan. Cahayanya yang perak perlahan mengubah alam terang-benderang. Tapi malam baru saja dimulai di sini. Di mana suasananya akan lebih menyenangkan lagi. Sedikit jauh dari api unggun, kami mulai menata tempat untuk kami makan malam. Karpet tebal terampar di atas permukaan pasir berbatu. Sementara di sekitar kami, udara mulai dipenuhi oleh bermacam aroma. Yang kadang berasa harum, kadang kembali segar, atau bahkan lezat kembali.

Omong-omong, hidangannya benar-benar terasa lezat. Kami memanggang ikan mas di sana, sejumlah daging, sebelum menikmatinya sebagai makan malam. Api unggun masih menyala kecil tepat di hadapan kami. Kali ini kami yang duduk mengitarinya. Dengan posisi laki-laki dan perempuan yang saling bersebelahan. Erik berada di sebelah Melia, Eddie di dekat Susie, sedang aku berada di sampingnya Sarah. Bahkan angin malam tidak terlalu kerasa lagi kali ini. Yang ada hanya kehangatan sekarang. Dan benar jika kami tidak melakukan hal-hal yang salah ketika itu terjadi, bahkan kejadiannya sama sekali tidak direncakan. Tapi saat Sarah yang tiba-tiba menuangkan segelas minuman untukku, mau tidak mau aku melihat itu sebagai isyarat yang membahayakan lagi.

Aku melihat teman-temanku mulai menatapku, dan segera tahu jika mereka meributkan itu di dalam kepala mereka. Rasa jahil yang sudah terpatri lama membuatnya begitu mudah ditebak. Aku bahkan tidak tahu jika pengaruh Otto sampai begini. Mau tidak mau aku yang harus mengisi percakapannya dengan hal-hal lain lagi. Seperti sedikit menyinggung tentang liburan, rutinitas di akhir pekan, atau membicarakan rencana yang sama di tahun berikutnya. Beruntungnya, semua teman-temanku ikut menanggapi. Meski aku tidak tahu mereka melakukannya untuk berpura-pura atau apa.

Kami baru menyelesaikan makan malam tepat sebelum pukul sembilan malam. Namun tak ada seorangpun yang ingin segera pulang. Tak peduli jika malam akan semakin larut. Para perempuan mulai mencuci semua perabotannya di pinggir sungai. Sementara kami yang laki-laki mengangkat semua perlengkapan ke atas perahu. Namun sepertinya hanya aku tidak memilih berkumpul bersama teman-temanku lagi. Di saat mereka kembali membentuk kerumunannya sendiri-sendiri.

Di sekelilingku, dunia semakin terlelap, dan bulan terlihat lebih besar dari beberapa jam sebelumnya. Sementara air sungai semakin berwarna keperakan. Di waktu sama, bayangan langit perlahan berjalan di atas air. Dan aku bisa melihat kabut yang perlahan turun dari atas langit. Sinar bulan yang melewatinya membuatnya terlihat seperti jalan cahaya menembus angkasa. Hanya suara alam yang terdengar di sini. Bahkan hewan malam mulai terdengar sepi. Semua tiba-tiba menenangkan, sunyi, dan tentu saja sedikit dingin.

Namun aku benar-benar tidak ingin diganggu lagi ketika itu. Ku kira semua orang bisa memahaminya dengan mudah. Di saat aku tengah menatap sungai kecil di hadapanku, sebelum pertemuanku dengan Sarah kembali berlanjut. Tentu saja aku tidak ingin terlihat menghabiskan waktuku dengannya lagi ketika itu. Namun karena ia yang lebih dulu datang padaku, ku rasa terlalu mustahil untukku kemudian mengusirnya bukan?

"Butuh teman?" Tanyanya sesampainya di depanku. Sementara aku meliriknya tanpa menjawab. Ku kira itu bisa memberinya sedikit jawaban. "Kenapa tidak bergabung dengan yang lain?" Ujarnya lagi lembut. Mau tidak mau aku harus menanggapinya.

Lalu aku bergumam. "Entahlah... Ku kira aku hanya ingin sendiri."

"Oh..., lalu apa aku mengganggumu?"

Aku menggeleng. "Aku tidak berkata begitu. Maksudku, kau tahu kan, mereka tidak mengundangku? Jadi aku memilih kemari." Sahutku, dengan sedikit menyembunyikan perasaanku.

Aku melihatnya mencermati jawabanku sebentar, sebelum sepintas melihat senyumnya. Dan entah mengapa, hal itu tanpa sadar membuatku tersenyum pula.

"Kalau begitu kita senasib sekarang," sahutnya lagi.

Ia merapikan roknya sebentar, sebelum duduk di samping kananku, bahkan di saat aku belum mengizinkannya. Di dalam hati aku mulai bertanya-tanya akan bagaimana sikap teman-temanku kelak.

"Jadi... apa yang kau lakukan di sini?" Tanyanya lagi.

"Tidak ada, hanya duduk diam ..."

"Oh, jadi kau ingin duduk saja tanpa bicara?"

Aku tahu ia tidak serius karena aku melihat senyumnya. Karena itulah aku menanggapinya dengan nada yang sama. "Ya, ku rasa." Ujarku tanpa serius menyahut. Namun mendengar jawabanku, Sarah juga tidak berkata apa pun. Dan kami benar-benar duduk diam dalam keheningan selama beberapa waktu.

Aku menatapnya sesekali. Memperhatikan angin malam yang menerpa wajahnya. Namun rasanya benar-benar aneh di sini, saat harus menghadapinya begini, yang seketika saja membuatku sedikit rikuh. Duduk hanya berdua, menjauh dari keramaian. Tidak seperti teman-temanku, saat mereka bisa dengan mudah membangun percakapan, ku rasa aku takkan bisa menemukan karakter yang semacam itu di dalam diriku sendiri. Yang pada akhirnya keheningan itu terus berlanjut. Hingga kekonyolan itu tidak tertahankan lagi.

"Umm..., kau tidak gila kan? Apa kau akan terus diam saja semalaman," Kali ini aku yang bicara.

Ia menatapku sekilas, tapi aku melihat senyumnya lagi untuk kesekian kalinya. "Ya..., tapi kan kau sendiri yang ingin terus diam begini?"

"Tapi tidak sediam ini juga kan..." Aku mengedipkan mataku ke arahnya.

Dan ia akhirnya bergumam. "Jadi ... apa yang mesti ku tanyakan menurutmu?"

Pertanyaannya sedikit membuatku bingung.

"Um... apa saja. Apa pun yang terlintas di dalam pikiranmu ku rasa,"

Bahkan perlu waktu sedikit lagi untuknya menjawab. Yang kali ini terasa sedikit lebih lama. "Entahlah... kenapa tidak kau saja yang bertanya lebih dulu?" Lalu balasnya lagi.

Namun di sinilah sesuatu baru saja luput dari perhatianku. Dan untuk pertama kalinya, aku mulai merasakan ada hal yang aneh saat kami bisa duduk berdua di sana. Meski kebanyakan kami hanya sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Bahkan, aku masih belum tahu apa yang membawanya kemari. Sejenak, aku kembali tepikir teman-temanku. Membayangkan hal buruk apa yang mungkin mengiritasi isi kepala mereka. Tapi saat tatapanku kembali kepada mereka, mereka juga tidak terlihat peduli.

Jadi sekarang pilihanku untuk bertanya. "Jadi, kenapa kau tiba-tiba datang kemari Sarah? Maksudku, tadinya kau bekerja di kota kan?" Ujarku akhirnya.

Sebetulnya, aku juga pernah mendengarnya. Tapi ku rasa hanya kali ini saja aku perlu jawabannya langsung. Terlebih kejadian itu memang fakta yang cukup mencengangkan. Namun bukannya langsung menjawab, Sarah justru terdiam sebentar. Dan aku langsung tahu jika ada yang membebani pikirannya. Meski aku tidak tahu itu apa. "Aku kemari karena keluargaku Ryan!" Lalu sahutnya halus.

"Apa maksudmu dengan keluargamu?"

"Ya..., karena di sini tempat asalku kan, tempat keluargaku. Ku kira aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja."

"Maksudmu, kau ingin dekat keluargamu?" Ujarku dan ia menggangguk. "Tapi saat kau bekerja kan, bukan berarti kau lantas melupakan mereka bukan? Kau masih bisa meliburkan dirimu sesekali. Mengajukan cuti mungkin. Menurutku itu jauh lebih baik. Lagipula keluargamu juga akan baik-baik saja, meski kau tidak di dekat mereka." Nadaku jelas sekali menunjukkan penolakanku. Sesuatu yang jelas tidak sulit untukku mengungkapkan.

"Tapi kalau aku lebih suka di sini bagaimana?" Sahutnya, dan ia tiba-tiba tertawa. "Sepertinya kau tidak senang berada di sini?" Sebelum tanyanya lagi.

"Ku rasa semua orang tidak menyukainya."

"Tidak untukku,"

Inilah yang selama ini aku tahu dari Sarah. Dan meski aku takkan pernah memahami perasaannya, tapi aku bisa melihat prinsip kami yang sepenuhnya berbeda. Yang bagi orang sepertiku tentu saja kedengaran konyol. Namun aku tahu ia juga tidak ingin membahasnya lagi ketika itu. Jadi ku kira karena itulah ia kemudian mengalihkan topik pembicaraannya.

"Jika kau sendiri..., seandainya bebas memilih, kau akan memilih tinggal di mana?" Ia tiba-tiba bertanya begitu padaku.

"Um..., semua tempat selain di sini. Apapun yang berbentuk kota besar. Asal aku punya pekerjaan tetap, tempat tinggal ...,"

"Aku tidak memintamu mendeskripsikannya." Potongnya segera. "Aku hanya ingin kau menyebut nama tempatnya," bahkan ia tidak mengatakannya berbelit-belit.

"Entahlah... Bandung mungkin."

"Karena dari sana asalmu?"

"Karena di sana tempat asalku."

Ada jeda sebentar sebelum kami bicara lagi.

Lalu ia bergumam. "Bagaimana kalau kamu menceritakan tentang tempat tinggalmu...!" Sekarang, aku justru mendengar ketertarikan dari nada bicaranya. Dan bersiap-siap untuk mendengarkan.

"Um..., jadi apa yang ingin kau ketahui?"

"Apa saja yang menarik. Tempat liburan mungkin?"

Aku mulai memikirkannya. Tapi jawabanku sebetulnya juga tidak banyak. Meski cukup sulit untuk membuatnya kecewa. Bukan apa-apa sih sebetulnya, yang menurutku lebih ke arah diriku sendiri. Karena kau tahu sendiri kan, ku kira rasanya memang terlalu tolol jika aku terkesan tidak mengenal tempat tinggalku sendiri.

Dan aku mengarang-ngarang jawabanku. "Tergantung jenis liburan yang kau mau. Maksudku, sebagian besar memang lebih banyak di luar kota. Tapi masih cukup dekat karena masih di wilayah Jawa Barat... Kamu bisa pergi ke puncak kalau kau mau, menikmati suasana alamnya, atau pergi ke Kawah Putih mungkin, bahkan ada juga pemandangan air terjun. Dan jika ingin mencari pengalaman yang sedikit berbeda, kita bisa melihat-lihat Bintang di Observatorium Bosscha jika kau mau." Sahutku, berharap jawabanku tepat. Tapi seandainya jawabanku salah juga, ku rasa ia takkan tahu.

"Oh...," nadanya tidak menunjukkan jika ia benar-benar tertarik. "Kalau di Bandung sendiri?" Lalu tanyanya lagi.

"Ehm... ku rasa hanya ke mall mungkin, taman kota. Oh ya, Gedung Sate jika kau pernah dengar..." Sahutku cepat-cepat, saat aku baru saja mengingatnya.

"Gedung Sate...?"

Sekarang, aku mulai berlagak layaknya guru sejarah.

"Itu karena kau jarang membaca buku!" Ujarku segera. "Sebenarnya itu adalah salah satu bangunan bersejarah di sana. Yang sekarang jadi ikon dari kota Bandung itu sendiri. Tapi yang sebetulnya menarik adalah tamannya. Orang-orang biasa berfoto di tempat itu. Seperti foto pra-nikah, atau sekedar foto-foto biasa."

"Oh, aku sedikit heran dengan namanya."

"Ya, kalau kau pernah melihatnya, kau akan langsung mengerti mengapa namanya Gedung Sate." Sahutku, kali ini ia menatapku serius. Namun tidak juga segera menjawabku. Aku tahu mungkin ini akan sedikit mengecewakan baginya. Tapi aku tidak bisa menahan diriku lagi.

"Ku rasa kau perlu keluar sebentar, Sarah." Lalu tambahku. "Maksudku, keluar dari kehidupan ini. Memahami dunia luar dan memperluas wawasanmu. Tempat ini..., ku rasa hanya untuk orang-orang yang lelah atas segalanya. Mereka yang ingin lari dari dunia luar. Kau takkan mendapat apapun dari tempat yang bahkan wilayahnya kurang dari lima kilometer persegi. Di sini hanya akan mempersempit ruang gerakmu, dan membuatmu terus tertinggal di belakang. Umm... aku tidak mengatakan jika bertahan di sini akan selalu kelihatan buruk. Tapi tak masalah jika hanya keluar untuk sesekali."

Aku tahu Sarah tengah memikirkan kata-kataku dari diamnya. Aku bahkan bisa menebak akan seperti apa responnya kelak. Tapi jawabannya memang sedikit di luar dugaanku.

"Ya, ku kira aku bisa melakukannya jika waktu itu benar-benar ada! Itu juga jika kau mau menemaniku?" Lalu sahutnya lagi.

Aku tahu jika ia hanya bercanda karena ia tertawa. Karena itulah aku kemudian mengiyakan. Sebelum mata kami yang kemudian saling melakukan kontak. Bahkan kali ini sedikit lebih lama.

"Ya, tentu saja," kali ini aku yang menyahut.

Dan kami tersenyum lagi untuk kesekian kalinya.

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!