Bandung, sebuah kota yang sekarang semakin lengkap dengan keistimewaannya. Ku rasa kita bisa mulai dengan sebutan kota metropolitan terbesar di dalam negeri, tempat bersejarah, atau kota paling sejuk mungkin. Bermacam keadaan yang membuatnya sangat nyaman ditinggali. Namun belakangan, kadang aku juga berpikir jika kota ini mungkin berkembang karena keberuntunganya. Dengan banyaknya peristiwa penting di masa lampau, yang juga menjadikannya banyak tertulis di dalam buku sejarah. Karena itulah kota ini seakan mendapat perhatian yang lebih. Dan kau bisa melihat itu dari perkembangan kota ini dari waktu ke waktu. Yang terasa jauh lebih pesat dari kota-kota lain kebanyakan. Sewaktu aku kecil dahulu, aku masih ingat sekali dengan lingkungan di sekitar tempat tinggalku. Di mana jalanan hanya berupa gundukan tanah kering berpasir. Bahkan selalu ada tanah lapang di antara hampir setiap rumah. Tapi kini, semua daerah yang dulunya permukiman segera saja berganti perkantoran. Pusat perbelanjaan mulai mengisi beberapa tempat, sementara tempat tinggal mulai digantikan oleh apartemen.
Namun Bandung, ku rasa memang sama seperti kota-kota besar lainnya. Dan hampir selalu ada golongan tersisih yang hidup berdesak-desakan di tengah kota besar. Sebagai bukti jika hidup sama sekali tidak mudah. Tapi semua sepertinya hanya tentang pekerjaan tetap. Dan seiring kedua orang tuaku telah memilikinya, (keduanya bekerja sebagai guru di salah satu sekolah milik pemerintah), setidaknya aku bersama saudari-saudariku masih bisa mendapa tpendidikan yang layak. Meski juga bukan pendidikan yang paling prestisius didalam negeri. Karena untuk urusan perguruan tinggi, tentu saja orang tuaku harus bekerja lebih ekstra lagi.
Di Bandung, rumah kami juga tidak terlalu kecil, tapi juga terlalu besar untuk didiami enam anggota keluarga. Dengan bagian beranda yang sudah banyak kelihatan rapuh. Ayahku telah berulang kali melakukan perbaikan pada bagian tersebut, namun yang ia hasilkan sepertinya tidak ada lain selain memperbaikinya lagi di tahun-tahun berikutnya. Aku dan saudari-saudariku yang lain, (aku anak ketiga dari empat bersaudara), kami bersekolah di tempat yang sama hampir seumur hidup kami. Yang katanya demi alasan biaya. Seperti buku-buku yang bisa diwariskan atau semacamnya. Terutama untuk pendidikan Sekolah Dasar yang bahkan gurunya adalah ayah dan ibuku sendiri.
Aku berani mengatakan padamu, jika orang tuaku benar-benar bekerja tanpa mengenal lelah hampir seumur hidup mereka. Dan itu bukan hanya sekedar ungkapan bangga yang biasa diucapkan anak-anak terhadap kedua orang tuanya, melainkan juga karena kenyataan bahwa mereka yang hampir tidak punya waktu beristirahat untuk sedikit pun, bahkan meski sejenak. Pagi dan malam, hampir delapan belas jam lebih menurutku. Dan hampir tidak ada waktu atau kesempatan yang terbuang percuma. Saat kelas berakhir, mereka biasanya akan mengajar untuk kelas-kelas yang privat. Seraya berharap pengertian dari sejumlah orang tua siswa yang anaknya mereka ajar. Bahkan saat pagi masih buta sekali pun juga, mereka sudah biasa terbangun untuk membuat bermacam jajanan ringan. Sebelum memasarkannya di warung-warung atau bahkan kantin sekolah.
"Bekerja keras seharian demi makan sehari. Bekerja ekstra demi masa depan yang lebih baik di keesokan hari." Yang biasa dikatakan ayahku. Dengan harapan agar kami anak-anak menjadikannya panutan.
Sebetulnya, ide tentang berjualan itu datangnya dari kakek dan nenekku. Mereka bahkan pernah punya kios kecil di depan rumah. Tapi kios itu sepertinya hanya tinggal sisa-sisanya sekarang. Yang membuktikan jika semua keahlian tidak sepenuhnya bisa diwariskan. Tapi layaknya ayah, layaknya anak, satu-satunya yang diturunkan sepertinya hanya keahliannya mengajar itu saja. Sebab sebelumnya, kakekku juga adalah guru di salah satu sekolah di daerah tersebut. Aku tidak tahu apa mereka adalah orang-orang yang hebat atas dasar profesi mereka. Tapi ku rasa aku tentu akan lebih suka mengiyakannya.
Pada intinya bisa ku katakan padamu, jika orang tuaku benar-benar berjuang demi keluarga kecil ini. Sosok yang sangat bisa diandalkan. Meski semua penghargaan itu sebetulnya juga tidak akan bisa datang dari diriku sendiri.
Dan ya, pemahamanku tentang orang tua ku rasa sangat berbeda dari orang-orang kebanyakan. Saat kalian bisa membanggakan orang tua kalian sebagai sosok yang hebat, cinta dan kasih, namun aku, aku memang takkan pernah bisa menemukan ungkapan-ungkapan semacam itu di dalam kehidupanku. Ayahku dan ibuku, mereka tidak mencintaiku. Mereka bisa menunjukkankasih sayang mereka untuk anak-anaknya yang lain, tetapi tidak untukku.
Aku tidak ingin kalian mengatakan aku berlebih-lebihan. Selain itu, aku juga tidak punya alasan untuk melakukannya bukan? Namun sejumlah luka fisik atau psikis yang pernah ku terima benar-benar bisa mengingatkanku atas segalanya. Yang beberapa di antaranya mungkin akan terus ku bawa seumur hidup. Aku, adalah seseorang yang lebih banyak menghabiskan masa kecilku di tengah teror. Hanya ketakutan saja yang ku kenal semasa kanak-kanak. Mereka bahkan sering memperlakukanku dengan cara yang teramat kejam. Seperti memukulku atas alasan yang aku bahkan tak pernah tahu mengapa. Kemudian berdalih jika itu semacam pembelajaran untukku. Tapi pembelajaran macam apa yang diberikan jika jalannya hanyalah kekerasan? Bahkan orang bodoh pun bisa memahaminya dengan begitu mudah.
Kedewasaan, pada akhirnya membuatku mengerti dengan apa yang terjadi di keluarga ini. Di mana aku kerap membandingkan hidupku dengan teman-temanku yang lain. Saat mereka bisa dengan mudahnya membeli mainan terbaru seperti yang mereka mau, aku justru hanya bisa mendapati diriku mencuri kelereng yang dijual oleh tetangga sebelah rumah. Dan tidak seperti teman-temanku yang lain, saat mereka biasa bercerita tentang episode terakhir dari film yang mereka tonton (kami kerap membicarakan serial Dragon Ball), sepertinya hanya aku saja yang berdiam sendiri di pojokan, kemudian tanpa sadar mendengarkan. Kami memang tidak memiliki televisi kabel di rumah, tapi persoalannya bukan karena itu. Ayahku dan ibuku, mereka akan selalu melarangku jika aku pergi keluar rumah. Bahkan hanya untuk menonton di rumah tetangga.
Di rumah, tidak pernah ada uang untuk membeli mainan, atau sekedar pakaian yang cukup. Terkecuali bantuan itu datang dari tetangga sebelah rumah. Itu pun juga hanya berupa pakaian-pakaian bekas. Dan tidak jarang pula aku mengintip isi lemari saudariku yang lain, memperhatikan berapa banyak pakaian yang mereka miliki. Sementara milikku, sepertinya aku tidak punya lebih dari sepuluh helai pakaian dan juga celana kain. Bahkan aku pernah berkali-kali mencuri kancing atau resleting dari pakaian mereka, sebelum menjahitnya ke dalam pakaianku sendiri. Well, aku tidak mengatakan jika mereka tidak pernah membelikannya. Tapi seandainya ada sekali pun juga, kejadiannya pasti akan sangat jarang. Dan karena besarnya perlakuan buruk yang saat itu ku rasakan, hal itu segera saja melunturkan semua kebaikan yang pernah mereka berikan.
Diskriminasi dan kekerasan yang pernah ku terima membuatku mempertanyakan apa masih ada diriku di hati mereka. Yang ku rasa jawabannya adalah tidak. Bahkan aku tidak akan pernah merasa bangga saat aku bisa menceritakannya. Masa laluku dipenuhi rasa sakit dan air mata. Membuatku perlahan menjadi pemberontak. Bahkan di usia yang sangat muda. Dan jangan katakan jika kenakalanku hanya dengan menaruh permen karet di atas kursi teman-temanlku saja, atau sekedar melempari mereka dengan kertas saat guru tengah memunggungi kami. Tidak, sama sekali tidak. Bahkan kenakalanku bisa jauh lebih kejam dari pada itu.
Aku biasa menembakkan tinta ke belakang baju seragam teman-teman sekolah, mencoret-coret buku pelajaran mereka, menarik bangku saat mereka akan duduk, atau bahkan menarik anting dari telinga anak-anak perempuan. Namun percayalah padaku, jauh di dalam diriku, aku tidak pernah ada niat sedikit pun untuk menyakiti. Orang-orang yang lebih dewasa suka mengartikannya sebagai mencari perhatian. Meski sebetulnya juga bukan itu yang aku cari-cari. Pertemanan ku rasa. Meski aku melakukannya dengan cara yang keliru. Namun ironisnya, justru hal-hal semacam itulah yang membuatku dijauhi.
Aku memiliki kehidupan sosial yang begitu buruk. Dan hampir sama sekali tidak memiliki teman. Seandainya ada sekali pun juga, mereka hanya mau meluangkan waktunya sebentar. Yang artinya bukan kebersamaan yang mendorong mereka melakukan itu, tapi lebih karena tidak punya alasan lain. Selalu ada kelompok di setiap sekolah, dan aku tak pernah masuk ke dalam salah satunya. Mereka selalu bersikap pasif dan terus menjaga diri. Dan tidak pernah memasukkanku ke dalam pergaulan mereka. Saat itu aku belum mengerti jika memang ada yang salah. Namun aku benar-benar mengetahuinya setelah beberapa tahun belajar di dunia keperawatan.
Sebetulnya, pendidikan ini juga bukan satu dari keinginanku.Dan ku rasa memang tidak banyak orang-orang yang menjadikannya sebagai pekerjaan yang diidam-idamkan. Kau bisa saja membayangkan seperti apa kehidupan mereka, mengurusi orang lain yang bahkan bukan keluarga sendiri, membantu memberi makan, membersihkan, memberi motivasi atau perhatian yang bahkan melebihi diri sendiri. Aku tahu aku tidak dibentuk untuk pekerjaan yang satu itu. Namun aku tidak tahu mengapa, tapi seumur hidupku, ku rasa aku hanya dihadapkan pada kenyataan bahwa aku memang tidakpunya pilihan. Sebab tidak seperti saudariku yang lain, saat mereka bisabersekolah untuk pendidikan apa pun yang mereka inginkan, orang tuaku, merekahanya mengatakan jika mereka tidak punya biaya apa pun untuk sekolahku. Yangjelas sekali jika mereka memang tidak pernah mengusahakannya.
Dua tahun menjalani pendidikan di sana, barulah aku bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingat saat seorang dosenku pernah mengatakannya ke hadapan kami, "Seorang anak dengan masa kecil kurang bahagia, mereka biasa melakukan bermacam cara untuk mencari perhatian, yang salah satunya adalah dengan cara mengganggu." Pada saat pertama kali mendengarnya, ku kira aku juga sama sekali tidak tahu pada apa yang mesti ku pikirkan. Tapi di waktu yang nyaris bersamaan, aku tiba-tiba saja tersadar jika itu adalah karakter yang ada pada diriku sendiri.
Aku tahu ini bukanlah kenyatan baru untukku. Dan jelas, aku juga pernah mendengarnya berkali-kali. Namun aku tidak tahu mengapa, tapi ku rasa hanya kali ini saja aku baru menganggapnya persoalan serius. Dan ini seakan kami yang tengah membicarakan seseorang yang tak normal di dunia ini sekarang, seseorang dengan kesalahan didalam otaknya, tapi celakanya, aku justru menjadi salah satu dari orang yang mereka maksud. Aku tiba-tiba merasakan sebagai seseorang yang aneh, seseorang dengan kepribadian yang tak wajar. Yang menjawab semua tentang kemampuan bersosialku yang begitu buruk, tentang mengapa orang-orang menjauhiku, hal-hal yang membuatku sendiri. Semua itu bukan karena aku yang tidak ingin menjalin ikatan dengan baik. Aku melakukannya, tentu saja. Sebagai makhluk sosial. Namun aku selalu gagal saat coba mengadaptasikannya ke dunia nyata. Aku tiba-tiba melihat itu yang semacam aib bagiku. Suatu kesalahan. Yang aku tidak bisa menutupinya lagi.
Aku mungkin bisa terima jika alasannya karena orang tuaku meninggal dunia. Dengan begini, aku bisa menganggap ini sebagai kewajaran bukan? Setidaknya, aku tidak akan mencari sosok yang mungkin ku salahkan. Tapi kenyataan tentu saja tidak pernah berkata demikian. Yang seketika membuatku marah.
Beberapa tahun setelah pendidikan vokasiku berakhir, aku mulai mencoba melamar beberapa macam jenis pekerjaan. Tapi mencari pekerjaan di negeri ini tentu saja bukan perkara mudah. Bahkan hampir selalu menjadi terbaik di kelas juga sama sekali bukan jaminan. Aku sempat bekerja sebagai penjaga warnet beberapa kali, bekerja sebagai penjaga kasir, atau bahkan sales di salah satu show room sepeda motor, yang jelas sekali tidak ada hubungannya dengan kualifikasi yang saat itu aku punya. Aku tahu semua itu bukan pekerjaan yang selama ini aku impikan. Hingga semua harus berakhir dengan pemecatan.
Aku pernah mencoba pekerjaan yang sesuai untuk bidangku sebetulnya, dengan memasukkan lamaran berkali-kali. Ke hampir setiap rumah sakit swasta, atau peruntungan di rumah sakit pemerintah, atau bahkan klinik-klinik yang pernah ku lihat di pinggir jalan. Tapi semua hanya berakhir penolakan. Beberapa orang mungkin mengatakan tentang uang, keluarga. Untuk sesaat, aku mungkin tidak peduli. Tapi sekali lagi waktu membuat sadar, jika aku sama sekali tidak membuat perubahan apapun pada diriku sendiri. Dan di samping semua perkara di atas, masih ada persoalan lagi yang harus ku hadapi sendiri. "Pergi ke tempat kerja sana! Lihat lowongan di koran, jadi honorer rumah sakit atau apa!" Yang biasa dikatakan ibuku. Aku tidak pernah mengatakan apapun selama waktu-waktu itu. Dan tentu, aku masih tetap membencinya. Seakan dia yang berniat mengusirku sekarang.
Namun itu bagus untukku.
Oktober 2009, ku kira dari sanalah jalan keluar dari semua masalahku terlihat. Saat pemerintah akhirnya membuka lowongan PegawaiNegeri Sipil lagi. Dan sama seperti pelamar lainnya, yang dengan mudahnya terpengaruh euforia akan kebutuhan kerja, aku juga tidak menemukan satu alasanpun untuk tidak mendaftar. Terlebih menjadi pegawai negeri memang kedengaran keren. Namun aku tidak bodoh. Aku tahu peluangku akan sangat kecil jika mendaftarkan diriku di Bandung. Jadi karena inilah aku kemudian berpikir untuk meninggalkan Bandung dengan segera.
Pilihan pertamaku adalah ke Kalimantan. Aku tidak tahu mengapa, tapi hanya itu yang terlintas di benakku. Suatu tempat terasing, dengan banyak hutan belantara, dan tentu ada sejumlah kota. Dengan penduduk yang masih sedikit. Untuk ini aku tidak mengatakan apa pun pada keluargaku. Dan tentu, kami memang tidak pernah bicara lagi akhir-akhir ini. Terlebih rencana itu memang ku maksudkan sebagai pembalasan. Aku mempertimbangkan ide tersebut selama beberapa hari. Dan pada akhirnya pilihanku jelas, jika aku harus menentang keberanianku sendiri.
Penerbangan menuju Kalimantan nyaris terasa hampa. Hanya kenangan lama yang ku ingat sepanjang perjalanan. Yang semakin kuat seiring jarakku meninggalkan rumah. Dengan mata yang terus berkaca-kaca, aku hanya bisa menatap ke luar jendela. Membayangkan hidupku yang seketika tanpa arah. Di bandara, saat pesawat baru saja mendarat, aku melihat orang-orang yang melangkah bersama tujuan hidupnya. Ku rasa hanya aku yang tidak merasakannya. Aku tidak punya teman atau pun keluarga di tanah yang baru ini, yang membuatku seakan orang terasing di dunia ini.
Rasanya cukup berat tentu saja, saat aku harus memperjuangkan segalanya seorang diri. Namun aku telah menjalani masa-masa sulit di hampir keseluruhan hidupku. Dan aku tidak punya pilihan sedikit pun untuk berhenti. Dua minggu berlalu, saat penerimaan baru saja dimulai, aku tidak menyia-nyiakan waktuku untuk tidak segera mendaftar. Kemudian mengikuti semua prosedur yang ditentukan, sebelum menunggu selama beberapa bulan lagi. Namun untuk ini aku tahu jika Tuhan selalu punya rencana untukku. Dan saat namaku tercantum sebagai salah satu kelulusannya, aku tak tahu masalah apa lagi yang menungguku ke depannya.
*********
Welmina, di sanalah yang tertulis mengenai tempat tugasku. Sebuah tempat yang tak lebih dari 10 km persegi. Tidak ada jalan raya, tidak ada sinyal atau bahkan listrik (sinyal dan listrik baru ada di akhir 2010 an), dengan seluruh wilayah masih dibatasi oleh hutan belantara. Bahkan siang hari masih terasa seperti kota mati. Tidak ada tempat hiburan atau semacamnya di tempat itu. Bahkan warung kecil sudah tutup sebelum pukul delapan malam. Tapi yang membuatku habis pikir tentu saja adalah pilihan penduduk untuk menetap di sana. Saat orang yang waras lebih memilih pergi ke kota, mereka justru dengan bangganya memilih untuk bertahan. Menerapkan apa yang sering mereka sebut dengan "Hidup di kampung sendiri lebih baik daripada di tanah orang." Meski di zaman sekarang kata-kata semacam itu sepertinya tidak ada nilainya lagi.
Sebetulnya, aku tidak datang sendiri. Setidaknya ada sebelas orang lagi yang nasibnya persis sepertiku. Mereka yang kenyataannya dibuang hanya karena siapa diri mereka. Ku rasa semua orang memang pernah mendengarnya. Slogan-slogan mulia, yang sering digunakan untuk menggambarkan pegawai negeri saat ini. Mereka yang katanya abdi negara, pelayan masyarakat, suatu publisitas yang sangat bagus untuk menggambarkan jika pekerjaan ini adalah pekerjaan yang hebat. Meski pada kenyataan aku tidak bisa melihatnya begitu.
Biar ku katakan padamu, jika sebetulnya kami memang pernah dijanjikan jika penempatan berdasarkan ranking. Dan itu artinya aku tidak akan harus melihat pedalaman seperti yang dihindari oleh kebanyakan orang. Tapi memang sudah jelas jika pejabat memang selalu suka berbohong. Mereka yang suka menggunakan kekuasaannya agar diperlakukan istimewa atau semacamnya. Aku bahkan bisa melihat itu dari mereka yang mendapat tempat-tempat terbaik, kemudian setelah melihat keluarga mereka secara keseluruhan, semuanya menjadikan alasanku terlihat sangat relevan. Bahkan ada sejumlah orang yang tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat kerjanya, namun karena ayahnya yang memang orang berpengaruh di daerah tersebut, dia tidak pernah mendapat hukuman atau apa pun. Hingga kemudian yang terdengar darinya hanyalah kabarnya yang tiba-tiba berpindah ke kota besar. Kenyataan yang membuktikan jika hidup ini memang tidak pernah adil.
Sejujurnya, aku juga tidak ingin menjadikan inisebagai alasan. Tapi justru hal-hal semacam inilah yang membuat kami tidakmencintai pekerjaan ini lagi. Bahkan di masa-masa awal kami bekerja. Kami biasamelakukannya dengan membolos kerja. Menerapkan apa yang kami sebut dengan "MenuntutKeadilan". Aku tahu semua itu mungkin terdengar seperti satu pembenaran bagi kalian. Tapirasanya memang tidak terlalu adil bukan, jika semua kesalahan hanya ditimpakankepada kami? Karena memang bukan kami yang lebih dulu memulai. Persoalannya adalahtentu saja hal-hal seperti itu justru membuat kami harus terlibat dengan lebih banyakmasalah lagi. Yang salah satunya adalah dari Otto sendiri. Dia atasan kami diWelmina. Orang yang menurutku merupakan orang yang paling buruk di muka bumi.
"Sudah puluhan tahun saya bekerja di sini, tapi saya tidak pernah seperti kalian! Apa kalian tidak pernah memandang saya? Pegawai di sini adalah orang-orang pilihan, orang-orang berprestasi!" Ujarnya, seraya menunjuk ke arah dirinya. Sebelum memperlihatkan sejumlah piagam yang pernah ia raih. Yang salah satunya adalah pegawai teladan. Kalimat yang telah ku dengar hampir jutaan kali.
Aku berani bersumpah, ia hampir selalu mengulang kata-kata yang sama di setiap ia marah di hadapan kami. Sebelum menyinggung tanggung jawab, peraturan, atau yang lebih gilanya lagi adalah meminta kami untuk menjadikannya teladan. Sesuatu yang bagi kami jelas terdengar mustahil. Maksudku, benar saja ia pernah menjadi pegawai teladan pada masa-masanya dulu. Tapi di masa sekarang, kenyataan seperti itu memang tidak bisa dijadikan kebanggaan lagi.
Aku tidak tahu apa Otto bisa memahami kami atau tidak. Yang menurutku memang sesuatu yang sulit ku bayangkan. Meski sebetulnya dia juga memiliki seorang anak. Dia yang juga seorang pegawai dan bekerja di daerah pedalaman. Tapi tentu saja, belum saatnya aku membicarakan ini. Dan lagi, sepertinya setiap orang yang punya jabatan memang hampir selalu sama. Mereka yang selalu suka menggunakan kekuasaannya dengan segala cara. Lagipula, Otto juga bukan suatu pengecualian. Semua orang bahkan bisa melihat itu dari proyek-proyek kesehatan yang masuk ke tempat ini. Saat pemerintah mengeluarkan sejumlah besar dana, namun dana-dana tersebut kemudian raib secara misterius. Dan meski semua orang tahu duduk perkaranya, sepertinya juga tidak ada seorang pun yang berani membawanya ke ranah hukum. Rasa takut yang sama seperti yang dihadapi oleh kebanyakan orang. Jadi saat ia mulai bicara banyak tentang disiplin, menurutku ia sama sekali tidak layak.
Bahkan dia yang menjadi pegawai teladan pun juga ku rasa hanya kebetulan semata. Di tahun delapan puluhan saat ia mengatakannya padaku, yang kenyataannya pegawai di masa-masa itu memang sangat jarang. Karena itu dipilihlah orang-orang yang mengabdikan dirinya di tempat terpencil. Yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Jadi apalagi yang bisa dibanggakan jika kemenangannya itu seperti, kau tahu kan, "bersaing dengan dirinya sendiri". Mungkin yang baik dari dirinya hanya jam kantornya saja yang terkenal rajin. Yang bahkan di saat hari libur pun ia bisa datang ke kantor pagi-pagi. Dan jangan katakan aku yang telah mengarang kejadiannya.
Sekali, saat aku masih terlelap menikmati pagi libur yang indah, ia tiba-tiba saja sudah berdiri di depan rumah, menggedor pintu tak tahu diri, lalu mengomel seenaknya karena ke kantor terlambat. Tapi saat ku katakan hari itu adalah hari libur, ku rasa ia tidak tahu di mana harus menaruh wajahnya lagi. Hebatnya, Si Tolol itu selalu punya alasan menghindar. Dengan menempatkan kesalahan orang lain setiap ada kesempatan. Kemudian pernah pula temanku Vira yang harus mengingatkannya kalau hari itu adalah hari libur. Bahkan ia sampai membunyikan toa berkali-kali karena kantor benar-benar kosong. Tapi kali ini yang jadi alasannya adalah anak-anak di halaman depan. "Mereka bermain seenaknya, membuat halaman berantakan." Begitu Vira mengatakannya padaku. Untungnya, Vira memang sedikit cerdas di sini, dengan membuatnya terpojok karena seragam yang ia kenakan. Hingga akhirnya ia tidak bisa ke mana-mana lagi.
Sejujurnya, kami juga tidak peduli pada kekuasaan yang ia salah gunakan, tapi saat ia mulai menyakiti kami secara kehidupan, maka kami jadi tidak bisa tinggal diam begitu saja bukan? Apalagi setelah ia berani memotong gaji kami seenaknya. Yang seketika membuat kami seperti kehilangan perasaan hormat. Di belakangnya, kami suka menyebutnya "Si Tolol yang Berdahi Lebar". Kau tahu, karena rambutnya yang memang kelihatan minim. Ku kira karena bagian dahinya itulah yang nampak begitu serakah, hingga berani menjarah wilayah yang harusnya ditumbuhi rambut. Bahkan, kami sempat menyebut itu sebagai karma baginya. Maksudku, karena sikap buruknya terhadap kamilah yang menyebabkan rambutnya lebih cepat rontok.
Terakhir, kami mengembangkan cara yang lebih gila lagi untuk mengejek Otto. Dengan membuat permainan untuk mentertawakannya. Aku dan temanku Erik, entah bagaimana caranya bisa menemukan foto Otto waktu masih muda. Mungkin berusia tiga puluh tahunan menurutku, tapi fakta yang mengejutkannya adalah rambut si tua itu yang ternyata sudah rontok sejak dulu. Kami lalu mengcopy foto tersebut, mencetaknya di kertas karton, sebelum menjadikannya permainan dart. Bahkan menjadikannya ajang taruhan.
Ku rasa semua orang di sini memang tidak menyukainya. Sosok yang selalu kami harap meninggal dunia dengan cara yang mengenaskan, tapi justru diberi umur panjang. Coba bayangkan, betapa tidak adilnya menjalani hidup di dunia ini. Satu-satunya orang yang masih menaruh hormat padanya sepertinya hanya Randy seorang. Meski pun dia juga sebetulnya punya alasan untuk melakukan itu.
Randy memang tipe orang yang lihai mencari muka di hadapan orang-orang penting. Mungkin karena itulah ia bisa bertahan di kursi jabatannya begitu lama. Sebagai bendahara utama yang tentu memberi banyak keuntungan bagi Otto. Aku dan teman-temanku, suka mengait-ngaitkan keduanya sebagai ayah dan anak. Kau tahu, karena mode rambut keduanya yang memang terlihat mirip. Aku tidak tahu mengapa, tapi belakangan ini memang banyak orang-orang yang mengalami kebotakan dini. Tentu saja ia tidak boleh tahu tentang ini. Tapi seandainya ia pun tahu juga, ku rasa itu takkan mengubah perasaan kami terhadapnya.
Aku tahu jika apa yang kami lakukan memangsangat keterlaluan. Terlebih jika melihat siapa dan apa status kami di hadapannya.Tapi seseorang bukan dihormati karena mereka lebih tua atau jabatannya bukan?Aku tidak mengatakan jika orang yang lebih tua tidak layak dihormati. Tapisiapa pun bisa kehilangan rasa hormat itu dengan begitu mudah. Dengan katalain, jika seseorang selalu bersikap baik padamu, maka dunia akan bersikap baikpula padanya.
Bagaimana pun juga krisis penghormatan kami terhadap Otto bisa sedikit mengobati kekecewaan kami saat berada di sini. Dan aku juga tahu jika atas dasar serangan-serangan tersebut pula lah kami takkan pernah berdamai. Bahkan jika harus berselisih dengannya seumur hidup pun juga, ku rasa takkan jadi masalah. Tapi memang bukan begitu yang kemudian terjadi.
Aku tidak ingin kalian berpikir jika kami tiba-tiba berubah rajin atau semacamnya. Dan tentu, bukan atas dasar dorongan Otto pula yang membuat kami melakukan ini. Melainkan karena hadirnya sosok yang lain. Yang ternyata adalah anaknya Otto sendiri.
Jadi seperti yang ku ceritakan, jika Otto memangmemiliki seorang anak. Dan anaknya adalah seorang perempuan. Sebetulnya juga tidakada yang istimewa dari pertemuan kami yang pertama tersebut. Kami hanyabertemu, berkenalan, itu saja. Bahkan aku tidak tertarik mengenalnya lebihjauh. Namun semua orang bisa menunjukkan sifat aslinya dengan mudah saat namaketurunan Otto itu disebut-sebut.
Aku dan teman-temanku mulai suka mencari-cariperbedaan keduanya. Seperti bagaimana mereka bergaul, cara mereka bicara, ataubahkan cara mereka berpakaian. Seraya membayangkan kebodohan Otto selama ini. Rasanyasangat menyenangkan saat membayangkan Sarah tiba-tiba datang ke kantorsaat hari tengah libur. Hanya saja persamaan-persamaan semacam itu ternyata memangtidak pernah kami temukan. Mungkin satu-satunya yang menarik hanyalah kenyataan tentang dirinya saja yang merupakan pegawai pindahan ke Welmina. Karena sepertiyang ku katakan, saat semua orang berlomba-lomba pergi ke kota besar, ia justrumeninggalkan semua kenyamanan itu dan memilih hidup di sini. Yang bagi kami hampirsama seperti menukar kebahagiaan dengan kesulitan itu sendiri. Tapi buah memangtidak pernah jatuh jauh dari pohonnya bukan? Dan tentu, kami juga tidak pernahmembicarakan itu. Setidaknya tidak di dekat telinganya Sarah. Meski kami kadangbisa keterlaluan, tapi kami masih bisa menjaga perasaan. Meski aku juga sebetulnyatidak terlalu yakin.
Awalnya, ku kira Sarah akan sedikit kesulitan saat bergaul bersama kami. Mengingat siapa yang menjadi ayahnya. Tapi ternyata ia bisa melakukannya dengan mudah. Termasuk kepada kami yang kadang masih sering membicarakannya di belakang. Ku kira semua orang bisa menutupi wajahnya dengan baik di sini. Dan lagi kenyataan jika penampilannya juga tidak terlalu jelek, bahkan termasuk cantik jika kau benar-benar memperhatikan. Yang menurutku adalah hal yang positif lagi di mata kami.
Aku tahu sebagian besar teman-temanku hanya menunjukkannya untuk bermain-main. Sebelum menemukan apa yang mereka sebut dengan "kesempatan bersenang-senang". Kau mengerti maksudku kan? Lagipula bekerja sekaligus merayu cewek tetap jadi kegiatan yang menyenangkan. Mungkin satu-satunya yang serius mengejar Sarah hanyalah Randy sendiri. Ia bahkan sudah memperlihatkan sisi agresifnya sejak pertama kali ia datang kemari. Di tambah lagi dengan kedekatannya bersama ayahnya, yang tentu hal itu akan memberinya lebih banyak kemudahan lagi.
Dan lagi percayalah padaku, tidak ada perasaan suka pada pandangan pertama. Aku hanya lebih mempercayakannya pada waktu. Terlebih ada satu hal lagi yang memang jadi beban perasaanku. Ku rasa aku tak ingin kehilangan muka saja saat aku bergaul dengan teman-temanku. Terlebih karena sarkastik yang selama ini sering ku lakukan.
Namun, tentu saja aku tidak ingin mengatakan jika kami kemudian tiba-tiba berseberangan. Dan aku juga tidak mengatakan jika aku tiba-tiba bertindak kasar padanya. Ku rasa, aku hanya suka menunjukkan ketidakpedulianku saja. Hanya saja aku tidak aku jika sikap sinisku akan segera berubah. Yang kesemuanya bahkan akan terjadi sebentar lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments